Mohon tunggu...
Armita Fibriyanti
Armita Fibriyanti Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Penerjemah dan Konsultan Nama Bayi dan Perusahaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung Berbenah, Aku Semakin Betah

20 Desember 2014   07:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:54 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu kota yang tidak terpikir untuk aku tinggali adalah Kota Bandung. Kesan pertama yang aku terima dari kota yang juga terkenal dengan sebutan Kota Kembang ini tidak lah terlalu bagus. Waktu aku pertama kali mengunjungi kota ini tahun 2004, aku mendapatkan pemandangan yang tidak terlalu bagus. Sampah di mana-mana, berserakan di pinggir jalan, pasar tumpah sampai ke badan jalan sehingga jalanan menjadi macet. Belum lagi aroma tak sedap yang ditimbulkan oleh timbunan sampah ini.

Masih teringat jelas di benak saya tragedi mengerikan longsornya gunung sampah di Tempah Pembuangan Akhir Leuwigajah Bandung tanggal 21 Februari 2005. Sebanyak 143 orang tewas seketika dan ada sekitar 137 rumah yang tertimbun sampah setinggi 30 meter. Tidak hanya itu saja, bahkan lahan pertanian seluas 8.4 hektar pun turut terkubur oleh sampah. Bencana berupa longsoran sampah ini berhasil masuk rekor sebagai tragedi tumpukan sampah tertinggi di Indonesia dan yang kedua di dunia setelah tragedi longsoran sampah yang terjadi di TPA Payatas, Filipina tahun 2000 yang menewaskan 200 orang 1).

Ini bukanlah prestasi bagus yang patut di banggakan dari Ibukota Provinsi Jawa Barat ini. Bahkan menurutku, peristiwa ini adalah sesuatu yang menjijikkan sekaligus mengerikan. Itulah mengapa, sejak tahun 2004, aku menegaskan kepada diriku sendiri bahwa aku tidak mau tinggal di kota yang terkenal dengan sampahnya dimana-mana ini.

Dunia terus berputar, waktu pun turut berlalu. Tahun 2011 aku menikah dan suamiku ditempatkan di Bandung mengabdi sebagai pelayan masyarakat. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus ikut tinggal di Bandung. Demi mengabdi kepada suami tercinta, atas nama kewajiban sebagai seorang istri.

Sejak menikah, aku jadi sering pergi ke pasar tradisional. Hal yang jarang aku lakukan semasa gadis. Biasanya Ibukulah yang rajin berbelanja ke pasar tradisional, membeli stok barang untuk kebutuhan rumah tangga. Namun karena sekarang aku sudah hidup terpisah dengan Ibuku, mau tak mau aku mengikuti jejak Ibuku dengan berbelanja di pasar tradisional.

[caption id="attachment_384167" align="aligncenter" width="565" caption="Riuhnya Pasar Tradisional di Indonesia (sumber: www.tribunnews.com)"][/caption]

Aku senang berbelanja di pasar tradisional. Barangnya murah-murah, beragam, banyak pilihan, dan bisa di tawar. Proses tawar menawar dan kehangatan antara penjual dan pembeli inilah yang paling aku  suka dari pasar tradisional. Sepertinya ada kedekatan psikologis tersendiri yang bisa dirasakan. Lain halnya dengan pasar modern dimana harga sudah pasti dan semuanya harus berjalan sesuai dengan SOP yang sudah ditetapkan.

Biasanya aku pergi ke pasar tradisional di akhir pekan. Tidak setiap akhir pekan sih, karena biasanya kegiatan belanja juga aku lakukan di toserba moderen di dekat rumah. Tempatnya bersih, rapi, dan teratur. Aku memimpikan agar pasar tradisional di Bandung lebih bersahabat dengan pengunjungnya. Tidak harus seperti toserba moderen itu, tapi cukuplah bersih, rapi, teratur, kering/tidak becek, parkir luas, dan yang paling penting, sampah terbuang di tempatnya. Sehingga pembeli menjadi lebih betah bertransaksi di pasar tradisional. Kalau pembeli sudah betah, pasti akan ada pembelanjaan yang lebih banyak. Contoh pasar tradisional yang bersih ada di Central Market, Adelaide.

[caption id="attachment_384166" align="aligncenter" width="319" caption="Pasar Tradisional yang Bersih dan Rapi di Central Market Adelaide, Australia (sumber: http://www.south-australia.aussietrueblue.com/)"]

1419006311443186507
1419006311443186507
[/caption]

Aku yakin, yang memimpikan pasar tradisional yang bersih dan rapi ini tidak hanya aku. Hampir semua orang. Ya atau tidak? Mungkin hanya lalat yang tidak suka, karena dia harus kehilangan sumber makanannya. Hehe.

Rupanya, impianku ini sudah didengar oleh pemerintah Kota Bandung. Tahun 2014 ini, Ridwan Kamil sebagai Wali Kota Bandung secara aktif mulai melakukan pembenahan di beberapa pasar agar terlihat menjadi pasar yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun