Setiap kali bulan Juni datang, saya seperti diingatkan tentang tiga hujan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga hujan tersebut adalah kelahiran Pancasila pada 1 Juni, hari lahir Bung Karno pada 6 Juni, dan puisi ikonik Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Tiga momen ini tak sepenuhnya saling terkait, tapi kalau direnungkan, semuanya berbicara tentang satu hal yang sama: makna.
Mari kita awali catatan ini dari hari lahir Pancasila 1 Juni 1945. Seperti disebutkan dalam Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, salah satu pertimbangan ditetapkannya 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila karena untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir. Soekarno atau Bung Karno, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di depan sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945.
Ketika Bung Karno naik mimbar sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 dan menyampaikan pidato tentang lima dasar negara---yang kelak disebut Pancasila---itu bukan hasil semedi semalam. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam, "Pidato Bung Karno adalah simpul dari proses panjang pemikiran yang ia rangkai sejak masa pengasingan di Ende dan Bengkulu." (Kompas, 1 Juni 2010)
Meminjam kacamata hermeneutika bahwa makna tidak lahir dari satu momen, tetapi dari dialog panjang antara teks, waktu, dan pengalaman, maka Pancasila bukan hanya rumusan logis, melainkan "teks hidup" yang digali Bung Karno dari sejarah Nusantara, tradisi Islam, sosialisme Barat, hingga keprihatinan atas kolonialisme. Bung Karno bukan menciptakan dari nol, tapi menafsirkan, merangkai, dan menyuarakan ulang apa yang ia serap dari zaman.
Seperti diungkap Prof. Yudi Latif dalam Negara Paripurna (2011), "Pancasila adalah hasil dari hermeneutika kebangsaan---penafsiran kreatif terhadap identitas dan cita-cita Indonesia."
Berikutnya 6 Juni. Tanggal ini merupakan tanggal kelahiran Bung Karno, Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang lahir di Surabaya tahun 1901. Bung Karno adalah tokoh besar yang tak hanya memerdekakan Indonesia secara fisik, tetapi juga membebaskan pikirannya melalui ide-ide besar seperti Pancasila, persatuan nasional, dan anti-penjajahan.
Bung Karno dikenal sebagai "Putra Sang Fajar", bukan hanya karena lahir di saat fajar, tetapi karena hadir di tengah gelapnya penjajahan dan membawa cahaya kemerdekaan bagi bangsanya. Semangat dan warisannya tetap hidup, menuntun generasi hari ini menjaga kemerdekaan dengan pikiran merdeka dan tindakan yang berdaulat.
Lalu, datanglah Hujan Bulan Juni. Karya Sapardi Djoko Damono ini tidak bicara tentang negara, tapi justru menyentuh ranah terdalam dari menjadi manusia. Hujan yang memilih "tidak turun di tanah gersang," hujan yang "tak jadi apa-apa agar bisa menyerapmu dalam diam"---itu bukan hanya sajak cinta, tapi refleksi tentang pengorbanan diam-diam.
Sapardi tidak berteriak tentang ideologi. Tapi lewat bahasa puitik, ia seolah menawarkan hermeneutika keheningan---bahwa makna kadang tersembunyi di balik yang tak dikatakan. Ia mengajarkan kita cara lain untuk mencintai, cara lain untuk memahami, bahkan cara lain untuk membangun bangsa: dengan ketekunan yang tak perlu sorak-sorai.
Seperti kata filsuf Gadamer, dalam Truth and Method, pemahaman sejati lahir dari dialog yang hening, dari kesediaan mendengar dan menafsir. Dan Hujan Bulan Juni adalah undangan untuk masuk ke ruang tafsir itu.