Namun setelah istrinya wafat, tidak jelas kapan waktunya, Pak Daeng menikah lagi dengan seorang perempuan yang jauh lebih muda (sekitar usia 40an) dan pindah ke Tarakan.
Sekitar dua tahun lalu, Pak Daeng sebenarnya sempat berkunjung ke Tawau selama beberapa hari tanpa ditemani istri mudanya. Saat itu semuanya berjalan lancar tanpa drama karena ia terlebih dahulu menghubungi seorang anaknya sehingga dijemput di Pelabuhan Tawau. Â
Berbeda dengan kunjungan sebelumnya, kali ini Pak Daeng datang sendiri tanpa terlebih dahulu menghubungi anak-anaknya. Ia pun datang tanpa membawa alamat, kontak keluarga, maupun dokumen pendukung selain paspor. Ia tidak menjawab ketika ditanya apakah keberangkatannya kali ini atas sepengetahuan istrinya atau pergi sendiri secara diam-diam.
Ketika akhirnya Pak Daeng bisa berjumpa dengan anak-anaknya di Konsulat RI Tawau, terlihat kegembiraan di wajahnya. Ia tidak dapat menahan tangisnya ketika berjumpa dengan Wati dan kakaknya. Meski gembira, Wati tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. Ia kesal karena Bapaknya tidak memberitahukan kedatangannya sehingga akhirnya menyulitkan banyak orang.
Selain itu, tampak Wati masih menyimpan rasa kesal terhadap istri muda bapaknya yang dianggap "membawa" sang ayah ke Tarakan, tetapi kemudian terkesan tidak bertanggung jawab merawatnya.
"Iya, saya kesal sekali kenapa tidak ada komunikasi sebelumnya kalau bapak akan datang. Kalau diberitahu, kami pasti akan jemput di Pelabuhan," ujar Wati dengan muka masam.
"Setelah ibu kami wafat dan bapak menikah lagi, istri bapak tidak pernah berkomunikasi dengan kami. Dan apa yang terjadi sekarang terhadap bapak --berangkat sendiri ke Tawau dan kebingungan - seperti menunjukkan ungkapan habis manis sepah dibuang," tambah Wati.
Wati pun kemudian menambahkan bahwa ia dan saudara-saudaranya sebenarnya ingin agar bapak mereka tetap di Tawau saja, dirawat bersama keluarga besar. Namun, setiap kali berkunjung ke Tawau, bapaknya selalu ingin kembali ke Tarakan, mungkin karena rindu pada istri mudanya.
Bagi Wati dan saudara-saudaranya hal tersebut tentu saja menjadi dilema. Apakah mengikuti keinginan bapaknya untuk bolak-balik Tarakan-Tawau sementara tubuhnya semakin ringkih dan daya ingat yang menurun atau memastikan bapaknya tinggal di Tawau sehingga bisa dirawat bersama. Bolak-balik Tawau-Tarakan juga bukan opsi yang baik, selain faktor kesehatan bapaknya, juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Memperhatikan kondisi Pak Daeng dan sikap anaknya, penulis sampaikan agar mereka mengutamakan keselamatan dan perawatan bapaknya. Berikutnya melakukan komunikasi empatik dengan membujuk bapaknya secara bertahap agar betah tinggal di Tawau. Dalam berkomunikasi agar menggunakan bahasa yang dipahami bapaknya (Bugis) agar pesan emosional tersampaikan.
Penulis sampaikan pula agar sekiranya dapat melibatkan istri muda bapaknya guna membantu menenangkan keinginan bapaknya untuk pulang ke Tarakan dan memfasilitasi keputusan bersama. Usulan yang sepertinya mendapat penolakan karena tidak adanya kedekatan antara antara anak-anak Pak Daeng dengan istrinya. Penulis sendiri tidak mengorek lebih jauh alasannya, biarlah hal tersebut menjadi urusan pribadi anak-anak Pak Daeng.