Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tak Dapat Dipercaya, Ini 3 Kekeliruan Taktik Shin Tae-yong Lawan Thailand

29 Desember 2021   23:38 Diperbarui: 29 Desember 2021   23:45 7463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong I Kompas.com

Shin Tae-yong, pelatih asal Korsel itu telah membuat saya jatuh hati dengan fleksibilitas taktiknya yang mumpuni selama gelaran Piala AFF 2020 ini. Namun sayang, di leg pertama final kali ini, menurut saya, dia telah gagal. Pendekatan taktiknya terhadap Thailand tak berhasil. Timnas ditaklukkan empat gol tanpa balas.

Sebelum laga melawan Thailand yang jelas di atas kertas lebih diunggulkan, hal yang paling saya kuatirkan adalah kesiapan mental para pemain Timnas Indonesia di babak final Piala AFF 2020 ini.

Memiliki hanya Fachruddin Ariyanto di barisan starter sebagai pemain yang pernah bermain di final Piala AFF dibanding dengan tujuh pemain Thailand, saya kira akan berpengaruh. Benar itu terbukti. Soal ini saya bahas di tulisan "Dicukur 0-4, Ini Bukti Timnas Indonesia Kalah Kelas dari Thailand".

Akan tetapi, optimisme saya tetap terpelihara karena satu hal. Saya kira di luar kekurangan di atas, ada satu kelebihan yang dimiliki oleh timnas, yakni faktor Shin Tae-yong.

Pelatih asal Korsel yang telah membuat saya jatuh hati dengan fleksibilitas taktiknya yang mumpuni selama gelaran Piala AFF 2020 ini.


Sebelum laga, kekurangan dalam diri pemain yang masih minim pengalaman itu akan ditutup dengan kemampuan dan kejelian Shin Tae-yong memainkan taktik yang tepat, sekaligus membangkitkan tim di saat ketinggalan.

Di leg pertama final melawan Thailand ini, menggunakan perspektif ini, saya kira pasukan merah putih tak perlu menang dengan hebat, imbang saja sudah cukup, atau kalahpun, kalah tipis. Itu harapan saya.

Sayang seribu sayang, harapan itu tinggal asa yang menguap begitu saja. Timnas Indonesia  bukan saja digebuk empat gol tanpa balas, tapi yang membuat saya sesak adalah pendekatan taktik Shin Tae-yong yang kali ini gagal total , terutama di babak kedua.

Dengan sedih hati, saya berusaha mengurai apa yang tidak saya percaya, dengan cara atau pendekatan taktik dari Shin Tae-yong yang menurut saya keliru besar. Ada 3 (tiga) hal yang dapat saya sampaikan.

Pertama, memasang Dedik Setiawan sebagai striker tunggal. Sebelum laga, saya memang berharap ada kejutan dari pemilihan formasi dari Shin Tae-yong, meski saya akan mafhum jika pada akhirnya Tae-yong akan memilih 5-4-1, formasi defensif yang berhasil saat menahan Vietnam di fase grup.

Benar dugaan saya. Shin Tae-yong memainkan 5-4-1. Pemilihan yang rasional, menilik Thailand yang tentu akan bertahan. Namun, saya terganggu dengan pemilihan Dedik Setiawan sebagai striker tunggal di formasi ini.

Saya melihat, ide Tae-yong masih belum jelas dengan pemilihan Dedik, jika memang ingin bermain defensif. Saya menduga pemilihan Dedik adalah karena faktor kecepatan yang dimilikinya yang diharapkan akan merepotkan lawan saat melakukan serangan balik.

Satu kali saja terlihat berhasil, tetapi mayoritasnya buntu. Persoalannya, jika ide ini tidak berhasil, maka Indonesia dipaksa untuk bertahan lebih dalam, dan butuh bantuan Dedik untuk ikut bertahan atau bahkan memaksa pemain belakang Thailand tetap di garis belakang dengan kemampuan duel yang dimiliki.

Sayangnya, saya kira dua hal ini tidak dimiliki seorang Dedik. Dia tak mampu ikut membantu pertahanan, dan tak kuat berduel dengan pemain lawan. Karena itu saya akan cenderung mendorong Shin Tae-yong memilih Ezra Walian daripada Dedik untuk peran ini.

Ezra, meskipun nampak juga belum ideal, tapi memiliki keberanian berduel, dan juga positioning yang membuat pemain di jantung pertahanan Thailand tertahan di belakang, tidak menaikkan garis bertahan untuk membantu dominasi penguasaan bola, seperti yang terlihat dalam laga ini.

Saya akan kembali memperjelas poin ini, bahwa ini bukan mempermasalahkan soal kualitas individu seorang Dedik, yang akhirnya menyalahkan seorang Dedik, tidak demikian adanya. 

Poin saya adalah, pemilihan pemain yang tepat dan selaras dengan ide yang ingin dimainkan oleh Shin Tae-yong di lapangan hijau. Itu saja.

Kedua, prematur mengganti formasi menjadi 4-3-3 dengan pergantian pemain yang tidak tepat. Soal kedua ini akan saya bahas agak panjang.

Pendapat saya, babak pertama berjalan dengan baik, memang tidaklah sangat baik, namun babak kedua timnas Indonesia nampak hancur lebur.

Maksud saya demikian. Pemilihan 5-4-1 di awal laga menghadapi Thailand adalah sebuah kewajaran. Memilih bertahan menghadapi tim yang membuat Vietnam bertekuk lutut di semifinal, adalah sebuah pilihan yang tepat.

Di luar gol cepat Chanatip Songkrasin di awal laga, dapat dikatakan bahwa sesudah itu timnas mampu bertahan dengan cukup baik dengan formasi ini. Memang pemain kita sering keteteran melalui pergerakan dari sektor kanan.

Sepeninggal Pratama Arhan yang terkena akumulasi kartu, sektor ini "digarap" habis pemain Thailand, tetapi satu hal positifnya adalah sesudah gol tersebut, pergerakan Chanatip Songkrasin yang terbilang pemain paling berbahaya Thailand itu sudah dibatasi.

Caranya cerdik sekali, menurut saya. Formasi 5-4-1 itu dapat berubah menjadi lentur menjadi 4-5-1 ketika Alfeandra Dewangga dengan rajin mengikuti pergerakan Chanatip.

Dewangga dibuat menjadi gelandang box-to-box yang dapat bergerak kemana-mana mengikuti pergerakan Chanatip. Sesudah Chanatip dikarantina, dan Teerasil Dangda juga tak mendapat ruang, saya kira babak kedua akan lebih alot.

Akan tetapi saya terkejut ketika babak kedua akan berlangsung. Keluarlah Elkan Baggott, Evan Dimas dan Kadek Agung  dari lorong pemain yang masuk menjadi pemain pengganti. 

Pemain yang keluar lapangan adalah Rachmad Irianto, Fachrudin Ariyanto dan Edo Febriansyah, bek kiri, pengganti Pratama Arhan.

Yang terlihat di lapangan seperti ini. Formasi berubah menjadi 4-3-3. Elkan Baggott berduet dengan Rizki Ridho sebagai bek tengah. Selain itu, Evan Dimas dan Kadek Agung berperan mensuport Ricky Kambuaya yang agak didorong di depan.

Satu hal yang saya kira paling vital adalah membuat Alfeandra Dewangga menempati posisi bek kiri.

Memang alasannya untuk memperkuat sektor ini yang "dipermainkan" Thailand di babak pertama, tetapi bagaimana dengan peran untuk mematikan pergerakan Chanatip? Ini sebuah perubahan vital yang amat merugikan.

Shin Tae-yong memang terlihat berjudi dengan nilai yang sangat besar untuk ini. Chanatip kembali bebas dengan kondisi pemain baru masuk yang belum bisa klop dengan pemain lainnya.

Kadek Agung dan Evan Dimas memang pemain hebat, tetapi waktu adaptasi mereka sesudah masuk lapangan tidaklah cukup untuk bisa menahan Thailand yang masih tetap kokoh dan tidak mengubah taktik mereka.

Selain itu, hampir tak dapat dipercaya bahwa Tae-yong malah berani membuka meja dengan 4-3-3 yang dirubah menjadi 4-2-3-1 setelah Egy Maulana Vikri masuk menggantikan Ricky Kambuaya. Ini seperti membuka gerbang kendang para banteng untuk keluar.

Saya kira, sebenarnya pilihan yang paling arif bagi Shin Tae-yong adalah menahan laju serangan Thailand, untuk jangan menjebol gawang lebih dari dua gol. Tidak mengapa jika mesti kembali bertahan dengan bermain dengan 5-4-1 kembali. Asal jangan kebobolan lebih banyak.

Sayangnya ini tidak dilakukan oleh Tae-yong. Evan Dimas bahkan tidak dapat menjadi penyuplai bola yang baik, karena Thailand terus menekan dan membuat Evan Dimas juga mesti ikut bertahan, yang cilakanya adalah kemampuan bertahan Evan Dimas yang  lemah.

Dimasukkannya Egy Vikri Maulana juga dipenuhi tanda tanya. Mengapa harus menggantikan Ricky Kambuaya? Mau full ofensif, ketika Thailand tidak nampak mau bermain bertahan meski sudah unggul 2-0. Percuma. Kebobolan empat gol pada akhirnya sudah terlalu banyak.

Ketiga, gagal membaca alur laga; bukan merubah taktik dengan bertahan, tapi cenderung pasrah. Poin ketiga ini sudah sedikit tersurat di poin kedua di atas.

Coach Shin Tae-yong, menurut saya, bisa melakukan lebih terkhususnya di babak kedua, daripada cenderung pasrah  menyaksikan pasukannya "menderita" lebih dari setengah babak.

Ketika 4-3-3 tidak berhasil dengan skor sudah 0-2, Shin Tae-yong seharusnya dapat menenangkan arus gelombang.

Melihat  bahwa Kadek Agung dan Evan Dimas sudah kepayahan di tengah, Tae yong dapat menambah gelandang bertahan, atau menambah pemain belakang, dan dorong kembali Alfeandra Dewangga kembali ke tengah.

Tak mengapa, dalam skor 0-2 itu, timnas kembali bermain bertahan agar jangan kebobolan lebih banyak, dengan rasionalitas berpikir bahwa marjin dua gol masih bisa dikejar di leg kedua.

Jangan terlihat pasrah, bahwa arus gelombang serangan sudah terlalu besar untuk dihentikan, jangan begitu. Utak-atik taktik masih bisa dilakukan. Akan tetapi jika terlambat, maka akan tamat lebih dini, seperti yang telah terjadi.

Jika Shin Tae-yong mau, maka itu bisa dilakukan. Saya kira di bench masih ada Victor Igbonefo. 

Selain itu jika harus memasukkan Egy Vikri, jangan keluarkan Ricky, keluarkan Dedik, dan dorong Witan sebagai penyerang tengah, false nine. Bisa dicoba.

Tujuannya bukan hanya untuk mencetak gol balasan, tapi garis tengah bisa lebih solid, padat, karena dominasi tengah Thailand terlalu terlihat. Harus dihentikan. Sayangnya, tidak dilakukan oleh Shin Tae-yong.

Shin Tae-yong memperlakukan final ini hanya seperti satu leg saja. Jangan kalah, harus menang. Padahal, jika pendekatannya tepat, bisa saja, kalah kali ini untuk menang di leg berikut.

Apa harapan saya selanjutnya? Shin Tae-yong masih sangat menjanjikan, meskipun melakukan kekeliruan taktik dalam laga kali ini. Tampil di final sudahlah sebuah prestasi yang sangat baik.  

Pengalaman Tae-yong menghadapi tim sekuat Vietnam dan Thailand pasti akan menjadi pengalaman berharga baginya untuk membentuk konstruksi tim yang lebih kuat di masa depan. 

Artinya, tanpa gelar juara juga tak mengapa, tetapi ini bisa jadi langkah awal timnas untuk semakin kuat dan berjaya di Piala AFF selanjutnya.

Ah, kalimat terakhir ini seperti kata-kata penghiburan. Ya begitulah, mau apa lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun