Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Katanya Mau Ada Perampingan, Kok Pak Mahfud Malah Bertolak Belakang?

16 Juli 2020   15:24 Diperbarui: 16 Juli 2020   15:22 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam, Machfud MD (Tribunnews.com)

Ekses dari lolosnya buronan kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, dari pengawasan aparat penegak hukum, membuat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Machfud MD seperti kebakaran jenggot.

Mantan ketua MK tersebut tak lama setelah insiden lolosnya buronan kelas kakap itu langsung berencana untuk mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK).

Machfud menegaskan tim tersebut nantinya akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengejaran koruptor yang berstatus buron.

Sebagaimana diketahui, memang rencana menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor bermula dari upaya pengejaran terpidana kasus Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, yang kini masih buron.

Bahkan Menkopolhukam mengklaim sudah mendapatkan restu dari Presiden Jokowi dalam bentuk instruksi presiden (Inpres).

Dijelaskannya bahwa instruksi presiden yang menjadi pijakan untuk menghidupkan kembali TPK sudah terbit. Karena kaitannya adalah inpres, maka sekarang inpres tentang tim pemburu aset dan pemburu tersangka dan terpidana koruptor dan tindak pidana lain itu sudah ada di tangan Kemenko Polhukam.

Tim ini terdiri atas perwakilan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Sebagaimana diketahui Tim Pemburu Koruptor dibentuk pada 2004, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tugasnya adalah menangkap koruptor.

 Saat itu pembentukan tim digagas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan dasar hukum Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Namun, kinerja tim ini masih jauh dari harapan, praktis dalam rentang waktu lima tahun tim ini hanya berhasil menangkap satu orang buron kelas kakap, yakni David Nusa Wijaya, tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pada awal 2006.

Sementara itu di sisi lain, Presiden Jokowi pun tengah menggodok rencana pembubaran sejumlah lembaga yang dianggap tidak produktif.

Wacana untuk membubarkan lembaga ini pertama kali disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet paripurna, 18 Juni lalu. Saat itu, Jokowi marah karena menilai jajarannya tak bekerja maksimal dalam mengatasi krisis akibat pandemi Covid-19.

Setelah itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyebutkan, pihaknya mulai mengkaji pembubaran sejumlah lembaga yang keberadaannya dianggap tak maksimal.

Apabila memperhatikan dua wacana yang berkembang hampir bersamaan itu, tentunya antara yang pertama dengan yang kedua begitu jelas saling bertentangan.

Di satu sisi Jokowi ingin mengadakan perampingan, tapi di sisi lain malah akan menghidupkan kembali lembaga yang jelas-jelas saat itu pun kinerjanya jauh dari harapan. 

Bahkan selain terkesan tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada sebelumnya, juga malah dianggap menghambur-hamburkan anggaran negara lantaran tidak berbanding lurus dengan hasil kerjanya.

Oleh karena itu, apabila memang Jokowi berniat untuk melakukan efisiensi yang tepat dan berhasil guna secara maksimal, kenapa tidak dievaluasi, dan lebih dimaksimalkan lagi lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada.

Demikian juga antara satu lembaga dengan lembaga penegak hukum yang lainnya, baik Polri, Kejaksaan Agung, Kemenkumham, KPK, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), harus berkoodinasi untuk bekerja sama secara sinergis dan sinkron di bawah satu komando, yakni Menko Polhukam misalnya.

Jangan sampai seperti sekarang ini, masih saja terkesan ada sikap saling tuding, saling menyalahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan saat berhasil mencapai target, mengklaim sebagai hasil kerja lembaga sendiri. 

Oleh karena itu, sebaiknya Pak Machfud jangan terburu nafsu. Pikirkan lebih jauh lagi. Daripada anggaran negara digunakan untuk TPK, lebih baik disalurkan saja untuk penganganan pandemi Covid-19 misalnya.

Atau pastinya ya untuk memaksimalkan kinerja lembaga penegak hukum yang sudah ada. Jangan sampai seperti sekarang ini. Seorang jenderal bintang satu, koq ada main mata dengan buronan Djoko Tjandra. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun