Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 - Tiga Puluh Tujuh s/d Tiga Puluh Sembilan

15 Oktober 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tiga Puluh Tujuh

~ Mat Boncel: Ibu yang Lahir dari Rahim Koma ~

Dua bulan berlalu, kerinduan itu mulai merasuk. Selama ini tak begitu kentara terasa, Koma masih bisa menyingkirkan dengan menikmati pekerjaannya di jalanan. Siapa lagi yang dia rindukan jika bukan Asih, sosok malaikat penjaganya. Koma takkan bisa cepat melupakan suara, raut wajah, senyum, dan bagaimana tangan halus itu membelainya. Harum aroma tubuh sang ibu, masih terekam di hidungnya, dan rasa segelas kopi buatan Asih, masih terekam di lidahnya.

Kerinduan itu bersekutu dengan keberuntungan yang selalu membayangi Koma ke manapun pergi. Dia belajar tegar. Berusaha tidak menjadi bocah lemah, dramatis, perindu yang cengeng. Sesekali hampir menangis sebab merindukan sang ibu, adalah wajar untuk ukuran anak-anak, tapi dia cukup pandai menyembunyikannya. Yang sering dilakukan untuk melampiaskan kerinduan pada sang ibu adalah memeluk boneka bebeknya. Walau tidak cukup, tapi sementara boneka itu bisa menjadi pengganti Asih.

Saat sendiri dan tak ada yang dilakukan untuk dapat mengalihkan dari bayangan sosok sang ibu, saat itu pula kerinduan menari-nari di benak Koma. Hari ke hari dia terus berusaha menegarkan diri. Dari sehari sekali kerinduan itu muncul mengorek sepi di sanubari Koma, hingga dua hari sekali. Namun, seminggu sekali kerinduan itu terasa begitu dalamnya, menjelma sebuah keinginan yang melebihi keinginan apa pun selain bertemu Asih. Sangat, amat dan teramat ingin melihat wajah sang ibu, langsung. Ingin mendengar suara dan memeluknya langsung, bukan dalam bayangan atau mimpi. Langsung, tak ada jarak dan tak ada waktu yang menghentikan, tak juga ada siapa pun yang menghalangi.

Ibu adalah sosok senantiasa pemberi kekuatan, kedamaian dan pemberi apapun terbaik yang dapat membuat semuanya menjadi lebih baik. Menguatkan saat lemah, menyejukkan saat gersang, menggembirakan saat duka, dan memudahkan saat sulit. Ibu, sosok penuh kekuatan yang sukar terganti oleh sumber kekuatan darimana, siapa dan dari apa pun.


Tanpa mengerdilkan peran dan ketidakberadaan sang ibu, Koma mencoba dan dengan cepat mampu berdiri sendiri, tanpa semua kemudahan yang diberikan sosok malaikat agung bernama "ibu". Awalnya terasa terlalu sulit untuk lepas dari dari bayangan sang ibu. Nafas yang berembus adalah nafas Asih, darah yang mengalir dalam darah Koma adalah darah Asih.

Untuk lepas dan tegar tanpa seorang ibu, sangat tak mudah bagi Koma. Hari, jam dan detik yang dilalui terasa begitu lambat. Kerinduan menyatu bersama waktu, menjadi kejam mendera, menjadi kasar, sukar membiarkannya larut dalam ketenangan. Ketenangan hanyalah bisa dimunculkan ketika ada kehilangan, pengalihan, dan sesuatu yang bernama "lupa". Lupa, artinya tak mengingatnya, atau tergantikan oleh ingatan lain. Dan pada Koma, ingatan itu tergantikan dengan pemikiran harus bertahan hidup dan membuat Mat Boncel selalu tersenyum.

Sesungguhnya setiap malam Koma menangis tanpa suara. Setiap malam Koma gelisah mengaduh tanpa pengaduan. Di balik ketegaran yang terbalut kepolosan itu ada sebuah kerapuhan yang kentara, namun Koma kecil pandai menyembunyikan. Dia menggantikan sosok ibunya dengan boneka bebek, dengan bocah-bocah bohemian yang terbiasa dengan negasi-negasi kenyamanan hidup mewah. Koma gantikan dengan apa pun yang menghindarkan diri untuk mengenang Asih yang membuatnya menjadi bocah cengeng.

Nasib Koma sama dengan bocah-bocah di rumah penampungan itu, jauh terpisah dari figur dan perhatian seorang ibu. Tapi, bukan tak mungkin bocah-bocah lain lebih berat menanggung kesedihan jauh dari keluarga. Kerapuhan itu Koma sembunyikan dengan keacuhan bersikap. Dia menyamarkan kerapuhan itu dengan ketidakteraturan, bahkan dibungkus dengan sikap kasar. Ketegaran yang dibuat-buat untuk menghadirkan apatis dan menjauhkan diri dari dramatis memancing perhatian untuk butuh dikasihani.

Tapi saat-saat tertentu, kerapuhan dan kepedihan itu jangan disembunyikan. Ada saat tertentu yang harus dimunculkan dan dilebih-lebihkan. Saat itu adalah saat berhadapan dengan orang-orang di jalanan pada jam kerja, bukan saat berhadapan dengan sosok ibu, atau pula saat sendirian pragmatis. Menghadirkan rasa itu pada mereka hanya menghasilkan ketulusan, kasih sayang, penghargaan dan perhatian, bukan menghasilkan uang, bukan juga menghasilkan keacuhan dan olok-olok makian bahkan sasaran kekesalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun