Mohon tunggu...
Aris Rasyid Setiadi
Aris Rasyid Setiadi Mohon Tunggu... Guru Honorer Muda

Sang Pengelana Kata, Menjejak Bumi dan Romantis

Selanjutnya

Tutup

Trip

Dieng Plateau, Tempat Terbaik Slow Living Tahun Ini

18 April 2025   07:54 Diperbarui: 18 April 2025   07:54 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: Pesona Dieng)

Dieng adalah kawasan dataran tinggi yang berada di Jawa Tengah, dapat dijangkau sekitar 30 km dari kota Wonosobo. Secara administratir Dataran Tinggi Dieng terbagi pada dua wilayah, satu bagian berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng (Desa Dieng Wetan), Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.

Jika dari Banjarnegara bisa melewati Singamerta, Madukara, Plipiran, Pagentan dan langsung ke Dieng. Panjangnya mencapai 24 km yang bisa menembus waktu rata-rata 45 menit. Jika dari arah Jakarta, Semarang, maupun wilayah Pantura lainnya bisa menuju Dieng melalui jalur Batang yang hanya satu jam dan tidak perlu lewat Wonosobo.

Dalam sejarahnya nama Dieng berasal dari gabungan dua kata berbahasa Kawi. "di" yang bermakna tempat atau gunung dan "hyang" yang berarti Dewa. Dengan terjemahan bebasnya adalah tempat bersemayam (bermukim) para Dewa dan Dewi. Dalam sebuah prasasti ditemukan bahwa di dataran tinggi Dieng, orang Jawa Kuno telah tinggal dan menggunakan wilayah tersebut sebagai tempat ibadah. Prasasti Gunung Wule yang berasal dari tahun 861 Masehi mencatat instruksi kepada seseorang untuk menjaga bangunan suci di area yang disebut Dihyang.

Dieng Plateau, atau Dataran Tinggi Dieng, adalah salah satu destinasi slow living terbaik di Indonesia yang menawarkan kombinasi alam, budaya, dan ketenangan. Terletak di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, Dieng memiliki udara sejuk, pemandangan mistis, dan kehidupan masyarakat yang masih sangat terhubung dengan alam. Disana suhu berkisar 12-30C pada siang hari dan 6-10C di malam hari. Pada musim kemarau (Juli-Agustus) suhu udara bisa mencapai puncak terdingin dari 0C hingga -2C di dan menimbulkan embun beku yang menempel pada tanaman-tanaman di pagi hari. Sebuah hawa yang pas untuk menenangkan diri di tengah individualisme perkotaan yang biasa kita rasakan atau slow living sejenak darinya.

Alasan mengapa Dieng menjadi surga slow living adalah Dieng dikelilingi oleh pegunungan, danau vulkanik, dan hamparan kebun sayur yang luas. Pemandangan seperti telaga dan bukit menciptakan atmosfer yang damai, cocok untuk melepas stres dengan udara yang segar dan berkabut. Kedua, dengan kondisi Dieng yang tidak ada keramaian seperti di kota besar hanya suara angin, kicau burung, dan aktivitas petani yang mengolah ladang. Kita bisa merasakan hidup selaras dengan alam, seperti bangun pagi untuk melihat sunrise atau jogging santai mengitari komplek Candi Arjuna.

Ketiga, Dieng menawarkan akomodasi slow living seperti homestay kayu tradisional atau eco-lodge dengan pemandangan langsung ke pegunungan dengan fasilitas, seperti Rumah Pohon Dieng atau homestay di Desa Dieng Kulon, tidak memiliki TV atau AC, mendorong pengunjung untuk menikmati alam sepenuhnya. Makanan disajikan sederhana, seringkali dari hasil kebun setempat misalnya mie ongklok atau minuman carica.

Keempat, banyak kegiatan yang alam yang bisa dilakukan seperti trekking bukit Sikunir dan meditasi alam dengan beragam pilihan seperti Kawah Sikidang. Selain itu mengunjungi Candi Arjuna atau mengikuti ritual adat seperti ruwatan rambut gimbal (tradistik anak berambut gimbal Dieng).

Di Dieng bukan hanya Komplek Candi Arjuna dan Kawah Sikidang saja yang harus di kunjungi, tapi juga ada hidden gem yang wajib kita kunjungi seperti Telaga Dringo, Padang Savana Dieng, Bukit Scooter, Kawah Candradimuka, Curug Sikarim serta Gunung Prau via Wates. Semua itu adalah tempat wisata yang jarang menjadi tempat wisata bagi turis maupun wisatawan.

Kelima, komunitas yang ramah dan berkelanjutan, masyarakat Dieng sangat terbuka kepada wisatawan tetapi tetap mempertahankan kehidupan tradisional. Banyak homestay dikelola oleh keluarga lokal, sehingga uang yang dikeluarkan wisatawan langsung membantu perekonomian warga.

Terakhir, cuaca dan suasana yang 'mistis', dimana kabut tebal yang sering menyelimuti Dieng di pagi dan sore hari menciptakan nuansa magis, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat. Suhu yang dingin (bisa mencapai 10C) membuat aktivitas kita terasa di dunia yang berbeda dimana lebih menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun