Mohon tunggu...
Arolina Sidauruk
Arolina Sidauruk Mohon Tunggu... Pengacara - Waktu itu sangat berharga

Bagai menegakkan benang basah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Covid-19 Melahirkan Kesombongan dan Pembohongan

7 Oktober 2020   09:39 Diperbarui: 7 Oktober 2020   09:52 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu yang lalu, ketika saya bermaksud untuk membeli obat buat ibu saya ke salah satu depot obat herbal (bukan apotek) di kota kami, saya pun bertanya kepada yang jaga toko, apakah ada obat angkung?

Mereka saling berpandangan, rasanya saya tidak mengenal mereka, saya bertanya di mana ibu toke? karena saya sudah berlangganan di toko tersebut (berharap sitoke masih mengenali saya), entah kenapa saya agak ragu apakah mereka dapat menerangkan fungsi obat tersebut.

"Ibu masih di rumah, lagi makan, silahkan duduk ibu!" Mereka merespon saya. Mereka pun melanjutkan pekerjaan melayani pembeli yang semakin ramai. Sejenak saya pindah duduk ke mobil yang saya parkir di depan toko. 

Tak lama kemudian ibu toke datang dan saya pun dipanggil, ketika saya masuk dan membuka masker saya (maksud hati supaya dia  ingat wajah saya) tapi dengan spontan dan wajah yang ketakutan, dia lalu berujar setengah teriak "jangan....dibuka bu, sudah di situ saja," sambil dia menjauh, jauh sekali, sampai berjarak 1 meter. membuat saya jadi emosi sambil menggerutu,,kog sampai segitu bu reaksinya? iya bu,,maaf kita kan lagi ada covid, mohon pengertiannya ,dan sambil berteriak sekencang-kencangnya, hingga membuat pembeli berhamburan keluar, merasa tersinggung. Saya langsung pergi tidak jadi beli obatnya. Apakah saya salah kalau menilai ibu tersebut terlalu berlebihan? boleh takut..tapi janganlah seperti itu , malah dia sendiri yang rugi.

Lalu kemarin siang ,saya bermaksud mau cabut gigi ke salah satu Puskesmas, dikota kami. seperti biasa pasien harus mendaftar dulu,karena saya lupa membawa kartu BPJS, saya sudah  ikhlas kalau saya berobat dengan status pasien umum. Disini juga pelayanannya terlalu berlebihan, setelah semua prosedur saya ikuti, mencari ruangan dokter gigi, lagi-lagi saya merasa diberlakukan tidak pantas, si dokter dengan pakaian robotnya lalu bertanya ini dan itu kepada saya dengan wajah yang seperti ketakutan, padahal saya santai saja, jarak yang tidak enak buat diskusi, mata yang seperti curiga, saya sempat bertanya,,,apa seperti ini paramedic memberlakukan pasien dengan atau tanpa diagnosa penyakit apapun ? jawabnya .....ya bu semua karena covid.  

Saya hanya tersenyum dalam hati,,,( ini akan menjadi bahan untuk tulisan  di kompasiana) oh ya saya lupa mengatakan ke dokter tersebut bahwa saya punya saudara yang tugas disini, diam-diam saya WA saudara saya, dan nongol seketika diruangan tersebut, mau tahu reakasinya???? Eeh...ngapain ibu S kesini, tanya si dokter, ibu ini kakak saya, jawab si ibu bidan tanpa beban ( saya panggil eda,karena semarga dengan suami saya) wajah si dokter berubah jadi merah,sepertinya tersipu malu, dia buka  tutup kepala pakaian astronoutnya,dan mendekati kami tanpa jarak. 

Lagi-lagi saya berbisik dalam hati, covid ini membuat orang menjadi pendusta dan pembohong. Kalau memang ketakutan dari awal, biar saja ketakutan, sayapun maklum, jangan berubah setelah mengetahui bahwa saya punya saudara/bekking disitu, karena saya tadi berobat dengan status pasien umum,  si ibu bidan langsung berujar, sudah kak, biar aku aja yang bayar.'nah ...lo ( usia bu dokter dan bu bidan terpaut jauh,boleh dibilang si dokter baru 3 tahun mulai bekerja di Puskesmas tersebut )

Peristiwa yang ketiga adalah ketika saya bermaksud untuk mencetak pasphoto di salah satu toko studio. Seperti biasa,, segala skats  komunikasi sudah dibuat disetiap ruang, cuci tangan diemperan  toko. Berbicara pakai kode, bagaikan orang yang tunarungu. Saya  memaklumi kondisi ini, hamper setengah jam saya menunggu , tanpa berbicara, tanpa dialog, kemudian saya bayar dan pergi. 

Keesokan harinya, saya kembali ke tempat itu karena ukuran foto saya salah,  bergaya dengan kode tangan dan mata yang melotot dihalangi masker, sayapun menunggu diluar,setengah jam kemudian bayar lalu pergi. Dua hari kemudian saya kepo (pengen tahu dan penasaran akan reaksi mereka kalau saya datang kembali) saya sengaja mencetak foto anak saya sebagai alasan untuk menguji kesetiaan mereka terhadap covid,  ternyata.....setelah mereka melihat,mengingat dan berpikir mungkin, saya diberlakukan baik, kami bercerita panjang lebar dengan yang empunya toko, bercerita tentang Pilkada, Covid dan bertanya tentang bagaimana pendapat saya terhadap  orang-orang yang berpesta di tengah covid?lagi-lagi saya tersenyum, ini bahan tulisan ke kompasiana.

Dari runutan cerita saya diatas, dapat saya simpulkan bahwa benar covid ada dan sedang kita hindari, tapi harusnya kita tetap dengan pendirian jangan munafik,jangan berpura-pura ketakutan, seolah-olah jijik,seolah-olah takut kena virusnya,  tapi kalau ada becking luluh juga sangarnya? Ketika saya sudah bolak-balik ke toko studio, mengapa mereka bisa ramah,mengapa mereka bisa seperti bersaudara dengan saya. Ini yang membuat saya bingung,tidak tahu mau bersikap apa?pesta dimana-mana,dangdutan disana - sini, walaupun diberi batasan waktu, tetap saja jarak tidak bisa dipertahankan, bahkan masker sudah sering lupa memakainya, kita sudah puas dan merasa nyaman kalau masker dikaitkan ke dagu saja. Tidak perduli mau dokter,hakim,PNS,pedagang atau pengemis sekalipun masker lebih sering terlihat nempel didagu, lalu apa yang harus ditakutkan? 

Orang-orang malah bilang, "kematian adalah urusan Tuhan"  benar sekali.. tapi apakah Tuhan membiarkan orang mati konyol tanpa berusaha menghindari dan berusaha untuk mengobati? Terlepas dari gonjang-ganjing orang tentang covid yang katanya sebuah Konspirasi, tapi tidak ada salahnya kita menyelamatkan diri sendiri, melindungi saudara dan menghargai usaha pemerintah dalam penanggulangan pandemic ini tapi jangan berlebihan,jangan jadi pembohong dan munafik. 

Kita tidak mengetahui kapan virus tersebut lenyap sama sekali, tapi hidup tetap berjalan, perut harus diisi, pendidikan harus berlanjut, ekonomi harus berputar, ibadah harus berlangsung. Terkadang kita tidak bisa membedakan kesombongan dengan ketakutan, berdalih menjaga diri dari covid,ternyata bisa pilih bulu dan melihat penampilan seseorang, yang kalau dilihat seperti konglomerat, covid pasti diabaikan, coba kalau seseorang berpenampilan kumuh/miskin maka covid menjadi senjata.  Ini fakta...... sayang saya lupa membuat foto dokumentasi, nanti melanggar pasal UU ITE.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun