Mohon tunggu...
Arnoldus Ajung
Arnoldus Ajung Mohon Tunggu... Guru - Inspirasi Hidup

Hidup selalu dihadapkan pada pilihan. Maka hidup harus selalu dimaknai, agar hidup berkualitas. Hidup yang berkualitas adalah hidup yang bermakna dan bernilai, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Mencoba memaknai hidup yang dianugerahkan, mencari butir-butir mutiara hidup yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa dan pengalaman hidup.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksistensi Manusia sebagai Makhluk yang Sempurna dan Tantangan Kemanusiaan

5 September 2021   05:00 Diperbarui: 5 September 2021   05:54 4300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Blanca via nalarpolitik.com

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling luhur, mulia, karena memiliki keistimewaan dibandingkan ciptaan Tuhan yang lainnya. Kestimewaan manusia inilah yang menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang bermartabat luhur yang sempurna. Manusia bermartabat, bernilai dan berharga karena keberadaan dirinya sebagai manusia. Dengan kata lain, ia (manusia) disebut manusia karena memiliki kemampuan dasar. Kemampuan dasar inilah yang membedakannya dengan ciptaan Tuhan yang lain.

Ada 4 kemampuan dasar yang dimiliki manusia yang menunjukkan esksitensinya sebagai manusia, yaitu:

Pertama, kemampuan akal budi. Manusia disebut makhluk yang berakal budi, artinya manusia memiliki kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada dirinya, apa yang sedang dilakukannya, apa yang dialaminya, apa yang terjadi di sekitarnya. Manusia mampu menjelaskan segala situasi dan kondisi dirinya dan sekitarnya dengan akal budinya. Mengetahui, memahami dan menjelaskan  segala permasalahan yang terjadi pada dirinya dan dunia sekitarnya. Dengan kemampuan akal budinya manusia mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapinya, mencari solusi terbaik agar selalu survive. Berkat kemampuan akal budinya manusia menemukan berbagai solusi atas persoalan keseharian hidupnya, menciptakan teknologi canggih yang dapat membantu, mempermudah dan mengefektifkan segala pekerjaannya. oleh sebab itu manusia mampu menciptakan sejarah perjalanan hidupnya. Sejarah peradaban manusia membutikan bahwa manusia selalu berkembang ke arah yang lebih baik dan lebih sempurna dalam rangka mengambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan. Perkembangan peradaban manusia telah membuktikan kedahsyatan akal budi manusia. Manusia mengalami evolusi fisiologis, mental psikologis dan juga spiritual. Bermula dari yang sederhana, primitif, tradisional menjadi semakin kompleks dan modern. Dengan akal budinya manusia dapat menciptakan yang tidak ada menjadi ada. Seolah-olah menjadi Tuhan bagi dirinya. Maka dapat dibayangkan jika manusia tidak bisa mengendalikan akal budinya. Manusia dapat “men-Tuhankan” dirinya. Manusia dapat membuat rasionalisasi, pembenaran diri atas segala tindakan dan perbuatannya. Seharusnya dengan akal budinya inilah manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimana cara mengendalikan akal budi manusia? Tuhan menciptakan kemampuan kedua yang harus dimiliki manusia agar tidak lupa pada dirinya dan penciptanya, yaitu memiliki perasaan.

Kedua, memiliki perasaan, dengan perasaannya manusia mampu bersimpati dan berempati, turut merasakan apa yang dirasakan orang lain atau sesamanya. Bahkan lebih daripada itu, perasaan manusia dapat menjadi alat ukur bagaimana dia seharusnya bersikap dan memperlakukan sesamanya. Setiap manusia yang terlahir di dunia pasti bisa dan pernah sedih, kecewa, marah, takut, senang, gembira, bahagia, terharu, tetapi intensitas perasaan setiap orang berhadapan dengan sesuatu yang menggugah perasaannya pasti tidak sama. Misalnya ketakutan setiap orang berhadapan dengan pandemi Virus Corona-19 pasti tidak sama. Ada yang biasa saja, ada yang sangat takut, sehingga menjadi paranoid, ada yang takut, tetapi masih bisa mengedalikan perasaannya, sehingga tidak kelihatan sedang takut. Perasaan yang berlebihan dapat mengakibatkan perkembangan kepribadian yang tidak seimbang. Misalnya ketika kehilangan orang yang dicintai, semua orang akan sedih, tetapi jika terlalu bersedih, membuat orang tidak bisa dan tidak mau berbuat apa-apa, tidak bisa move on. Kehilangan kepercayaan diri, kepercayaan pada orang lain, bahkan pada Tuhan, menyalahkan diri sendiri, situasi dan orang lain. Dan lebih fatal lagi dapat menyebabkan keputusasaan, melakukan tindakan yang menyakiti dirinya sendiri, bunuh diri. Bisa dibayangkan jika manusia tidak takut pada Tuhan, penciptanya. Manusia akan melakukan apa saja yang dia anggap benar, tidak peduli akibatnya bagi orang lain, menjadi tega, tidak kasihan pada penderitaan orang lain yang diakibatkan olehnya. Menyakiti, menyiksa, bahkan membunuh menjadi sesuatu yang biasa saja. Lalu bagaimana cara mengendalikan perasaan manusia yang berlebihan? Tuhan sangat adil dan bijaksana ketika menciptakan manusia. Ia memberi manusia potensi dalam dirinya untuk mengasi persoalan yang dihadapinya. Manusia harus mampu menggunakan akal budinya untuk mengendalikan perasaanya. Kemampuan memahami, menganalisis, mengolah, dan merefleksikan akan mempengaruhi sikap, keputusan dan tindakan manusia itu sendiri. Maka untuk bertumbuh dan berkembang menjadi dewasa atau matang diperlukan keseimbangan berpikir dengan akal sehat dan disposisi batin, menata perasaan.

Kemampuan dasar manusia yang ketiga adalah memiliki suara hati atau hati nurani. Dengan suara hatinya manusia dapat dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Suara hati dapat dikatakan sebagai kesadaran moral manusia dalam tindakan konkret. Kesadaran moral adalah berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman manusia tentang sesuatu yang baik-buruk, benar-salah. Maka suara hati merupakan hasil internalisasi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat atau lingkungan hidup seseorang. Nilai-nilai dan norma bersumber dari adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, budaya, agama. Suara hati dapat dikatakan sebagai “hakim” dalam diri manusia untuk mengadili perbuatan manusia. Bagaimana cara kerja suara hati dalam diri seseorang? Suara hati selalu bekerja sebelum perbuatan dilakukan, pada saat perbuatan, dan sesudah perbuatan dilakukan. Suara hati selalu konsisten memberi perintah sebelum, pada saat perbuatan dilakukan, yaitu memberi perintah untuk melakukan yang dianggap atau dinilai sesuatu itu baik-benar dan melarang atau memberi perintah untuk tidak melakukan, jika sesuatu itu tidak baik-salah. Maka sebenarnya suara hati tidak pernah menyuruh melakukan yang tidak baik-salah atau melarang melakukan yang baik-benar. Pada saat perbuatan sedang dilakukan, suara hati tetap mendorong, menegaskan, meneguhkan perbuatan kita jika yang dilakukan baik atau sesuai perintah suara hati, atau sebaliknya. Lalu bagaimana caranya untuk mengetahui apakah perbuatan kita sesuai perintah suara hati? Caranya mudah! Sesudah perbuatan dilakukan akan muncul perasaan dalam diri seseorang. Jika perbuatan yang muncul adalah positif, seperti: bangga, senang, bahagia, lega, dan puas, maka dapat disimpulkan bahwa kita telah melakukan apa yang diperintahkan suara hati. Tetapi jika perasaan yang muncul setelah perbuatan dilakukan adalah negatif, seperti: kecewa, takut, sedih, gelisah dan menyesal, berarti perbuatan yang kita lakukan tidak sesuai perintah suara hati.  

Pertanyaan yang sering muncul adalah “Apakah suara hati selalu benar atau bisa keliru?” Jika kita menilai dari sumber suara hati yaitu berasal dari lingkungan dimana seseorang menginternalisasikan nilai-nilai hidup. Maka harus diakui bahwa masih ada nilai dan norma yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan kepercayaan yang diwariskan di setiap generasi dalam keluarga dan masyarakat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dengan kata lain dianggap salah atau keliru. Bagaimana cara membuktikan suara hati itu keliru? Suara hati dikatakan keliru apabila perbuatan yang dilakukan tidak sesuai dengan nilai-nilai objektif yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, ada seseorang membunuh sesamanya berdasarkan keyakinan tertentu yang diinternalisasikan dalam dirinya. Maka setelah perbuatan dilakukan dia akan merasa bangga, puas dan bahagia. Jadi perasaan yang muncul setelah perbuatan dilakukan adalah positif. Berati dia mengikuti perintah suara hatinya. Tetapi kesadaran moral yang dimilikinya keliru, tidak sesuai dengan nilai objektif yang berlaku dan diterima oleh masyarakat pada umumnya, sehingga perbuatannya  dapat dikatakan salah atau keliru. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan yang “baik” adalah sesuatu yang “seharusnya” atau “sepantasnya” dilakukan manusia sebagai manusia yang memiliki akal budi, perasaan, suara hati, dan kehendak bebas. Maka “membunuh” adalah perbuatan yang seharusnya dan sepantasnya tidak dilakukan manusia, karena tidak baik. Pertanyaan lain yang lebih serius adalah “Apakah suara hati sama dengan suara Tuhan?” Jika suara hati bisa keliru maka suara hati bukan suara Tuhan, karena Tuhan tidak bisa keliru, tetapi Tuhan dapat menggunakan suara hati manusia untuk menggerakkan hati manusia untuk melakukan apa yang dikehendakiNya.

Kemampuan dasar keempat, yang dimiliki manusia adalah kehendak dan tindakan. Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan yang memiliki kebebasan untuk menetukan hidupnya. Manusia memiki kebebasan untuk melakukan apa yang dia kehendaki dalam hidupnya. Berbeda dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, manusia memiliki tanggungjawab moral atau kewajiban untuk mempertanggungjawabkan hidup yang dijalaninya. Manusia dapat merencanakan masa depan yang akan dijalaninya (cita-cita atau impian) dengan cara mempersiapkan dirinya jauh hari sebelum terwujud apa yang dikehendakinya. Melalui proses mencari dan menemukan apa yang dapat menjadi bekal, baik dari segi pengetahuan, wawasan, pemahaman, keterampilan, maupun mental. Kehendak dalam dirinya selalu terarah kepada sesuatu yang baik, yang membanggakan, membahagiakan dan kesempurnaan dalam hidupnya. Maka manusia harus mempertanggungjawabkan  tindakannya dan perbuatannya, seluruh hidupnya kepada dirinya sendiri, sesamanya, dan Tuhan.   

 Tantangan Ekstistensi Manusia

Namun di lain sisi di dalam kemanusiaannya dijumpai ada banyak persoalan hakiki yang menjadi pergumulan dan pergulatan hidup manusia yang tak berkesudahan. Manusia mengalamai alienasi, keterasingan dengan dunianya. Manusia kehilangan jati dirinya sebagai makhluk yang berakal budi, berperasaan, berhatinurani, berkehendak bebas. Manusia yang seharusnya mampu membedakan mana yang salah dan benar dengan akal budinya, membedakan yang baik dan buruk dengan hati nuraninya, bertanggungjawab atas kehendak dan kemauannya, dalam sejarah perkembangannya menjadi semakin dipertanyakan eksistensinya sebagai makhluk yang luhur dan sempurna. Eksistensi manusia dipertanyakan sebagai makhluk sosial, yang tergantung dan bergantung kepada yang lain, yang membutuhkan dan dibutuhkan yang lain. Meminjam istilah Adam Smith, manusia sejatinya adalah “Homo Homini socius”, yang berarti manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Namun sayangnya individualisme semakin mendominasi seluruh ruang, gerak dan dinamika hidup manusia. Hidup manusia semakin terarah kepada egonya di satu sisi, dan di lain sisi mengabaikan individu lain di sekitarnya. Lebih menekankan kebebasan manusia serta kepentingan bertanggungjawab dan kebebasan sendiri. Mengutamakan percapaian dan kehendak pribadi. Menentang intervensi dari berbagai pihak, termasuk negara dan agama atas pilihan pribadinya. Tujuan pribadi menjadi dasar dan alasan untuk bertindak di lebih penting daripada tujuan bersama.

Padahal jati diri manusia sesungguhnya adalah sebagai “Imago Dei” atau “gambar Allah” artinya manusia sejati diciptakan oleh yang Maha Kuasa untuk menghadirkan sifat-sifat kebaikan Allah dalam hidupnya. Manusia hendaknya menjadi proyeksi kebaikan Allah, memantulkan cahaya Ilahi, kebaikan Allah dalam setiap tutur kata, sikap dan perbuatannya kepada semua ciptaan Tuhan. Sehingga seluruh hidupnya mewujudkan kehadiran Allah yang menampakkan kebaikan kepada semua makhluk. Mendatangkan keselamatan dan kebahagian bagi seluruh alam semesta.

 

“Quam bene referre langsung, non quam diu” 

(Yang penting adalah seberapa baik Anda hidup, bukan untuk berapa lama)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun