Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Juragan Rongsokan dan Kain Sarungnya

20 September 2018   20:10 Diperbarui: 20 September 2018   20:13 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: preharga.co)

Hampir semua warga di kampung kami kenal siapa haji Badru. Selain termasuk OKB (orang kaya baru), juga penampilannya yang 'nyeleneh'. Sehingga bisa jadi seseorang yang belum akrab mengenalnya akan mengerutkan jidatnya karena aneh. Atawa mungkin juga akan tertawa terkekeh-kekeh.

Betapa tidak. Orang berkain sarung di kampung kami biasanya apabila akan menunaikan shalat, atawa bocah laki-laki yang baru disunat. Tetapi terkadang ada juga pria dewasa yang menderita penyakit turun berok, atawa istilah medisnya disebut penyakit hernia, dan orang Sunda bilang: Burut. Sehingga selalu mengenakan kain sarung. Entah karena kalau mengenakan celana terasa susah bergerak, entah karena 'anu'-nya akan terasa makin sakit karena kejepit.

Lain juga halnya dengan ajengan. Ajengan, atawa kyai, banyak juga yang selalu mengenakan kain sarung. Seperti KH Ma'ruf Amin, calon wakil presiden yang akan mendampingi calon presiden Jokowi. Meskipun bawahannya mengenakan sarung, tapi atasannya memakai  jas tutup. Hanya saja dasinya diganti dengan kain sorban. Tak lupa pula peci hitam atawa putih selalu bertengger di atas kepalanya. Sehingga kharisma dan wibawa sebagai tokoh agama tak diragukan lagi adanya.

Haji Badru pun memang selalu berkain sarung. Tidak hanya akan shalat saja, dan bukan karena menderita hernia. Juga sama sekali bukan seorang kyai. Bisa jadi kalau disuruh membaca kitam kuning saja dia tidak akan mampu. Karena sepengetahuan orang kampung, haji Badru selepas SD tidak pernah nyantri. Tapi langsung merantau ke Jakarta. Untuk memulai belajar membantu mencari nafkah, sebagaimana kebanyakan anak-ank di kampung kami.

Hanya saja yang membedakan haji Badru dengan kyai adalah caranya mengenakan kain sarung itu. Jika para kyai biasanya bersarung sampai di atas mata kaki, sementara haji Badru selalu tampak hanya sampai sebatas lutut saja. Begitu juga bagian atasnya sama sekali tidak dilipat rapi. Melainkan asal-asalan saja. Malahan tak jarang kalau kaos oblong yang dikenakannya agak kekecilan, maka perut buncitnya akan jelas kelihatan.

Nah, itu dia! Haji Badru tidak pernah memakai jas tutup seperti kyai. Atawa paling tidak mengenakan kain batik yang cukup necis dan akan tampak rapi. Ia biasa hanya berkaos oblong saja. Sesekali paling banter memakai t-shirt kalau kebetulan akan pergi ke Jakarta dengan mengendarai mobilnya yang bermerk toyota fortuner.

Melihat hal seperti itu, tak sedikit orang di kampung menduga, mungkin hal itu dilakukan oleh haji Badru karena mengikuti perintah 'guru'-nya. Maksudnya orang pintar yang membuat ia menjadi kaya-raya seperti sekarang. Sebagaimana biasanya di kampung kami, jika ada seseorang yang tiba-tiba sukses kehidupannya, atawa yang semula hidup pas-pasan tetiba menjadi kaya, sebagian besar warga masih menganggap bahwa kekayaan orang tersebut diperoleh dari hasil berguru pada orang pintar, alias dukun, atawa dengan cara   

Namun ada juga yang sudah berpikiran maju. Mereka menganggap kekayaan yang dimiliki haji Badru karena faktor guratan tangan, atawa nasib baik yang sedang berpihak pada yang bersangkuan. Selain itu mereka mengenal haji Badru sebagai pekerja keras, tekun dan ulet.

Sekian tahun yang lalu, haji Badru keadaannya masih biasa-biasa saja. Rumahnya saja masih berbentuk panggung yang sederhana. Belum bergelar haji pula. Adapun mata pencahariannya di Jakarta  sebagai pemulung barang rongsokan. Saban hari keliling jalanan di kota metropolitan, mengais-ais tumpukan sampah, dengan harapan masih ada barang yang masih laku dijual untuk didaur-ulang.

Ketika itu penghasilan Mang Badru, demikin orang memanggilnya saat itu, tibang pas-pasan untuk makan. Bagaimanapun par pemulung di seantero Jakarta demikian banyak, sehingga persaingan pun begitu ketat. Jika nasib baik di hari itu sedang berpihak, barulah ia mampu menyisihkan penghasilannya untuk ditabung dalam sebuah kotak.

Adalah seorang pengepul, pemilik lapak yang sudah termasuk kelas juragan rongsokan, dan langganan tetap Mang Badru setiap menjual hasil memulung barang rongsokannya. Bisa jadi juragan itu memiliki perhatian terhadap Mang Badru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun