Pagi ini, penulis kembali melakukan perjalanan udara dari Tawau menuju Kota Kinabalu. Waktu tempuhnya hanya sekitar 50 menit---terhitung sangat singkat dalam dunia penerbangan.Â
Namun, satu hal menarik yang tak pernah absen di setiap penerbangan, singkat atau panjang, adalah prosedur keselamatan yang disampaikan oleh pramugari.Â
Dengan tenang mereka berdiri di hadapan penumpang, memperagakan gerakan tangan yang sudah terlatih---memasang sabuk pengaman, menggunakan masker oksigen, mengenakan pelampung, hingga menunjukkan jalur evakuasi.
Bagi sebagian penumpang, kalimat seperti "Kenakan masker oksigen Anda terlebih dahulu sebelum membantu orang lain" mungkin terdengar membosankan. Namun, dalam kondisi darurat, kalimat inilah yang bisa menyelamatkan nyawa.Â
Ketika kepanikan melanda dan akal sehat melemah, hanya ingatan akan petunjuk yang terus diulang yang mampu memandu tindakan.
Apa yang dilakukan pramugari sesungguhnya bukan sekadar rutinitas. Ia adalah bagian dari mekanisme perlindungan kolektif. Tidak peduli apakah penumpang itu seorang pilot senior, pejabat tinggi, atau seseorang yang baru pertama kali naik pesawat---semua mendapat petunjuk yang sama. Tanpa pengecualian. Mengabaikannya berarti mengabaikan keselamatan diri dan orang lain.
Melihat tindakan dan kesungguhan pramugari dalam menyampaikan petunjuk keselamatan, penulis lantas teringat pada fenomena yang sedang ramai belakangan ini: pengibaran bendera bajak laut "One Piece" di sejumlah lokasi.Â
Fenomena ini mencuat karena adanya perbedaan cara pandang. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin hanya bentuk ekspresi budaya pop. Namun, bagi banyak pihak lainnya, fenomena ini ditanggapi sebagai tanda melemahnya pemahaman atas simbol-simbol negara dan nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Pertanyaannya kemudian, apakah lemahnya pemahaman atas simbol-simbol negara yang dikhawatirkan sebagian pihak ini karena kurangnya sosialisasi nilai-nilai berbangsa dan bernegara? Tidak seperti pramugari yang tak pernah absen mengingatkan penumpang sebelum setiap pesawat tinggal landas? Ataukah karena ketiadaan keteladanan dari para tokoh masyarakat, pendidik, hingga pemimpin yang seharusnya menjadi panutan. Jawabannya bisa memunculkan perdebatan panjang  Â
Namun, seperti pramugari yang selalu mengingatkan pentingnya mengenakan masker oksigen sebelum membantu orang lain, begitu pula seharusnya kita memaknai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satunya memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Nilai-nilai Pancasila adalah "masker oksigen" yang menyelamatkan bangsa ini dari turbulensi sosial, krisis identitas, hingga perpecahan ideologi yang sampai saat ini terbukti mampu mempersatukan masyarakat Indonesia yang beragam suku, agama dan bahasa.Â
Namun sayangnya, Pancasila kerap kali dianggap hanya sebagai hafalan upacara, bukan sebagai petunjuk hidup berbangsa dan bernegara yang perlu terus-menerus disadari dan dipraktikkan.
Oleh karena itu, fenomena pengibaran bendera bajak laut semestinya menjadi semacam pengingat bahwa penguatan wawasan kebangsaan bukanlah soal sejarah masa lalu. Ia justru menjadi kebutuhan di era globalisasi dan banjir budaya luar.Â
Kita tidak bisa hanya mengandalkan ingatan historis atau romantisme masa lalu. Nilai-nilai itu perlu diulang, dijelaskan, didialogkan, dan dikontekstualisasikan---seperti halnya pramugari yang terus menyampaikan prosedur keselamatan di setiap penerbangan.
Di sinilah peran negara, para pendidik, tokoh agama, pemimpin masyarakat, hingga pemegang kebijakan sangat penting. Mereka adalah "pramugari kehidupan" yang bertugas menyampaikan pedoman bersama kepada publik---yakni Pancasila. Mereka harus hadir dengan cara yang tidak menggurui, tetapi menyentuh dan membumi, terutama kepada generasi muda yang hidup dalam era serba visual dan cepat.
Mengajarkan Pancasila bukan semata-mata soal menjejalkan lima sila ke dalam kepala siswa. Ia harus hidup dalam praktik sehari-hari. Seperti simulasi evakuasi dalam pesawat, nilai-nilai Pancasila harus dilatih dalam kehidupan nyata: di ruang kelas, media sosial, ruang keluarga, dan ruang-ruang publik lainnya. Kita harus menyiapkan "penumpang masa depan" yang tidak hanya hafal, tetapi paham, sadar, dan tanggap terhadap nilai-nilai yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.
Jika kita lengah, dan tidak menyematkan "masker nilai" kepada diri sendiri, maka ketika turbulensi datang---baik berupa konflik, intoleransi, maupun disintegrasi---kita tidak tahu harus berpegang pada apa. Dalam konteks inilah, Pancasila menjadi perisai sekaligus petunjuk arah. Ia bukan hanya simbol di dinding, tetapi prinsip hidup yang menuntun setiap individu menuju keselamatan bersama.
Akhirnya kehidupan bebangsa dan bernegara adalah perjalanan panjang. Dan ibarat suatu penerbangan panjang, kita tidak pernah tahu kapan turbulensi terjadi. Karena itu, petunjuk keselamatan---baik yang teknis maupun moral---perlu terus diulang, direfleksikan, dan dihidupkan.Â
Seperti pramugari yang tak pernah bosan memberi arahan, kita pun harus terus menanamkan dan menjaga nilai-nilai kebangsaan.
Pancasila adalah masker oksigen nilai bangsa. Sebelum kita membantu membentuk masyarakat yang kuat dan bersatu, pastikan kita sendiri sudah mengenakannya dengan benar. ****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI