Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - 7

25 Februari 2016   16:42 Diperbarui: 10 April 2016   19:14 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Suara tangis pilu mewarnai suasana rumah Shanti. Wajah-wajah murung berselimut kesedihan mendalam, terlihat dari para pelayat yang berada di sana. Semua menyampaikan rasa kehilangan mendalam termasuk Lina. Ia menangis sejadinya di samping mayat Shanti, sahabat baiknya. Dirinya tak menyangka sahabatnya akan meninggal secara mengenaskan.

Ayah Shanti menceritakan dirinya menemukan mayat putri bungsunya tak jauh dari rumahnya. Ia melihat istrinya panik mencari anak mereka yang tidak berada di kamar. Ia tak menemukan anaknya di dalam rumah. Pikirannya langsung tertuju luar rumah.

Di sana, ia melihat puluhan orang berbondong-bondong mengerumuni sesuatu. Jantungnya berdebar tak teratur ketika hendak menghampiri kerumunan orang di sana. Tangannya membelah kerumunan agar dirinya leluasa lewat. Ia ingin sekali mengetahui siapa orang yang berada di tengah kerumunan.

Mayat perempuan tergeletak tak bernyawa di atas jalan. Posisi badannya telungkup. Tubuhnya berlumuran darah. Ia melihat luka parut mengelilingi pergelangan kaki dan tangannya. Seketika, dia menyadari mayat itu adalah anaknya sendiri—Shanti, yang menghilang dari rumah. Ia tak mampu menahan gejolak kesedihan meledak dalam dada. Tangisnya pecah saat itu juga. Ia tak peduli orang-orang melihat dirinya. Yang terpenting, inilah saat terakhir sang ayah bisa mendekap tubuh putrinya. Kematian memisahkan orang-orang yang kita sayangi, tanpa memperdulikan batas waktu dan insan yang terluka.

“CEPAT PANGGIL AMBULAN!“ air mata dan amarah bergabung menjadi satu dalam satu bentakan.

Lina masih terbayang cerita ayah Shanti yang mengaduk-aduk emosinya. Ia tak sanggup memandang wajah manis sahabatnya. Tubuhnya mendingin dan mengeras oleh cairan formalin.

Ia memilih pergi dari sana menuju halaman belakang. Lina tak sanggup lagi meredam luka hati yang diterimanya saat ini. Ia memilih untuk menyendiri. Di sana, ia coba merenungi semua kenangan yang sudah dilewatinya bersama dengan Shanti. Susah, senang, canda, tawa, sedih, sudah mereka lalui dan kini tinggallah kenangan semata.

Lamunan masa lalunya sedikit terusik dengan suara laki-laki yang mengejutkannya dari belakang.

“Mungkin ini sudah suratan Yang Maha Kuasa, Lin.“ ujar lelaki itu—Donni.

“Kalau bukan karena permainan itu, Shanti gak mungkin mati, Don!“ bentak Lina.Linangan air mata masih membasahi pipinya.

Donni bergeming. Ia tahu bahwa ide permainan jelangkung adalah idenya sendiri. Ia sama sekali tak menyangkal apa yang dikatakan Lina. Itu semua adalah kebenaran.

“ Dan kamu tahu, Don, kita semua akan bernasib sama seperti teman-teman yang lain!Kita akan—“

“Cukup Lina! Aku tak membiarkan kita mati sia-sia. Secepatnya,kita akan  mengakhiri semua teror ini.“ tukas Donni sambil mendekap erat pundak Lina. Ia menatap lekat mata Lina. Sekarang, Lina bisa sedikit menenangkan dirinya.

Pukul sebelas pagi. Mereka sudah pulang dari rumah duka kembali menujusekolah. Lina sudah turun dari jok belakang sepeda motor Donni, berjalan bersama teman-temannya. Donni mengerti bagaimana perasaan Lina yang begitu kehilangan Shanti.Hal yang sama dirasakannya ketika ia kehilangan Prakoso,sahabat dekatnya. Ia bertekad ingin segera menghentikan teror yang membuat teman-temannya terbunuh dan mungkin juga akan mengancam dirinya.

Sementara itu, raut kepanikan terpancar dari wajah Hendra begitu mendengar kabar kecelekaan istrinya itu di bandara Kualanamu. Ia terpaksa membeli tiket untuk kembali ke Medan. Untungnya, harga tiket tidak terlalu mahal meskipun sudah memasuki libur Natal dan Tahun Baru. Tak harus merogoh kocek terlalu dalam. Namun, rasa cemas dan khawatir tidak bisa disembunyikannya meskipun ia tetap berusaha tegar.

Setiap materi pelajaran yang diterima dari guru Fisikasekadar melintas saja di pikiran Lina. Jiwanya melayang jauh merenungi kepergian sahabatnya.

“Andai saja, waktu itu aku bisa mencegah mereka memainkan permainan itu, mungkin, mereka masih hidup sampai sekarang termasuk Shanti.“ ujar batin Lina. Wajahnya kusut. Ia membenamkan dirinya dalam lamunan sesaat setelah ia melihat handphone-nya menyala.

Lin, ini aku Donni. Nanti sore, kamu datang ya ke café Mang Kardi. Sekitar jam empat sore. Jangan lupa.

Lina sudah selesai membaca SMS dari Donni. Ia bingung darimana Donni bisa mendapatkan nomornya. Tapi itu tidak penting baginya. Lina hanya berpikir Donnipasti akan membicarakan sesuatu hal penting di sana.

Sepeda motor merah marun merayap di jalan raya yang cukup ramai. Lina dibonceng adiknya menuju tempat yang telah dijanjikan Donni untuk bertemu. Ia melirik jam tangannya—15.45. Tinggal 15 menit lagi, ia akan sampai ke sana. Lagipula, cafe itu tak jauh dari sekolahnya.

Tibalah mereka di muka café. Lina melihat dua lelaki sedang asyik mengobrol. Ia mengenali mereka—Donni dan Heru. Tapi, sudah lama Heru tak bersama dengan mereka sejak kejadian meninggalnya Prakoso.

“Hey, sudah lama menunggu?“ tegur Lina.

“Enggak ah, baru saja.“ jawab Donni santai.

Lina menarik kursi yang berada di dalam meja. Ia memesan jus jeruk kepada pelayan cafe yang kebetulan melintas di hadapanny

“Tumben Her, kamu ada di sini. Kemana saja selama ini?“ tanya Lina.

“Maaf, jika aku tak pernah bersama-sama dengan kalian. Aku jadi trauma karena kematian Prakoso,“

“Apa maksudmu?“ tanya Lina lagi.

“Aku jadi berpikir bahwa meninggalnya Prakoso berhubungan erat dengan permainan jelangkung yang pertama kali kita lakukan. Sekali lagi aku meminta maaf. Akumengambil kesimpulan kalau aku tak dekat dengan kalian, pasti, aku akan terhindar dari teror jelangkung itu.“ pungkas Heru.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Heru, membuat kuping Lina panas. Ia tak menduga kalau Heru akan bertindak pengecut padahal ia juga ikut berpartisipasi di dalamnya. Untuk menghilangkan amarahnya, Lina menyeruput es jeruk yang sudah diletakkan pelayan itu. Lina mengambil napas laludiembuskannya pelan.

“Sebenarnya, aku juga ingin bercerita sesuatu kepada kalian,“ Lina membuka percakapan yang sejenak hening.

“Apa yang ingin kamu ceritakan? Apa ada hubungannya dengan semua teror ini?“ Donni menyela. Baru kali ini, dia berbicara setelah ia hanya menyimak pembicaraan Lina dengan Heru

“Ya pasti. Kalian tahu, kejadian saat angin berhembus kencang saat kita bermain jelangkung?“ Lina mengubah tekanan suaranya agar menimbulkan kesan penasaran.

Mereka berdua berdeham sambil menikmati jus pesanan masing-masing tanpa  mengalihkan pandangan mata pada Lina.

“Kita terpental, begitu juga dengan boneka itu. Ketika aku berusaha bangkit, aku mendengar suara samar-samar dan ia bilang ia akan menjemput kita ke alamnya...“

“Apa yang dimaksud dengan alamnya? Dan siapa dia?“ timpal Donni.

“Aku pun tidak tahu. Yang pasti, ini ada hubungannya dengan kematian teman-teman kita.“ ujar Lina serius.

 “Oh ya, apa mungkin boneka jelangkung itu masih berada di sekitar rumah itu?“ tambah Heru.

 “Aku pun tidak tahu, tapi apa salahnya jika kita mencarinya ke sana? Siapa tahu boneka itu adalah jawaban dari semua teror yang kita alami.“

 “Kalau begitu tunggu apalagi, ayo kita pergi.“ ajak Donni pada mereka berdua.

Donni melirik arlojinya—17.00. Waktu semakin petang. Mereka harus cepat sebelum memasuki malam hari. Donni dan Heru menuju tempat parkir, mengambil sepeda motor. Donni menyuruh Lina duduk di jok belakang. Ia langsung menekan tombol electric stater. Donni menarik gas dan sepeda motornya melejit kencang dari cafe.

Angin bertiup dari depan. Rambut panjang Lina terurai kemana-mana ditambah lagi Donni memacu sepeda motornya terlalu kencang. Untuk mengatasinya, ia mengambil ikat rambut dari saku celana jeans-nya dan mengepang rambut panjangnya.

Meskipun begitu, ada sensasi menyenangkan begitu lengannya menyentuh punggung Donni. Tulang belakangnya kokoh dan padat. Inilah yang membuat angannya melambung jauh. Dirinya bisa membayangkan bagaimana rasanya bersandar di dada bidang Donni, pasti nyaman sekali.

Sudah cukup dirinya berfantasi tentang Donni. Misi pencarian boneka jelangkung merupakan sebuah usaha pertaruhan nyawa sekaligus mengungkap tabir misteri di balik kematian para temannya. Tapi entah mengapa, ada firasat buruk menghampiri pikirannya ketika mereka sudah sampai ke rumah kosong itu.

Rumah yang terletak di depan jalan Kenanga, sudah tertutupi rumput-rumput liar. Cat kuning telur yang melapisi dinding tampak kusam dan memudar. Rumah kosong itu mempunyai halaman cukup luas di bagian depan dan belakang. Halaman belakang ditumbuhi pepohonan bambu menjulang tinggi tapi tak terawat. Entah apa yang terlintas di pikiran sang tuan rumah begitu meninggalkan rumah sebagus ini .

Lina segera turun dari jok sepeda motor Donni. Mereka bertiga lantas melangkah menuju teras rumah. Lantai berdebu setebal satu inci mengotori tapak sepatu mereka. Sebuah meja bundar dan dua kursi kayu teronggok lapuk dimakan rayap. Keadaan pintu depan tak kalah menyedihkan dengan meja dan kursi tadi. Gagang pintu yang sudah dol, membuat celah pintu sedikit tersingkap, bagian dalamnya bisa terlihat.

Angin meniup tengkuk Lina yang mulus. Ia mengelus pelan tengkuknya. Matanya melirik ke arah langit. Awan mendung menutupi hamparan langit sore. Rupanya, hujan akan segera turun.

“Hey teman-teman, kita langsung mulai saja pencariannya. Aku mencari di bagian belakang,“ ucap Lina seraya menunjuk halaman belakang.

“Ya sudah kalau begitu. Aku dan Heru akan mencari di dalam.“ sahut Donni sambil berpaling dari Lina, begitupula dengan Lina.

Lina bergerak menuju halaman belakang. Kakinya sudah menginjak rumput-rumput liar yang juga tumbuh di sana. Mata Lina tak luput menyisir apapun yang berada di sana.

Kali ini, pandangan mata Lina beralih pada pepohonon bambu yang tumbuh di halaman belakang. Lina melihat ada sesuatu yang aneh berdiri di antara rerimbunan pohon tersebut. Penasaran dengan apa yang dilihat, ia langsung mendatangi pohon bambu itu. Lina mempercepat gerak kakinya agar sampai ke sana meskipun rumput-rumput liar menghalangi gerakannya.

Ia sudah sampai di sana. Kini, sudah terlihat jelas apa yang berada di sana. Deru napasnya terhenti sesaat. Matanya tak mau lepas menyaksikan apa yang berada di balik rerimbunan itu. Sesosok perempuan berwajah sepucat tisu. Bola matanya kosong. Kulit wajahnya mengelupas, mengeluarkan bau anyir darah bercampur nanah. Rasanya,Lina ingin sekali memuntahkan seluruh isi perutnya, melihat wujud menjijikan perempuan itu

Telunjuk keritingnya menunjuk ke arah Lina yang sedari tadi hanya berdiri mematung tanpa sepatah gerakan pun.

“Kau akan mati...“ desisnya lemah.

Anehnya, desisan lemah itu, berdengung kuat di telinganya. Nada ancaman bernuansa magis terngiang di otaknya  Dengus napas tak lagi seirama dengan detak jantungnya yang ikut berpacu dalam dadanya.

Wussshhh!

Sosok perempuan berwujud mengerikan itu sudah menghilang dari hadapannya. Lina sudah bebas dari belenggu yang menyiksa mentalnya. Ia memalingkan badan lalu berlari tergopoh-gopoh dari rerimbunan pohon bambu itu.

Heru dan Donni sudah lama keluar dari rumah itu. Keduanya tengah gelisah menunggu kedatangan Lina. Tak begitu lama keduanya membicarakan Lina, ia muncul di hadapan mereka dengan napas terengah-engah.

“Lin, kamu lama banget di sana. Tapi, kenapa kamu? Seperti melihat setan saja,“ ujar Heru.

“Aku gak apa-apa kok. Lebih baik kita cabut dari sini. Perasaanku mulai tidak enak.“ Lina berpura-pura mengelus tengkuknya sambil mengajak mereka berdua beranjak dari sana.

Di perjalanan, Lina memikirkan kejadian saat dirinya bertemu dengan sosok makhluk halus mengerikan tersebut.

Kau akan mati...

Ini bukan sebuah gertakan biasa. Ancaman itu semakin nyata ketika sosok itu menunjuk padanya. Matanya kembali was-was, mengamati setiap pergerakan yang mencurigakan. Ia cemas, jika makhluk itu, mengikutinya ke tempatnya pergi dan melangkah. Kini, hanya pada Tuhan, diamenggantungkan keselamatan dirinya.

Di tengah kekhawatiran melanda, sesuatu tampak bergetar dan bercahaya berada di dalam saku depannya. Ternyata, handphone-nya menampilkan sebuah pesan masuk. Lina mengambil dan membuka pengunci tombol.

Lina, mama, bapa dan adikmu pergi menjenguk tante Lisa yang telah selesai bersalin. Mungkin, kami akan pulang tengah malam. Makan malam sudah mama sediakan di kulkas. Oh ya, kunci rumah sudah mama titipkan pada pak Togar.  

Lina membaca jeli SMS ibunya yang masuk ke handphone-nya dan—sial!

Dia akan menghabiskan satu malam di rumahnya sendirian. Ini adalah bencana besar untuknya. Namun, ia berusaha menguatkan dirinya agar tak dikuasai ketakutan berlebihan. Tapi, tak dipungkirinya ketakutan itu sudah bertumbuh liar layaknya rumput.

Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, Lina sudah turun dari jok sepeda motornya sembari mengucapkan terima kasih pada Donni yang telah memberikan tumpangan.

Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya, Lina meminta kunci rumah pada pak Togar. Dia mengenal pak Togar yang sudah lama menjadi tetangganya. Pak Togar adalah sosok lelaki berperawakan tinggi, besar dengan perut agak buncit. Ia adalah seorang duda beranak tiga. Satu orang anaknya sudah menikah dan dua orang lagi sedang menempuh pendidikan tinggi di luar kota. Tinggallah pak Togar sendiri di rumah yang ditempatinya.

Lina sudah membuka pintu rumah dan bersiap masuk. Lehernya menoleh ke kanan dan kiri, siapa tahu makhluk itu sedang mengintainya dari kejauhan. Merasa sudah aman, Lina menyelonong dan mengunci pintu rapat-rapat.

Lina menjalani malam hari dengan perasaan biasa. Sambil mengobrol dengan temannya via handphone, ia juga menyambar remote, menekan tombol ON untuk menyalakan TV. Jari telunjuknya masih sibuk mencari tayangan yang diinginkannya. Tapi, selera Lina dalam memilih film terbilang unik.

Biasanya, para perempuan akan memilih sinetron atau drama percintaan, tapi ia lebih memilih menonoton film laga atau action thriller yang menampilkan adu tembak, perkelahian, dan ceceran darah. Baginya, film-film seperti itu akan menumbuhkan keberanian dan kesigapan dalam menyelesaikan masalah. Ia kurang menyukai film bernuansa romantis karena ia berpikir pasti ending-nya akan berakhir bahagia. Sang pria dan wanita yang merupakan tokoh utama akan bertemu dan menikah. Mereka bahagia selamanya seperti yang tertulis dalam skenario—it’s very mainstream.

Namun, Lina agak geram melihat TV-nya tak menyiarkan film-film action kesukaannya. Yang ada, malah sinetron-sinetron yang hanya menampilkan adegan berpacaran di kalangan pelajar. Ia langsung mengganti siaran sinetron dengan acara debat politik. Ini masih lebik baik ditonton daripada sinetron yang tidak jelas apa maknanya.

Di dalam layar kaca, dua orang politikus beradu argumen di dalam sebuah forum. Ia serius mengamati cara mereka mempertahankan pendapat mereka atau mungkin silang pendapat. Namun di tengah keseriusannya, ia diusik oleh suara derap kaki dari arah dapur.

Tap!Tap! Tap!   

“Siapa yang berada di dapur, ya?“ ujar batin Lina.

Lina terdiam sesaat. Dalam hatinya, ia masih menerka-nerka siapa pemilik suara derap kaki itu. Hanya dia seorang di sana, tak ada orang lain. Tak mungkin pula, suara kaki kucing. Ia tak suka kucing karena bulu-bulunya gampang lepas dan membuatnya bersin-bersin. Jadi, ia tak mungkin memeliharanya.

Pikirannyatertuju pada satu kemungkinan—pencuri. Kali ini, ia agak cemas karena bisa saja pencuri itu datang berkolompok dan membawa senjata tajam. Dirinya berdelusi bagaimana jika para perampok itu menyandra, memperkosanya habis-habisan lalu dibantai secara sadis. Sunguh tak terbayangkan.

Langkah kaki itu semakin mendekat, menuju ruang tamu. Lina yang ketakutan bersembunyi di balik sofa. Ia berdoa dalam hati, semoga para pencuri itu tidak menemukan dirinya.

Keanehan terjadi. Suara derap kaki itu menghilang. Tapi, Lina masih beranggapan bisa saja para pencuri itu menyelinap dan tiba-tiba menyergap dirinya. Itulah yang masih diperkirakannya. Bola matanya sudah bergerak ke mana-mana. Ia tak melihat apapun di sana—hanya ia sendiri. Mengapa suara derap kaki itu bisa menghilang dalam sekejap?

Suhu ruangan tamu turun drastis. Dinginnya udara di ruang tamu bercampur hawa mistis. Ketakutannya bertambah tiga kali lipat begitupun kewaspadaannya. Lina mengelus-elus lengannya agar bulu halus di tangannya tak ikut berdiri. Namun, itu semua tak mengurangi rasa takutnya yang malah semakin menjadi-jadi. Ia bangkit berdiri lalu melangkah menuju kamarnya.

Bola matanya jelalatan. Tinggal di rumah sendirian memang bukan ide yang bagus. Lagi-lagi, wajah hantu yang dilihatnya tadi sore menggerayangi pikirannya. Lina tersentak. Cahaya lampu mendadak meredup. Untung saja, lampu di depan kamarnya tidak padam.

Lina terenyak. Firasatnya mengatakan ada sekilas bayangan lewat belakangnya. Lina memejamkan matanya sejenak. Ia tak mau berpikir macam-macam tentang apa yang ada di belakangnya. Mau tak mau, ia harus menengok apa yang ada di belakangnya.

Tidak ada.

Lina mengeryitkan dahi. Ia berpikir, ini benar-benar halusinasi tingkat tinggi. Apakah ketakutannya sudah memuncak? Ia menampik dan beranggapan bahwa, ini terjadi karena cahaya lampu meredup sehingga ruangan terlihat suram dan berbayang-bayang.

Lina sudah berada di depan pintu kamarnya. Tangan kanannya meraih daun pintu lalu menekannya pelan. Sebelum kakinya berayun ke kamar, ia merasa tengkuknya diraba oleh angin silir. Begitu berada di dalam, Lina langsung menggebrak pintu dan menguncinya. Ia melompat ke atas ranjangnya, menundungi seluruh tubuhnya dengan selimut. Di dalam selimut, Lina berdoa agar teror yang dialaminya cepat berlalu.

Tok... tok ...tok

Ketukan pintu terdengar tiga kali dan terasa nyata di telinganya. Pelan, namun, ada jeda sekitar dua detik.

Tok... tok... tok.

Ketukan pintu terdengar lagi. Lina menyingkapkan selimutnya sebatas mata, tapi tidak sampai memperlihatkan wajah.

“Si-si-siapa di luar?” tanya Lina. Suaranya terbata-bata dihalangi selimut.

“Ini mama, nak. Mama bawa makanan kesukaan kamu—daging sapi rendang.”

Syukurlah, ibunya datang tepat waktu. Ia benar-benar tak bisa menahan rasa takutnya lebih lama. Mamanya tahu betul apa yang menjadi kesukaannya. Ia bisa bernapas lega sejenak. Lalu, Lina beringsut dari ranjang menuju depan pintu.

Langkah kakinya mengayun pelan. Tangannya sudah menjamah daun pintu. Diputarnya kunci ke kiri hingga menimbulkan bunyi ‘klek’. Pintu sudah dalam keadaan tidak terkunci. Lina sudah siap menyambut kedatangan mamanya.

Astaga!

Bukan ibunya yang berada di hadapannya sekarang melainkan sosok makhluk halus berwujud perempuan. Matanya membeliak. Bulir-bulir keringat dingin membanjiri wajahnya. Mulutnya menganga bak buaya menjebak mangsa. Ia tak bisa menggerakan badan. Bahkan, kedua kakinya bagai menyatu dengan lantai.

Air matanya meluruh bercampur keringat. Apa yang ditakutinya tadi siang kini sudah berada tepat di depan matanya. Ia tak bisa melakukan apa-apa—tamat sudah. Pelan-pelan tangan perempuan itu meraih leher Lina. Rongga matanya yang kosong, menatap nanar Linapenuh luapan dendam dan amarah. Tatapan itu berhasil menciutkan nyalinya, seolah ingin merebut semua yang dimilikinya.

“Mati kau! Mati kau!” desisan makhluk itu terdengar serak.

Jari-jari keriting perempuan itu menjerat lehernya begitu erat. Lina merasa oksigen yang tersisa di paru-parunya tak membuatnya bertahan lama. Napasnya tersengal. Dadanya terasa terbakar hebat. Pandangannya mulai berbayang-bayang kabur. Sementara itu, makhluk itu masih menyeringai seram. Seringainya begitu lebar hingga menyentuh telinga.

“Tu-tu-tuhan to-to-tolong...”

Lina merasakan dirinya sudah berada di ambang pintu kematian. Tinggal mengetuk saja, dia sudah disambut malaikat kematian yang siap menjemput jiwa-jiwa yang terpanggil ke alam baka.

Ada kekuatan ajaib menolongnya dari cengkeraman makhkluk itu. Sebuah hempasan kuat, mementalkan tubuh makhluk itu. Jeratan tangan di leher Lina terlepas. Ia lenyap. Hanya meninggalkan sisa rintihan lemah disertai kepulan asap tipis. Tubuh lemah Lina ambruk di atas lantai dingin. Ia tak sadarkan diri. Sebuah jeritan panjang membahana memenuhi seisi ruangan rumah.

“Linaaa!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun