Mohon tunggu...
Aris Rahman Purnama Putra
Aris Rahman Purnama Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis I Editor I Content Creator

Cuma air kencing~

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Filsafat Jalan Kaki, Berfilsafat Sambil Jalan Kaki

13 Juni 2021   07:48 Diperbarui: 13 Juni 2021   07:52 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Penerbit Renebook

 "JALAN kaki itu bukanlah sejenis olahraga" (hlm. 1), begitulah kurang lebih kalimat pembuka dalam buku ini, yang seperti ingin menegaskan bahwa keseluruhan isi buku ini tak bakal memandang "berjalan kaki" sebagaimana olahraga yang mendatangkan manfaatkan kesehatan semata, melainkan pada aspek yang lebih filosofis. Kalimat ini sekilas mengingatkan dengan cerita heroik teman saya yang baru saja viral karena berjalan kaki dari Jakarta menuju Rinjani dalam rangka "pencarian jati diri". Tapi mari singkirkan kisah heroik teman saya yang baru saja berhasil menjual buku memoarnya ribuan eksemplar tersebut dan mari kembali kepada buku karya Gros.

Dalam bab berjudul "Kebebasan", dijelaskan bahwa, "Saat berjalan kaki, kita menemukan kekuatan yang begitu luas pada langit malam yang bertabur bintang, energi-energi alam, dan hasrat yang terpuaskan ... Kali ini, tidak ada  jaring semu yang dapat menghalau kita untuk menikmati kegembiraan-kegembiraan sederhana itu ... Berjalan kaki dapat membangunkan diri kita" (hlm. 9). Di bagian ini, Gros beranggapan bahwa berjalan kaki dapat membuat kita lebih menghayati alam sekitar saat berjalan kaki, dan ketika kita bisa menghayati segala kegembiraan sederhana tersebut, diri kita akan "bangun".

Atau dalam bab berjudul "Pelan", berjalan kaki perlahan dipandang dapat melatih diri untuk menghayati setiap detik yang kita lalui dalam hidup: "Hari-hari Anda berjalan kaki pelan-pelan akan sangat panjang: hari-hari itu membuat Anda hidup lebih lama, karena Anda mengizinkan setiap jam, setiap menit, setiap detik, untuk bernapas, untuk menjadi lebih dalam, bukan mengisinya penuh-penuh dengan memaksa sendi-sendi ... Pelan berarti menempel sempurna pada waktu, begitu rapat hingga detik-detik berjatuhan satu demi satu, tetes demi tetes seperti tetesan teratur air dari keran ke atas batu." (hlm. 46).

Sementara dalam bab "Kesenyapan", deceritakan bahwa Thoreau berulangkali menyebutkan bahwa 'kesenyapan' biasanya mampu mengajarinya lebih banyak ketimbang saat bersama orang lain. Dan kegiatannya dalam berjalan kaki di alam selalu dilakukan dalam kesenyapan.

"Kesenyapan ditemukan kembali, mula-mula sebagai sesuatu yang bening. Semuanya tenang, penuh harap, dan tak bergerak. Anda berada di luar celoteh dunia, gaung-gaung lorongnya, berikut kasak-kusuknya. Berjalan kaki: kesenyapan itu mula-mula menghantam Anda seperti desah napas kuat di telinga. Anda merasakan kesenyapan itu seperti embusan angin segar yang meniup pergi awan-awan" (hlm. 74).

Dan sebagai penutup dari bagian ini, mari kita kutip salah satu penggalan puisi gubahan Wordsworth, seseorang yang menggunakan semua perjalanannya sebagai materi untuk puisi-puisinya:

"Maka kucuri sepanjang jalan sunyi itu / Tubuhku dari diam yang mereguk / Daya pemulih bagai tenangnya tidur / Tapi jauh lebih manis, / Di atas, di depan, di belakang, / Di sekelilingku, semua damai dan lengang." (hlm. 262)

Berfilsafat Sambil Berjalan Kaki      

    SIAPAKAH tokoh-tokoh juga pemikir besar yang juga memiliki kebiasaan untuk berjalan kaki?   

Pembaca sekalian mungkin mengenal Nietzche, salah satu filsuf besar yang terkenal dengan kutipan kontroversialnya "Tuhan telah mati" yang sering disalah tafsir oleh banyak orang. Nietzche sendiri menyebut dirinya sebagai seorang pejalan kaki yang hebat. Dalam bukunya yang berjudul Ecce Homo, dia pernah menulis begini: "Duduklah sesedikit mungkin; jangan percayai ide apa pun yang tidak lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas. Semua prasangka berasal dari aktivitas duduk diam. Hal itu merupakan dosa nyata kepada Roh Kudus" (hlm. 15).

Bagi Nietzche, berjalan dan menyendiri adalah obat bagi rasa sakit yang berdenyut-berdenyut dan menyiksanya, sekaligus sebagai upayanya kabur dari "segala hasutan, tuntutan, gejolak dunia, yang selalu harus dibayar dengan berjam-jam penderitaan" (hlm. 20). Begitu terobsesinya dengan berjalan kaki, hingga pada Agustus 1877, dia hidup sebagai petapa di Rosenlaui dan berkata, "Seandainya saja aku bisa memiliki sebuah rumah kecil di suatu tempat seperti ini, aku akan berjalan enam atau delapan jam sehari, merangsang pemikiran-pemikiran yang nantinya akan kutulis di atas kertas" (hlm. 20).       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun