Setiap orang punya hari yang ditunggu, misalnya hari pernikahan, libur, kedatangan sanak atau handai, dan sejenisnya. Namun untuk seseorang yang hidup sebatang kara di Kota Pontianak seperti Topik Perjuangan, hanya "hari gajian" yang selalu ditunggunya.
Pria tiga puluh lima tahun itu bekerja pada bidang agen jasa perjalanan dalam dan luar negeri. Ia terbiasa mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan bagi kalangan yang ingin bertolak ke negara lain dengan tujuan sekadar liburan.
Topik sangat menunggu hari gajian karena ia bisa segera menggunakan separuh penghasilannya untuk membeli emas atau perak. Dua logam mulia tersebut dipilih karena nilainya relatif lebih stabil. Topik sering menyebut emas dan perak sebagai dinar dan dirham.
Pilihan emas dan perak sebagai sarana penunjang masa pensiun nanti memang telah dipikirkan masak-masak oleh Topik. Ia menyadari sebagian karyawan partikelir masih banyak yang belum sadar pentingnya mempersiapkan "uang masa tua".Â
Tak mudah baginya menentukan di tengah-tengah gempuran instrumen investasi lain yang begitu menggairahkan. Tapi ia telah mempelajari tentang penggunaan emas dan perak pada masa lampau.
Sejak tujuh ratus tahun sebelum masehi sampai abad dua puluh satu, emas dan perak menjadi alat transaksi dan tabungan karena persediaannya yang terbatas dan mempunyai konsistensi nilai.Â
Sementara itu, pada tahun seribu dua ratus enam puluh lima masehi, pemerintahan Dinasti Song mengesahkan uang kertas sebagai alat tukar.Â
Namun pencetakkan uang kertas menyebabkan krisis keuangan di Cina, sehingga pada tahun seribu empat ratus lima puluh lima, mereka kembali menggunakan emas dan perak sampai nyaris lima ratus tahun berikutnya.
Hobi Topik mengoleksi emas dan perak ini sering menjadi bahan ejekan oleh rekan-rekan kerjanya di kantor. Mereka mengatakan Topik itu sedang melakukan "investasi nenek-nenek".
Ketika mendengarnya, Topik tersinggung luar biasa. Bukan karena unsur investasi yang sedang diejek, melainkan neneknya tercinta sudah meninggal.