Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Penulis, Pemerhati hubungan internasional, sosial budaya, kuliner, travel, film dan olahraga

Pemerhati hubungan internasional, penulis buku Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. http://kompasiana.com/arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sanggar Panas dan Cinta dari Setiap Sudut Tawau

14 Mei 2025   15:36 Diperbarui: 15 Mei 2025   13:19 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari sekadar makanan, sanggar adalah bagian dari perbincangan.

Di balik setiap gigitannya, ada obrolan tentang cuaca, tentang kabar kampung, atau bahkan tentang harga ikan hari ini di pasar Sabindo.

Sanggar panas menjadi simbol kehangatan, bukan hanya karena baru diangkat dari minyak mendidih, tapi juga karena membawa kehangatan hubungan sosial.

"Saya pesan pisang goreng original ya," ujar istriku kepada pelayan di sebuah kedai di Tawau

"Pesan apa puan?," tanya si pelayan dengan logat Bugis yang kentara dan sedikit bingung

"Ini, saya pesan pisang goreng," jawab istriku sambil menunjuk gambar sepiring pisang goreng yang terdapat di daftar menu

"O ... sanggar," sahut si pelayan sambil menulis pesanan ke secarik kertas kecil.

"O iya, di Tawau pisang goreng itu disebut sanggar ya," jawab istriku

Di Tawau, sanggar banyak di jual di kedai bahkan ada warung kecil di pasar Tanjung yang menulis papan sederhana bertuliskan "Jual Sanggar Panas." Satu kalimat, dua kemungkinan makna, tapi semua mengarah ke pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan.

Fenomena ini memperlihatkan betapa cairnya bahasa dan budaya di Tawau. Istilah ini menggambarkan bagaimana bahasa membentuk persepsi atas makanan, sekaligus menunjukkan betapa akrab dan cairnya budaya di perbatasan.

Tawau, sebagai kota yang dihuni oleh warga dari berbagai latar belakang, Bugis, Jawa, Bajau, Tidung, hingga Cina. Tawau menjadi tempat lebur bukan hanya lidah tapi juga istilah. Satu istilah kuliner bisa menjadi jembatan cerita antar-etnis, memperkaya identitas lokal yang memang berlapis-lapis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun