Mohon tunggu...
Arsenius Yohanes Barus
Arsenius Yohanes Barus Mohon Tunggu... Mahasiswa

Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bisnis Senjata dan Pelanggaran Embargo : Peran Aktor Non-Negara Dalam Konflik Myanmar

28 April 2025   14:28 Diperbarui: 30 April 2025   07:40 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik berkepanjangan di Myanmar yang dimulai sejak kudeta militer pada Februari 2021 telah memicu berbagai respon internasional, yang salah satunya adalah seruan embargo senjata dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan embargo ini adalah untuk menghentikan pengiriman senjata kepada junta militer yang dituduh melakukan penindasan serta pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat sipil. Namun, praktik perdagangan senjata dan pelanggaran embargo masih terus berlangsung, terutama melibatkan aktor non-negara seperti perusahaan swasta dan korporasi yang berfungsi sebagai perantara dalam perdagangan senjata ilegal ke Myanmar.

Tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia, yaitu PT PINDAD, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia, pernah dilaporkan ke Komnas HAM karena diduga menjual persenjataan ke Myanmar, yang dianggap melanggar resolusi PBB nomor 75/287 yang melarang pengiriman senjata ke Myanmar pascakudeta militer. Meskipun pihak holding perusahaan Defend ID yang menaungi ketiga BUMN tersebut membantah adanya kerja sama atau penjualan senjata ke Myanmar sejak Februari 2021, laporan dari organisasi HAM non-pemerintah dan Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar mengindikasikan bahwa hubungan perdagangan senjata dengan Myanmar telah ada sejak 2014 dan diduga berlanjut setelah kudeta. Tindakan penjualan ini diduga dimediasi oleh perusahaan swasta bernama True North Company Limited, yang dimiliki oleh keluarga pejabat junta militer Myanmar, sehingga menunjukkan keterlibatan aktor non-negara dalam bisnis senjata yang mendukung rezim militer tersebut.

Peran aktor non-negara dalam konflik Myanmar tidak hanya terbatas pada perusahaan milik negara, tetapi juga melibatkan korporasi swasta dan jaringan bisnis yang memiliki ikatan erat dengan elite militer. True North Company Limited, contohnya, berfungsi sebagai perantara signifikan dalam transaksi senjata yang menghubungkan produsen senjata dengan militer Myanmar. Keterlibatan perusahaan-perusahaan ini menimbulkan masalah serius karena mereka beroperasi di tengah embargo internasional yang seharusnya menghentikan aliran senjata ke Myanmar. Ini menunjukkan bagaimana aktor non-negara dapat memanfaatkan celah regulasi dan hubungan bisnis untuk menghindari sanksi dan tetap menjalankan bisnis senjata yang memperpanjang konflik dan penderitaan rakyat Myanmar.

Di tingkat regional, pandangan negara-negara ASEAN terhadap embargo senjata di Myanmar juga cukup rumit. Beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, dilaporkan menolak pencantuman embargo senjata dalam draf resolusi Majelis Umum PBB. Penolakan ini didasarkan pada prinsip non-intervensi dan kepentingan geopolitik masing-masing negara. Akibatnya, embargo senjata yang diharapkan dapat menekan junta militer Myanmar menjadi kurang efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari negara-negara di kawasan tersebut. Selain itu, Myanmar juga secara terbuka menolak embargo itu dan menganggapnya sebagai tuduhan yang tidak berdasar, sementara Rusia dan Cina, dua pemasok utama senjata ke Myanmar, juga menolak embargo tersebut.

Kondisi ini menunjukkan dilema yang dihadapi komunitas internasional dalam menangani konflik Myanmar. Di satu sisi, ada upaya untuk menghentikan pengiriman senjata melalui embargo, tetapi di sisi lain, aktor non-negara dan beberapa negara kunci tetap memfasilitasi perdagangan senjata. Hal ini diperburuk oleh ketergantungan negara-negara ASEAN pada impor alat pertahanan dari negara-negara maju di luar kawasan, yang memicu inisiatif seperti ASEAN Defense Industry Collaboration (ADIC). ADIC bertujuan untuk mengurangi ketergantungan ini dengan mengembangkan industri pertahanan domestik ASEAN, sekaligus memperkuat diplomasi pertahanan dan mengurangi risiko embargo dari negara-negara pemasok utama. Namun, pelaksanaan ADIC menghadapi berbagai kendala teknis dan politik, sehingga belum mampu sepenuhnya menyelesaikan masalah ketergantungan senjata dari luar kawasan.


Keterlibatan aktor non-negara dalam perdagangan senjata di Myanmar juga mencerminkan pola yang lebih umum dalam konflik bersenjata di berbagai negara. Perusahaan swasta, terutama yang berskala multinasional, sering kali terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik internal, dengan menyediakan senjata dan dukungan logistik kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Mereka memanfaatkan keadaan konflik untuk memperoleh keuntungan bisnis, yang pada akhirnya memperpanjang dan memperburuk situasi kekerasan. Contoh seperti bisnis "blood diamond" di Angola dan partisipasi perusahaan multinasional dalam konflik di Chile menunjukkan bahwa industri senjata dan konflik sering kali saling terkait dengan erat.

Dalam konteks Myanmar, perdagangan senjata yang melibatkan aktor non-negara ini tidak hanya melanggar embargo internasional tetapi juga berkontribusi pada pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Penjualan senjata kepada junta militer memungkinkan mereka untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan dan menganiaya perlawanan sipil. Oleh karena itu, pengawasan yang ketat serta penegakan hukum internasional terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam perdagangan senjata ilegal sangat penting. Selain itu, negara-negara perlu meningkatkan kerja sama regional dan internasional untuk menutup celah yang memungkinkan pelanggaran embargo dan memperkuat mekanisme pencegahan konflik.

Sejak kudeta 2021, junta Myanmar mengatasi embargo senjata dengan memperkuat kerja sama militer bersama Rusia dan China sebagai pemasok utama, sekaligus memanfaatkan perusahaan shell dan cryptocurrency untuk menghindari sanksi Barat. Di dalam negeri, junta meningkatkan produksi senjata lokal dan memperketat perbatasan untuk memblokir pasokan senjata ke kelompok pemberontak. Meski kebijakan ini mempertahankan stok senjata militer, ketergantungan pada Rusia-China semakin dalam, sementara perdagangan senjata gelap di perbatasan terus memicu konflik berkepanjangan

Secara keseluruhan, perdagangan senjata dan pelanggaran embargo di Myanmar menggambarkan bagaimana aktor non-negara memainkan peran kunci dalam memperpanjang konflik. Mereka memanfaatkan kelemahan regulasi internasional serta dukungan dari jaringan bisnis dan negara-negara yang memiliki kepentingan geopolitik. Upaya internasional untuk menghentikan pasokan senjata melalui embargo harus dilengkapi dengan tindakan nyata untuk menindak pelanggaran dan memperkuat industri pertahanan domestik di kawasan agar ketergantungan terhadap pemasok luar bisa dikurangi. Hanya dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan pengawasan yang ketat, diplomasi pertahanan, dan kerja sama internasional, konflik di Myanmar dapat diminimalkan dan proses perdamaian dapat diupayakan dengan lebih efektif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun