Mohon tunggu...
Arry Azhar
Arry Azhar Mohon Tunggu... Pembelajar

Arry Azhar merupakan seorang yang hobi belajar. Baginya belajar adalah sesuatu yang mengasyikkan penuh dengan pengalaman serta nilai nilai kehidupan yang didapatkan. Melalui kompasiana, ia mencoba belajar menjadi penulis. Arry Azhar memiliki hoby membaca, mendengarkan musik, menulis, menonton film dan Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilangnya Nurani

22 Agustus 2025   11:01 Diperbarui: 22 Agustus 2025   11:01 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi Kehilangan  (Sumber: Freepik)

Langit Hastinapura berwarna kelabu, seakan ikut berkabung atas hilangnya sesuatu yang paling berharga dari negeri itu, nurani. Di ladang-ladang, tanah merekah kering, menolak memberi kehidupan. Di rumah-rumah rakyat, tangis lapar terdengar lebih nyaring daripada doa. Namun di balik tembok istana, para wakil rakyat justru berpesta pora, bergembira atas naiknya tunjangan mereka, seolah kesenangan pribadi lebih penting daripada jerit rakyat yang diwakili. Dan sang raja, yang seharusnya menjadi penuntun, hanya menunduk dan tersenyum hambar, membiarkan pesta itu berlangsung. Malam itu, Hastinapura kehilangan cahaya, bukan karena matahari tak bersinar, melainkan karena nurani telah benar-benar pergi.

Di jalan-jalan desa, wajah-wajah tirus bertebaran. Ada ibu yang memeluk bayinya sambil menahan lapar, ada petani yang duduk lesu di pinggir sawah yang sudah berubah jadi gurun, ada pedagang kecil yang gulung tikar karena tak ada lagi yang dapat ia jual. Negeri yang dulu penuh kemakmuran kini seperti kuburan yang berjalan.

Di dalam aula istana, pemandangan justru bertolak belakang. Malam itu, ruangan megah penuh cahaya obor, denting gelas arak, dan suara musik yang riuh. Para wakil rakyat duduk di kursi empuk, berpakaian megah, dengan wajah penuh tawa. Mereka baru saja menerima kabar bahagia,  tunjangan mereka telah dinaikkan.

"Lihatlah, teman-teman!" seorang wakil berteriak sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. "Akhirnya pengabdian kita dihargai! Kita layak berpesta. Kita layak menikmati jerih payah kita!"

Sorak sorai pun menggema. Gelas-gelas beradu, tawa meledak di setiap sudut ruangan. Beberapa menari tanpa beban, melupakan sejenak bahwa di luar tembok istana, rakyat merintih menahan lapar.

Sang raja, duduk di singgasananya, hanya tersenyum tipis. Matanya kosong, seolah tidak benar-benar melihat. Ia meneguk araknya, mencoba mengusir rasa bersalah yang samar, lalu kembali menatap para wakilnya yang menari. Pesta itu bagai pisau yang menusuk dada rakyatnya.

Sementara itu, di sebuah rumah reyot di pinggir desa, seorang kakek duduk di beranda kayu yang lapuk. Tubuhnya renta, matanya keriput, namun sorotnya masih menyimpan ketajaman. Ia baru saja mendengar kabar tentang pesta di istana. Dadanya sesak, seolah ditindih oleh batu besar.

"Ya Tuhan..." bisiknya, "mengapa mereka tega? Mengapa mereka menari di atas penderitaan rakyat?"

Di hadapannya duduk dua pemuda terpelajar, Rudi dan Imam. Mereka baru pulang dari kota setelah menuntut ilmu. Wajah mereka merah padam, sorot matanya penuh api.

"Raja itu pengecut, Kek!" bentak Rudi. Tangannya menghantam meja bambu hingga piring bergetar. "Ia bukan lagi simbol kebesaran. Ia hanyalah boneka yang memberi makan serigala-serigala rakus di istana. Bagaimana mungkin ia berpihak pada mereka, sementara rakyatnya mati perlahan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun