Mohon tunggu...
Ari Triono
Ari Triono Mohon Tunggu... Founder and CEO Linktara (Literasi Inklusi Nusantara)

Ari Triono adalah penyandang tunanetra, pakar inklusi, sekaligus Founder & CEO Linktara, sebuah startup sosial konsultasi yang fokus pada audit aksesibilitas, pelatihan inklusivitas, dan pengembangan kebijakan inklusif. Berbekal latar belakang sebagai lulusan Master of Disability Policy and Practice dari Flinders University, Australia, Ari aktif terlibat dalam berbagai forum nasional dan internasional untuk mendorong layanan publik dan sektor masyarakat yang lebih inklusif. Melalui Linktara, Ari dan tim telah bekerja sama dengan kementerian, Lembaga, pemerintah daerah, hingga pelaku usaha dalam merancang lingkungan yang bisa diakses dan dinikmati oleh semua orang—tanpa kecuali. Jika Anda ingin mewujudkan ruang yang ramah bagi semua pengunjung, Linktara siap menjadi mitra transformasi Anda. 📩 office@linktara.org 📱 Instagram: @Linktara.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Tepian Bonus Demografi: Suara dari Kaum yang Terpinggirkan

14 Mei 2025   19:00 Diperbarui: 15 Mei 2025   14:05 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang Penyandang Disabilitas Netra dan ragam disabilitas fisik (sumber: ChatGPT Image)

Oleh Ari Triono, S.S., MDPP.

Indonesia sedang menatap 2030 dengan penuh harap. Tahun ketika kita diprediksi menikmati puncak bonus demografi, saat sebagian besar penduduk berada pada usia produktif. Tapi sebagai penyandang disabilitas yang pernah menempuh pendidikan pascasarjana di Australia dan kini aktif sebagai konsultan kebijakan inklusi, saya justru menyimpan kekhawatiran.
Bagaimana mungkin kita menyebut ini bonus, jika lebih dari 11 juta penyandang disabilitas di negeri ini masih terus dipinggirkan dari dunia kerja?

 

Ketika Gelar Tak Menjamin Kesempatan

Saya, Ari Triono, seorang tunanetra. Berkat beasiswa, saya menyelesaikan studi Master of Disability Policy & Practice di Australia, lalu kembali ke Indonesia dan terlibat dalam berbagai program pelatihan serta perumusan kebijakan publik yang inklusif.
Tapi meskipun sudah berbekal pendidikan dan pengalaman, saya masih sering mendengar pernyataan seperti:

"Kami belum punya posisi yang cocok untuk tunanetra."
"Maaf, kantor kami belum aksesibel."

Dan saya tidak sendiri. Banyak rekan penyandang disabilitas - lulusan universitas ternama, baik di dalam maupun luar negeri -mengalami nasib serupa. Lamaran kerja ditolak tanpa alasan jelas. Atau diterima, tapi diarahkan ke pekerjaan yang tidak sesuai kompetensi - kadang dengan upah yang tak layak.

Ini bukan sekadar cerita personal. Ini cermin ketimpangan sistemik yang bisa mengubah potensi bonus demografi menjadi bencana.

 

Stigma yang Masih Menutup Pintu

Masih ada pandangan keliru bahwa disabilitas identik dengan ketidakmampuan. Padahal, dengan dukungan dan akomodasi yang layak, kami bisa bekerja dan berkontribusi secara setara.

Contohnya Sukma, seorang perempuan penyandang disabilitas yang batal diterima kerja setelah pihak perusahaan mengetahui bahwa kakinya diamputasi. Padahal, secara kompetensi, ia memenuhi semua syarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun