Mohon tunggu...
Aris Taoemesa
Aris Taoemesa Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar

Belajar dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Seleksi PPPK Potensi Normalisasi Nepotisme?

13 Desember 2023   05:53 Diperbarui: 13 Desember 2023   06:17 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam dua (2) tahu terakhir ini, penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara berturut-turut diadakan. Syarat-syarat dalam penerimaannya banyak menjadi sorotan, lantaran mengutamakan tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah di mana program PPPK ini dibuka. Nah, sebelum saya menulis lebih banyak lagi, izinkan saya menjelaskan terlebih dahulu apa itu PPPK dan kedudukannya. 

Dalam UU No. 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.  Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan/atau menduduki jabatan pemerintah (Bab I Pasal I poin 1, 3, dan 4).

Penjelasan di atas sudah cukup untuk membuka tulisan ini tentang PPPK yang dibuka hampir diseluruh instansi pemerintah pusat dan daerah. Saya tidak ingin menjelaskan lebih jauh lagi tentang status PPPK dan PNS karena semua sudah terterah dalam UU No.20 Tahun 2023 yang merupakan UU ASN yang telah diperbaharui dengan dicabutnya UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN. Semua hal yang menyangkut tugas dan fungsinya sudah tertuang dalam UU tersebut. Yang akan menjadi pokok pembahasan saya adalah bagaimana penerimaan PPPK dianggap sebagai sebuah keistimewaan bagi kalangan tertentu.

Baik, kita mulai.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa syarat yang dikhususkan untuk mendaftar sebagai PPPK lebih "ketat" dibandingkan mendaftar sebagai PNS. Kenapa? Karena hampir di semua instansi pemerintah (bahkan semuanya) mengutamakan adanya pengalaman kerja dalam jangka waktu minimal tertentu. Apakah ini berarti lebih susah lulus PPPK dibanding PNS? Atau PPPK lebih baik dari pada PNS? 

Adanya penentuan pengalaman kerja minimal jangka waktu tertentu untuk mendaftar PPPK memang menutup kesempatan bagi fresh graduate atau yang belum memiliki kesempatan kerja untuk mendaftar yang artinya memang lebih susah bagi mereka. Bahkan belum mendaftar sudah gugur. Tapi, bagi mereka yang sudah jadi honorer ada keringanan, karena pengalaman kerja sudah ada ditambah lagi ada beberapa instansi pemerintah yang mengadakan pelatihan khusus untuk tenaga honorernya terkait persiapan penerimaan PPPK. Saya juga bisa berasumsi bahwa PPPK jauh lebih matang ketimbang PNS yang fresh graduate saat penerimaan pertama. Ya, karena memang PPPK sudah jauh lebih berpengalaman. Sudah ada kisi-kisi, pekerjaan seperti apa yang akan mereka kerjakan nanti ketika diangkat jadi ASN.

Tapi di sinilah sebenarnya pertanyaan besarnya. Dari sekitar 2.3 juta tenaga honorer yang terdata per September 2023 (Sumber: CNBC Indonesia 13 September 2023) cara masuk mereka ke instansi pemerintah pusat dan daerah perlu dipertanyakan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kita jarang mendengarkan adanya pembukaan honorer secara terbuka di suatu instansi pemerintah. Kita mungkin kaget ketika tetangga kita tiba-tiba menjadi tenaga honorer di pemerintahan.

Dalam suatu perbincangan dengan seorang alumni baru, saya tiba-tiba ditanyakan kenapa informasi penerimaan honorer tidak dia dapatkan sementara teman kuliahnya tiba-tiba jadi tenaga honorer di suatu instansi. Tentunya sudah menjadi rahasia umum jika seorang tenaga honorer mungkin saja adalah keluarga dari salah seorang yang bekerja di instansi tersebut, bahkan mungkin saja pejabat tinggi di instansi tersebut yang lebih kita kenal sebagai "orang dalam". Terlepas dari ada beberapa juga honorer yang mendaftarkan diri untuk mengabdi bukan karena orang dalam seperti tenaga kesehatan di pelosok desa yang mendaftarkan dirinya jadi honorer di puskesmas.

Ketika saya mengangkat perbincangan dengan salah satu senior tengtang adanya potensi ketidakadilan bagi masyarakat umum yang juga inin menjadi ASN, beliau mengatakan bahwa kita tidak bisa pungkiri bahwa tenaga honorer sudah mengabdikan diri pada negara yang perlu jadi pertimbangan juga. Lalu saya mengatakan bahwa banyak orang yang ingin mengabdi tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengabdi. Dan ketika saya membaca beberapa komentar di Instagram Abdi Muda (salah satu akun media sosial untuk menyuarakan keluhan-keluhan ASN) banyaknya orang yang ingin mengabdi tetapi terbatas informasi dan tidak punya kenalan atau orang dalam di sebuh instansi.

Apakah ini termasuk nepotisme?

Berdasarakan Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), nepotisme adalah perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat atau kecenderungan untuk mengutamakan  (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan , pangkat di lingkungan pemerintah. Dan lagi, nepotisme adalah tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun