Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Bersemi di Senja hari

27 Mei 2012   16:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PAGI yang bening. Matahari memendarkan cahayanya lewat sela-sela dedaunan, dan jatuh pada punggung sosok seseorang di sudut  taman itu. Ya, sosok yang selama ini aku impikan. Yang aku harap-harapkan. Sepagi ini, lewat kaca jendela kulihat dia sedang membaca. Sambil mandi matahari pagi. Dengan memunggungiku.

Punggung itu kutatap lekat. Dan berharap sesekali dia memalingkan wajahnya ke arah kamarku. Tepatnya ke arah jendela kamarku. Tepatnya lagi pada mataku yang sejak tadi menatapnya. Tapi sudah hampir setengah jam aku memperhatikannya, dia masih asyik juga dengan buku yang dipegangnya.

Meskipun aku dan dia tinggal di dalam satu komplek, tapi aku belum mengenalnya dengan akrab. Karena dia merupakan penghuni baru di komplek ini. Baru dua bulanan. Paling kalau kebetulan berpapasan, kami bertegur sapa seperlunya saja. Dari teman wanita yang telah lama kukenal, aku mengetahui nama pendatang baru itu adalah Henny. Sedangkan data yang lainnya tentang dia, aku sama sekali masih buta. Belum mengetahuinya.

Hanya saja terus terang, sejak dia datang ke komplek ini, aku telah dibuatnya untuk selalu mengingat wajahnya. Apalagi setelah tahu namanya, dan sering bertemu saat berjalan-jalan di taman, aku merasa telah mencintai Henny.  Terlebih lagi sejak aku tahu kalau dia mempunyai hobi membaca, dan di tangannya selalu kulihat tidak pernah lepas dari buku, aku merasa tergila-gila. Dan ingin segera mengenalnya.

Bukankah Jean Paul Sartre pernah mengatakan, hubungan persahabatan atau cinta yang sesungguhnya menjadi tempat pengungkapan diri. Dan kalau boleh kuteruskan, juga sebagai wadah untuk berbagi. Apalagi kita memiliki kesamaan, sama-sama suka membaca buku. Sehingga paling tidak, setelah usai membaca kita dapat mendiskusikannya. Karena selama ini tak seorang pun aku temukan di antara teman-teman yang memiliki kesukaan seperti kita.

Rata-rata teman-teman kita lebih suka melihat televisi saja. Atau mendengarkan musik di radio. Sedangkan yang lainnya lagi paling getol jalan-jalan tanpa arah dan tujuan. Aku sendiri heran. Mengapa mereka demikian. Padahal coba kalau banyak membaca, pengetahuannya akan bertambah. Dan bahan pembicaraannya akan cukup bermakna. Tidak seperti sekarang, obrolan mereka kebanyakan yang itu-itu saja. Malahan kedengarannya banyak ngawurnya.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Untuk mengisi rongga paru-paru yang terasa ada beban. Kembali mataku melihat ke arah taman, ternyata Henny masih tetap asyik dengan dunianya. Padahal sebetulnya aku sendiri masih ada buku yang belum selesai dibaca. Baru setengahnya saja. Sebuah buku karya Kahlil Gibran, “Yang Terkasih”.

Seperti yang dikatakan Al Mustafa kepada murid-muridnya, bahwa kehidupan bernyanyi dalam kesunyian. Dan bermimpi dalam kesadaran. Bahkan ketika kita jatuh tersungkur, kehidupan tetap bertahta dan mulia. Dan ketika kita sedang menangis, kehidupan tersenyum kepada hari yang ramah dan manis.

O, amsal yang dalam. Dan alangkah indahnya kalau kita diskusikan. Tapi kapankah itu akan kita lakukan? Sedangkan kenalpun belum. Hanya perasaanku saja mungkin yang telah menggebu-gebu. Karena sejak tadi kuperhatikan, dirimu memang tidak memiliki perasaan seperti  yang aku rasakan.

Seharusnya aku memang memiliki keberanian. Sebagaimana sikap seorang pria. Apabila memiliki hasrat kepada seorang wanita, maka konsekwensinya harus berani tampil percaya diri. Lalu mengajak berkenalan dengan sikap yang sopan. Seperti seorang ksatria.  Agar perempuanpun merasa terkesan.

Ah, tapi hingga dua bulan ini aku memendam rasa itu, ternyata aku tidak memiliki keberanian. Di sisi lain di hati ini ternyata ada yang mengganjal. Yaitu ketakutan yang begitu luar bisa, aku takut cintaku tidak kau terima. bahkan kubayangkan kau menampiknya dengan cara-cara yang akan menyakitkan. Cintaku begitu saja kau campakkan.

Padahal, Sartre melukiskan cinta sebagai bentuk hubungan, yang ahirnya akan ditandai juga oleh keinginan  kedua belah pihak yang bersangkutan  untuk saling memiliki. Seseorang yang mencintai, atau dicintai meletakan harapan-harapan. Yang mencintai  berharap akan menguasai  orang yang dicintainya. Demikian juga orang yang dicintai berharap dirinya akan terus dicintai.

Ah, andaikan kau dapat menerima cintaku ini, alangkah bahagianya aku. Betapa hari-hariku tidak akan kesepian lagi. Karena hari-hari mendatang akan kita isi bersama-sama. Kita setiap pagi akan berjemur matahari, sambil asyik membaca tentu saja. Lalu kita berdiskusi. Dan sambil tertawa mesra. Kalau tidak kita akan berjalan-jalan mengitari taman, sambil bergandengan tangan.

Malahan tidak menutup kemungkinan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, seperti gunjingan teman-teman, kenapa tidak kalau hubungan kita dilanjutkan ke pelaminan. Tokh tidak ada salahnya bukan? Justru dengan adanya ikatan pernikahan, cinta kita dapat langgeng selamanya.

“Tok tok tok…”

“Sudah sore, Pak! Waktunya mandi!” teriak dari luar nyaring terdengar.

Bayangan Henny pun ternyata sudah menghilang. Yang tampak sekarang hanyalah bangku taman yang lengang.  Wah, lama juga aku memikirkannya. Tak terasa hari sudah sore.

Aku tersadar. Bunyi ketukan di pintu membuatku bangun dari lamunan. Padahal mestinya jangan keras-keras seperti itu kalau mengetuk pintu, pelan sedikit apa tidak bisa. Seperti orang yang tidak mengenal sopan santun saja.

"Dasar!" umpatku, dalam hati.

Ya, dasar penjaga. Penjaga panti jompo tempat kami tinggal sekarang ini. Setiap mengetuk pintu, untuk sekedar memberi tahu kami untuk mandi saja, selalu mengetuk pintu dengan kasarnya.

Padahal kami semua sudah tua renta… ***

* Setelah berkunjung ke sebuah Panti Jompo di kotaku.

Cigupit, 2012/05/27

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun