Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengikuti Tingkah Zaman, Drupadi Tersungkur di Panggung

10 November 2017   08:55 Diperbarui: 10 November 2017   08:57 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengrawit dan gamelannya. Dokpri.

Situasi sosial yang cenderung berubah secara fluktuaktif sebenarnya menarik untuk dicermati. Banyak hal dari situasi itu membuat masyarakat terpancing untuk ikut berkomentar lewat media sosial. Padahal terkadang hanya berita tidak jelas sumbernya dari mana. Situasi sempat menghangat beberapa saat, ketika masyarakat terkonsentrasi pada isu politik di sejumlah daerah. Namun, persoalan sosial-budaya juga rame diperbincangkan di tataran arus bawah.

Modernisasi tradisi dengan semua iming-iming-nya mungkin akan membuat ketar-ketir orang di pedesaan. Sebab akibat yang ditimbulkannya bisa berdampak kurang mengenakkan. Pertunjukkan wayang adalah salah satu contoh untuk melihat, bagaimana unsur modernisasi mulai melakukan infiltrasi ke ranah tradisi. Dulu seorang dalang harus duduk selama berjam-jam hingga tayungandipertontonkan. Namun sekarang, mereka duduk berjam-jam sembari menunggu entah apa. Wayang kulit menurut sebagian dalang harus bisa nut jaman kelakone (mengikuti perkembangan zaman). Sehingga sekarang bisa kita rasakan, anasir-anasir asing mulai masuk mengambil alih peran sentral dalam sebuah pementasan. Sebenarnya kurang apa ringgit wacucal itu?.

Cemas

Bolehkah kami cemas sebagai anak muda? Ketika saya kecil televisi sering menayangkan pertunjukkan wayang. Mungkin dulu mereka beranggapan dengan begitu hiburan tradisi lebih populis karena ada sosialisasi. Sekarang hampir bisa dihitung jari.

 Sebagai anak muda yang hidup di desa, saya juga pernah mengecap susahnya menjadi seorang 'calon dalang' dan pengerawit gamelan. Tapi rutinitas itu sudah lama tertinggal. Hari ini saya cukup mengagumi dari belakang.

Selain pertunjukkan wayang, ada tradisi lain yang hampir sama nasibnya. Sebagian besar pertunjukkan rakyat, entah itu teater atau tari dilihat dari segi busananya menunjukkan karakteristik daerah masing-masing. Sama halnya di Banyuwangi yang terdiri dari berbagai etnis dan tradisi juga demikian. Janger telah mulai mengesampingkan naskah cerita yang akan dilakonkan.

Kurang Sopan

Janger di Banyuwangi sekarang kian mentereng. Berbagai macam inovasi mulai diterapkan untuk menarik pirsawan. Tidak jarang mereka nurut apa kemauan tuan rumah ketika diundang ke sebuah hajatan. Kini sebelum lakon inti dimulai maka segerombolan perempuan akan tampil untuk nyanyi  dan menari. Busana yang mereka kenakan cukup simpel yaitu kemben.

Meski banyak orang menganggap joget mereka di atas panggung kadang kebablasan dan kurang sopan. Tapi menurut saya ada sisi positifnya yakni para penyanyi tersebut masih mau mengenakan kemben dalam setiap pementasan. Mungkin kesan 'kurang sopan' disamping karena gerakan, juga akibat dari model kemben yang memang terbuka dan cenderung dikenakan secara kencang.

Janger Banyuwangi. Dokpri.
Janger Banyuwangi. Dokpri.
Ini adalah jawaban dari perasaan gelisah yang beberapa kali saya dapati ketika berbincang dengan kawan muda. Ternyata masih ada generasi milenial yang mau mengenakan kemben sebagai identitasnya ketika menjadi orang lain di atas panggung.

Positif atau pun negatif itu hanya soal pandangan. Setiap individu punya penilaian tergantung dari mana mereka memandang. Intinya semua benar karena sebuah seni pertunjukan seharusnya terlepas dari perdebatan moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun