Sampah plastik merupakan isu lingkungan yang mendesak yang dihadapi oleh dunia, termasuk Indonesia. Sampah ini seringkali terdiri dari kemasan makanan plastik, sedotan, sampai kantong plastik untuk belanja. Kantong plastik ini atau yang biasa kita sebut sebagai kantong kresek merupakan salah satu contoh sampah yang menyumbang pencemaran lingkungan yang signifikan, khususnya di lautan atau sungai. Berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2023, Indonesia memiliki timbunan sampah plastik sekitar 10,8 juta ton atau 19% dari total sampah nasional. Jumlah ini diperkirakan akan naik pesat ketika perayaan Hari Raya Idul Adha, yakni menjadi 608 ton atau sekitar 121,5 juta kantong plastik. Fakta ini menggambarkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap plastik sekali pakai.
      Oleh karena itu, untuk mengurangi penggunaan kantong plastik ini, sejak tahun 2016, KLHK mengeluarkan SE Nomor: S.1230/PSLB3-PS/2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Menurut surat edaran ini, diberlakukan harga satu kantong plastik minimal Rp200. Namun, apakah kebijakan ini efektif untuk mengurangi penggunaan kantong plastik di Indonesia? Esai ini akan membahas mengenai penerapan pajak plastik berdasarkan teori eksternalitas dan pajak pigouvian.
A. Teori Eksternalitas
Dalam ekonomi lingkungan, penggunaan kantong plastik merupakan salah satu contoh eksternalitas negatif, yaitu ada dampak negatif yang tidak tercermin dalam harga pasar dan ditanggung oleh pihak ketiga atau masyarakat luas. Contoh dari dampak adanya penggunaan kantong plastik yang berlebihan yaitu pencemaran air, udara, tanah, sampai kerusakan ekosistem laut. Karena biaya ini tidak masuk dalam penghitungan harga kantong plastik, maka terjadi kegagalan pasar (market failure). Pajak plastik yang dikenakan pemerintah tujuannya adalah selain untuk menambah pendapatan negara, juga untuk mengurangi eksternalitas negatif yang ditimbulkan. Berharap konsumen akan terdorong untuk mengurangi penggunaan kantong plastik dan menggunakan alternatif lain seperti tas belanja kain.
      Dari uji coba kebijakan kantong plastik ini pada tahun 2016, sebagai contoh di Kota Banjarmasin, terdapat penurunan penggunaan kantong plastik hingga lebih dari 50% dalam tahun pertama. Dari sudut pandang teori eksternalitas, hal ini mulai berhasil memindahkan sebagian biaya lingkungan ke dalam putusan konsumsi individu.
      Akan tetapi, sampai hari ini, jumlah sampah plastik yang dihasilkan Indonesia setiap tahunnya seringkali naik. Dapat dilihat dari tabel berikut yang diringkas dari data di KLHK.
Tahun
Total Sampah (juta ton)
Sampah Plastik (juta ton)
Persentase Plastik
2021
28,5
11,6
17%
2022
38,6
12,54
18,2%
2023
38,2
10,8
19%
Tabel ini menunjukkan bahwa pajak plastik ini kurang efektif untuk mengurangi sampah keseluruhan. Hal ini dapat terjadi karena masih banyak daerah di Indonesia yang belum menerapkan kebijakan serupa, sehingga efeknya belum merata secara nasional yang dilihat dari masih banyaknya bencana banjir yang disebabkan karena timbunan sampah yang menumpuk.
B. Pajak Pigouvian
Pajak pigouvian adalah pajak yang dikenakan pada aktivitas ekonomi yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan besarnya idealnya setara dengan nilai kerugian sosial yang dihasilkan. Harga Rp200 yang dikenakan untuk setiap kantong plastik di Indonesia sesuai dengan prinsip pigouvian. Namun, keefektivan tergantung dari apakah masarakat memandang Rp200 harga yang tinggi atau rendah. Jika harga terlalu rendah, masyarakat akan tetap menggunakan kantong plastik ini, artinya tidak akan mengubah konsumsi plastik. JIka harga terlalu tinggi, akan menciptakan keresahan sosial dan ekonomi, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
      Akan tetapi, implementasi pajak pigouvian ini sepertinya kurang diberlakukan di Indonesia. Pajak kantong plastik umumnya kita temui di supermarket dan toko-toko swalayan. Sangat jarang ditemukan untuk usaha UMKM dikenakan pajak plastik. Untuk itu, diperlukan pengawasan distribusi plastik serta edukasi ke publik mengenai pentingnya pengurangan konsumsi kantong plastik. Tanpa hal itu, pajak yang dikenakan akan terasa hanya sebagai formalitas tanpa adanya bukti nyata.
Simpulan
Penerapan pajak kantong plastik di Indonesia merupakan awal yang baik dalam paya mengurangi penggunaan konsumsi plastik sekali pakai tersebut. Berdasarkan teori eksternalitas, kebijakan ini berperan penting dalam menginternalisasi biaya sosial yang timbul dari pencemaran plastik. Di sisi lain, pendekatan pajak Pigouvian menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat efektif apabila pajak ditetapkan pada tingkat yang sesuai dan diterapkan secara merata.
      Namun, efektivitas adanya pajak ini masih belum maksimal. Keberhasilan dapat dilihat di kota yang sudah menerapkan pajak kantong plastik seperti di Kota Banjarmasin. Namun di sisi lain, jumlah sampah plastik di Indonesia tidak berkurang yang berarti nambah setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan penerapan pajak kantong plastik yang belum merata ke daerah dan pelaku UMKM, serta kurangnya edukasi publik yang menjadi hambatan tercapainya tujuan dari kebijakan ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya penguatan dari berbagai aspek, tidak hanya dari segi ekonomi agar kebijakan ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi benar-benar berdampak terhadap pengurangan konsumsi kantong plastik di Indonesia.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI