Lebih dari sekadar makanan, sanggar adalah bagian dari perbincangan.
Di balik setiap gigitannya, ada obrolan tentang cuaca, tentang kabar kampung, atau bahkan tentang harga ikan hari ini di pasar Sabindo.
Sanggar panas menjadi simbol kehangatan, bukan hanya karena baru diangkat dari minyak mendidih, tapi juga karena membawa kehangatan hubungan sosial.
"Saya pesan pisang goreng original ya," ujar istriku kepada pelayan di sebuah kedai di Tawau
"Pesan apa puan?," tanya si pelayan dengan logat Bugis yang kentara dan sedikit bingung
"Ini, saya pesan pisang goreng," jawab istriku sambil menunjuk gambar sepiring pisang goreng yang terdapat di daftar menu
"O ... sanggar," sahut si pelayan sambil menulis pesanan ke secarik kertas kecil.
"O iya, di Tawau pisang goreng itu disebut sanggar ya," jawab istriku
Di Tawau, sanggar banyak di jual di kedai bahkan ada warung kecil di pasar Tanjung yang menulis papan sederhana bertuliskan "Jual Sanggar Panas." Satu kalimat, dua kemungkinan makna, tapi semua mengarah ke pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan.
Fenomena ini memperlihatkan betapa cairnya bahasa dan budaya di Tawau. Istilah ini menggambarkan bagaimana bahasa membentuk persepsi atas makanan, sekaligus menunjukkan betapa akrab dan cairnya budaya di perbatasan.
Tawau, sebagai kota yang dihuni oleh warga dari berbagai latar belakang, Bugis, Jawa, Bajau, Tidung, hingga Cina. Tawau menjadi tempat lebur bukan hanya lidah tapi juga istilah. Satu istilah kuliner bisa menjadi jembatan cerita antar-etnis, memperkaya identitas lokal yang memang berlapis-lapis.