Setiap jalur pendakian Gunung Merbabu punya daya magisnya yang unik. Masing-masing memberikan tantangan, dan menyuguhkan panorama alam serta vegetasi yang berbeda.Â
Namun jika kamu ingin merasakan ketenangan dan kedamaian saat mendaki Gunung Merbabu, jalur Wekas merupakan pilihan yang tepat.
Basecamp pendakian Gunung Merbabu via Wekas berada di Dusun Kedakan, Desa Kenalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Biaya pendakian sebesar Rp. 75.000 per orang, dengan perincian Rp. 40.000 untuk booking online melalui website resmi Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb). Dan Rp. 35.000 untuk biaya tiket di basecamp.
Jalur Wekas, walaupun tidak memiliki sabana seperti jalur pendakian via Suwanting dan Selo, namun kamu akan melalui trek hutan cantik dengan panorama punggungan gunung di kanan kirinya sungguh sangat mempesona. Terlebih lagi jika cuaca cerah, langit biru akan berhiaskan beberapa puncak gunung.
Di area perkemahan yang juga merupakan Pos 2, terdapat sumber mata air bersih, toilet dan gazebo. Disini merupakan area yang nyaman dan luas untuk mendirikan tenda.Â
Jika stamina kamu cukup kuat, lewat jalur Wekas bisa menggapai 5 puncak Gunung Merbabu. Yaitu Puncak Geger Sapi 2.987 Mdpl, Syarif 3.137 Mdpl, Ondorante 3.110 Mdpl, Trianggulasi 3.142 Mdpl dan Puncak Kenteng Songo 3.122 Mdpl.
Pada hari jumat (15/8/2025), saya mendaki lagi ke Gunung Merbabu. Kali ini bersama Mas Joko dan teman-temannya.
Ini merupakan pendakian saya yang ke empat kalinya ke Gunung Merbabu. Kali ini melalui jalur Wekas. Pada pendakian sebelumnya, saya melalui jalur Thekelan dan dua kali via Selo Gancik.Â
Tim pendakian beranggotakan 10 orang, dibagi menjadi dua. Tim yang berangkat siang berjumlah 6 orang, sedangkan kami menyusul pada malam harinya. Kami nanti bertemu di Pos 2 untuk beristirahat sejenak di tenda sebelum melakukan summit attack atau pendakian ke puncak gunung, rencananya menjelang sunrise.
Tentu saja sangat menyenangkan bagi saya, bisa bertemu dan mengenal teman-teman baru dengan hobi yang sama. Juga merupakan suatu tantangan dan pembelajaran ketika mendaki gunung bersama mereka yang sangat berpengalaman.Â
Jumat malam sekitar pukul 20:00 WIB, saya, Mas Joko dan Mbak Siti sudah berada di rumah saudara dari Mas Krisno. Lokasinya berada di belakang salah satu basecamp pendakian Wekas. Akses ke rumah tersebut menuruni jalan semen yang sangat curam. Turun dengan sepeda motor matic bikin jantung saya berdebar sangat kencang.
Mas Krisno sendiri sudah berangkat ke Pos 2 dengan tim yang berangkat siang harinya, sehingga kami tak bertemu dengan dia di "basecamp" itu.
Kami masih menunggu Pak Bambang yang mengendarai mobil dari Magelang dan nampaknya terjebak kemacetan lalu lintas jalan yang padat karena bertepatan dengan long weekend.Â
Dengan keramahtamahan yang tulus khas orang desa, saudara dari Mas Krisno menyambut kami dengan baik dirumahnya. Teh manis hangat, pisang dan aneka camilan disajikan dalam toples diatas tikar dimana kami duduk lesehan. Kami hanya bisa berucap terima kasih. Semoga Tuhan yang akan membalas kebaikan panjenengan beserta keluarga.
Sekitar pukul 21:30 Pak Bambang baru tiba. Tiga puluh menit kemudian pendakian kami pun dimulai.
Tanpa ada pemanasan kami langsung disuguhi jalanan menanjak terjal begitu keluar dari halaman rumah saudara dari Mas Krisno yang letak rumahnya menjorok di bawah. Tipikal permukaan tanah di kaki gunung yang naik turun.
Kami masih melalui jalan berlapis semen menanjak di area pemukiman menuju ke arah ladang warga. Kemudian kami menapaki jalan berpaving.Â
Ketika ada sedikit area datar yang sepi, kami berempat berhenti sebentar untuk beristirahat dan berdoa menurut agama dan kepercayaan kami masing-masing untuk keselamatan pendakian kami.Â
Dengan sorot lampu dari headlamp, saya ingin mengetahui dimana kami berhenti. Di dekat kami, saya bisa membaca tulisan di bangunan yang berwarna biru kuning; SPAM DAK Desa Kenalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.Â
Sistem Penyediaan Air Minum Dana Alokasi Khusus (SPAM DAK) adalah sistem dan infrastruktur untuk menyediakan air bersih bagi masyarakat yang dananya berasal dari pemerintah pusat.
Warga yang tinggal di desa ini tentunya mendapat air bersih yang berlimpah dari Gunung Merbabu, pikirku.
Ketika memasuki pertigaan, ada dua opsi trek yang bisa kami pilih untuk menuju ke Pos 1. Kalau jalan lurus berarti memutar agak jauh, sedangkan belok kiri lewat depan makam yang konon pernah ada cerita horornya.
Pak Bambang menyarankan kami lewat depan makam biar lebih cepat. Di area depan makam, hanya suasana gelap dan hening yang bisa saya rasakan. Tak ada yang lain.Â
Di dekat makam, ada patok dengan tulisan HM 0. Dan kami akan menjumpai banyak patok lagi di sepanjang pendakian sampai ke puncak Gunung Merbabu.
HM (hektometer) adalah satuan panjang dalam sistem metrik. HM 1 setara dengan 100 meter. Puncak Gunung Merbabu pada HM 52.
Patok HM di Gunung Merbabu berwarna putih atau cerah yang bisa memantulkan cahaya senter di malam hari yang berfungsi membantu navigasi dan keamanan pendaki.
Patok HM 0, juga menandakan bahwa kami sudah memasuki area Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb).
Sekitar pukul 11:23, kami sampai di Pos 1 Telaga Arum yang memiliki ketinggian 2.117 Mdpl. Cukup lama kami berhenti beristirahat di gazebo kayu yang ada disitu.
Setelah cukup beristirahat di Pos 1, kami pun melanjutkan pendakian lagi. Dari Pos 1 menuju ke Pos 2 dideskripsikan sebagai jalur yang berat pada pendakian Gunung Merbabu via Wekas. Dari HM 12 hingga HM 20 kami akan melalui trek terjal tanpa henti, kata pak Bambang (46) yang hobi mendaki gunungnya dimulai sejak SMA.
Dalam perjalanan menuju ke Pos 2, stamina dan mental kami benar-benar diuji. Kami melalui trek tanah terjal dengan sebagian akar pohon plus beban carrier yang kami bawa melawan gravitasi bumi. Tidak ada bonus jalan landai sejauh 800 meter.
Pendakian gunung di malam hari terasa lebih berat, karena udara lebih dingin bisa resiko terkena hipotermia. Selain itu visibilitas juga terbatas, kemungkinan terkena altitude sickness, yaitu penyakit ketinggian dengan gejala sesak nafas, sakit kepala dan mual.
Kita pun mengetahui bahwa pada malam hari, tumbuhan tidak melakukan fotosintesis yang menghasilkan oksigen, malahan di malam hari tumbuhan menyerap oksigen dan melepaskan karbon dioksida.
Semakin jauh kami mendaki, kandungan oksigen di udara semakin menipis oleh karena penurunan tekanan udara pada ketinggian. Pilihan terbaik bagi kami yaitu jalan pelan-pelan dan sering berhenti guna aklimasi dengan kondisi lingkungan.
Singkat cerita, kami akhirnya sampai juga di camping ground (Pos 2) lalu menuju ke lokasi tenda teman-teman kami berada. Saya dan Mas Joko tidak tidur, melainkan duduk mengobrol di luar di "dapur" darurat dibawah naungan flysheet. Saat ini jarum jam menunjukkan pukul 01:50.
Pos 2 berada di ketinggian 2.500 Mdpl. Udara pegunungan pada dini hari terasa sangat dingin. Dua sweater tebal dan jaket sudah membalut tubuh saya. Aktivitas saya hanya duduk di depan nyala api dari kompor gas portable untuk menghalau rasa dingin. Perut pun dihangatkan dengan makanan dan menyeruput kopi panas.
Summit attack dimulai pukul 05:40. Memang terlambat bagi pendaki yang ingin berburu sunrise. Tetapi bagi saya, keindahan alam pegunungan tidak hanya sebatas melihat matahari terbit. Masih banyak yang bisa dinikmati ketika kita berada di gunung.
Perjalanan ke Pos 3 cukup nyaman. Trek tidak terlalu terjal, terkadang landai. Di area hutan yang sempat terbakar, tampak majestik. Batu-batu besar banyak dijumpai di jalur ini.
Sinar mentari pagi mewarnai punggung gunung bagian atas, seolah menggambarkan keindahan alam yang tak terlukiskan.
Dalam kesunyian pagi yang sejuk, puncak-puncak Gunung Sindoro, Sumbing, Andong, Telomoyo dan Gunung Ungaran menambah kecantikan langit biru yang sedikit berawan. Tak bosan-bosannya sepasang mata ini menatapnya.
Pada pukul 07:20 kami sampai di Pos 3 yang berada pada elevasi 2.784 Mdpl. Sudah sampai HM 33. Dari pintu rimba yang berada di dekat makam, jaraknya sampai sini sejauh 3.300 meter atau 3.3 km. Cukup jauh untuk ukuran jarak di gunung.Â
Dari Pos 3 kami menuju ke Tugu Batas antara Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Disini merupakan persimpangan antara jalur pendakian Gunung Merbabu via Thekelan dan Wekas.Â
Di medan yang sudah sangat terbuka ini, terlihat hanya sedikit pendaki karena selama bulan Agustus jalur pendakian Thekelan ditutup sementara oleh Balai Taman Nasional Gunung Merbabu dengan alasan perawatan jalur. Namun ada seorang teman yang mengatakan karena adanya pelanggaran batas ojeg gunung.
Kami pun menuju ke puncak yang pertama, yaitu Puncak Geger Sapi dengan ketinggian 2.987 Mdpl. Dinamakan demikian karena bentuknya mirip punuk (geger) sapi.Â
Kami menaiki tebing berbatu yang sangat terjal dan agak licin saat mendekati puncaknya. Seorang teman pendaki yang fobia ketinggian memutuskan untuk kembali turun ketika berada di titik ini.
Panorama terindah yang terlihat dari Puncak Geger Sapi adalah jalur pendakian Thekelan dengan Puncak Pemancarnya. Dahulu ada pemancar berdiri disana sebelum tumbang terkena badai. Disana adalah tempat kemping favorit pendaki dengan view alam sekitarnya yang cantik.
Di sekitar area Puncak Geger Sapi banyak ditumbuhi tanaman Edelweiss yang berbunga mekar cantik. Menurut catatan id.wikipedia.org, Edelweiss (Anaphalis javanica), adalah tumbuhan endemik di pegunungan tinggi di Indonesia. Tumbuhan langka ini berkembang biak dengan cara generatif yang dapat tumbuh di tempat tandus. Kelopak bunganya berwarna putih sedangkan kepala bunganya berwarna kuning.
Puncak selanjutnya yang kami tuju adalah Puncak Syarif yang memiliki ketinggian 3.137 Mdpl. Entah kenapa puncak ini kurang diminati pendaki, termasuk sebagian dari teman kami. Di pertigaan, mereka mengambil arah ke kanan langsung ke Puncak Trianggulasi dan Kenteng Songo.
Satu hal yang menarik ketika berada di Puncak Syarif, saya bisa melihat keindahan Gunung Merapi dari sudut yang berbeda. Tidak berlama-lama disini. Setelah berfoto di Tugu Puncak Syarif, saya dan Mas Joko menuruni puncak ini menuju ke puncak selanjutnya.
Berhubung stamina saya sudah cukup terkuras, ditambah semalam kedinginan dan tidak tidur, saya bilang ke Mas Joko tidak akan naik Puncak Ondorante. Langsung saja ke Puncak Trianggulasi dan Kenteng Songo. Menjejakkan kaki di Puncak Ondorante bisa di lain waktu.
Akhirnya kami berdua berjalan melipir di trek landai diantara badan Ondorante yang menjulang tinggi dan lereng gunung yang sangat curam di sebelang kiri kami. Disini viewnya sangat indah.
Sebelum mencapai dua puncak terakhir, kami dihadang satu lagi tantangan yang bikin adrenalin langsung naik, namun sangat mengasyikkan.Â
Apa ini yang dinamakan jembatan setan? Saya pun tak tahu. Kami melintasinya secara bergantian. Dengan sangat hati-hati berpijak pada jalan setapak sempit, sedangkan tangan kami berpegangan pada tali yang dipasang pada dinding batu tinggi terjal.
Singkat cerita, kami akhirnya bisa sampai di ujung pendakian. Puncak Trianggulasi 3.142 Mdpl dan Puncak Kenteng Songo 3.122 Mdpl.Â
Pendakian kali ini terasa sangat spesial bagi saya. Tidak hanya bisa menggapai empat puncak gunung dan mengalami pengalaman seru, namun juga mendapatkan teman-teman baru yang baik hati.
Tentu saya sangat bersyukur pada Sang Pencipta. Di usia saya yang sudah 54 tahun, masih di beri-Nya kemampuan untuk bisa menikmati hobi baru ini. Salam lestari dan sehat selalu bagi kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI