Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Penulis, Pemerhati hubungan internasional, sosial budaya, kuliner, travel, film dan olahraga

Pemerhati hubungan internasional, penulis buku Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. http://kompasiana.com/arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sanggar Panas dan Cinta dari Setiap Sudut Tawau

14 Mei 2025   15:36 Diperbarui: 15 Mei 2025   13:19 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila suatu saat anda berkunjung ke Tawau, kota kecil yang tenang di pantai timur Sabah, cobalah mampir ke kedai-kedai yang banyak bertebaran di hampir setiap sudut kota.

Mampirlah ketika mentari pagi baru merekah atau senja mulai berbisik Dengarkan, di balik riuh kendaraan, di sela orang bercakap, ada satu suara yang mencuri perhatian:

"Sanggar panas, sanggar baru angkat!"

Setiap kali suara itu bergema, orang-orang berhenti sejenak, dan menoleh sambil tersenyum. Mereka datang menghampiri gerobak kecil yang mengepulkan aroma manis bercampur gurih. Wajah mereka tampak akrab, seperti menyambut sahabat lama.

Begitulah sanggar panas dikenal akrab, keberadaannya seperti detak jantung kota. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuat warga setempat seolah punya ritual tersendiri saat menjumpainya. Saat hujan turun, sanggar jadi pelipur. Saat pagi atau senja tiba, sanggar jadi teman ngopi.

Bagi warga Indonesia yang baru tiba di Tawau, penyebutan tersebut jelas membingungkan. "Sanggar? Maksudnya tempat belajar tari?" begitu komentar yang sering terdengar.

" ... apa sebenarnya sanggar panas itu?"

Jangan salah duga, sanggar bagi masyarakat Tawau bukanlah tempat belajar menari atau melukis. Bagi masyarakat Tawau, sanggar adalah sebutan khas untuk pisang goreng.

Sanggar adalah sebuah istilah yang lekat dengan identitas lokal, warisan dari bahasa Bugis yang sudah sejak lama hidup berdampingan dengan ragam budaya di perbatasan.

Disebut "panas" karena pisang goreng paling enak disantap saat baru diangkat dari kuali, renyah di luar, lembut manis di dalam, dan masih mengepulkan uap.

Lebih dari sekadar makanan, sanggar adalah bagian dari perbincangan.

Di balik setiap gigitannya, ada obrolan tentang cuaca, tentang kabar kampung, atau bahkan tentang harga ikan hari ini di pasar Sabindo.

Sanggar panas menjadi simbol kehangatan, bukan hanya karena baru diangkat dari minyak mendidih, tapi juga karena membawa kehangatan hubungan sosial.

"Saya pesan pisang goreng original ya," ujar istriku kepada pelayan di sebuah kedai di Tawau

"Pesan apa puan?," tanya si pelayan dengan logat Bugis yang kentara dan sedikit bingung

"Ini, saya pesan pisang goreng," jawab istriku sambil menunjuk gambar sepiring pisang goreng yang terdapat di daftar menu

"O ... sanggar," sahut si pelayan sambil menulis pesanan ke secarik kertas kecil.

"O iya, di Tawau pisang goreng itu disebut sanggar ya," jawab istriku

Di Tawau, sanggar banyak di jual di kedai bahkan ada warung kecil di pasar Tanjung yang menulis papan sederhana bertuliskan "Jual Sanggar Panas." Satu kalimat, dua kemungkinan makna, tapi semua mengarah ke pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan.

Fenomena ini memperlihatkan betapa cairnya bahasa dan budaya di Tawau. Istilah ini menggambarkan bagaimana bahasa membentuk persepsi atas makanan, sekaligus menunjukkan betapa akrab dan cairnya budaya di perbatasan.

Tawau, sebagai kota yang dihuni oleh warga dari berbagai latar belakang, Bugis, Jawa, Bajau, Tidung, hingga Cina. Tawau menjadi tempat lebur bukan hanya lidah tapi juga istilah. Satu istilah kuliner bisa menjadi jembatan cerita antar-etnis, memperkaya identitas lokal yang memang berlapis-lapis.

Apakah perlu diperdebatkan? Tidak juga. Tapi menyebut "pisang goreng" bisa jadi kode keakraban. Seperti seorang pedagang yang dengan bangga berkata, "Sanggar pisang goreng ala Tawau, lembut di dalam, rangup (renyah) di luar. Tapi pakai cinta Indonesia juga."

Di akhir hari, entah kita menyebutnya pisang goreng atau sanggar, satu hal yang pasti: tak ada yang bisa menolak godaannya ketika masih hangat dan wangi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun