Gelap malam, nyanyian beda alam, masih lirih terdengar. Bunyi hujan, masih enggan menghentikan hentakan. Sedang degup dada, mulai menangkap keganjilan.
"Sudahlah, waktunya kau tidur...." lirih meminta di telinga.
"Tidak!.... Meskipun ini malam digulung siang, masih akan kucipta puisi"
Sejenak hening. Hingga aura dingin menelusup, tepat di tengkuk. Serasa merambat turun. Dan secepat pikiran mengikuti, jejaknya hilang di pusar kepala.
"Jika itu inginmu, teruskan.... Aku khan senang menemani" kembali sosok itu berkata.
Dia menggeser kursi, duduk tepat di sisi kiri. Bulu-bulunya yang kasar terasa menusuk. Kulit tangannya yang menebal, terasa berat di pundak.
Aku hanya diam. Jemariku semakin memucat. Pikiranku buntu. Tak mampu lagi mencipta kata demi kata.
"Kenapa? Teruslah kau cipta puisi"
Aku masih diam. Kulirik dia. Bola matanya yang besar memerah, membuatku sedikit beringsut ke kanan. Yang paling menyita perhatian, taringnya masih bau anyir darah.
Kali ini dia mendekapku. Anehnya aku masih diam. Dari tubuhnya menguar keringat. Mampu sedikit mengusir rasa takut dan mulai lenyap.
"Apa maksudmu mendekapku?" tanyaku.