(Refleksi Tulisan sebelumnya: Guru, Orangtua, dan Peta Pulang: Cara Sederhana Menjadi Teman Remaja Putri)
Untuk remaja putri yang pernah merasa capek tanpa alasan, tiba-tiba mau menangis, kemudian menatap cermin dan cermin seperti menatap balik seolah menguliti dan merundung tiada henti. Untuk kamu yang sering terjebak scroll media sosial dan merasa bahwa semua orang lebih cantik, lebih pintar, lebih punya arah, sementara kamu… ya kamu, masih disini, berusaha bernafas rapi. Kalau iya, bolehkah saya bilang sesuatu: sebenarnya kamu tidak hancur. Kamu sedang bertumbuh. Dan bertumbuh itu sudah pasti berisik. Ada tulang sikap yang sedang memanjang, ada otot keberanian yang baru dilatih, ada kulit kepercayaan diri yang kadang gatal saat menebal. Semua itu normal.
Kita mulai dari yang paling dekat: hatimu sendiri. Ia seperti halnya rumah. Kadang rapi, kadang berantakan, kadang lampunya redup. Ketika redup, kebiasaan kita adalah memaki kegelapan. Padahal, yang lebih berguna adalah kalau kita menyalakan satu lampu kecil dulu. Lampu kecil itu bisa berupa kalimat lembut untuk diri sendiri: “Aku capek, dan itu bukan dosa.” Dari kalimat sesederhana itu, kamu memberi sinyal pada otak: aman, kamu boleh beristirahat sebentar. Di dunia yang sering memaksa cepat, istirahat sejenak adalah keberanian.
Lalu soal cermin dan layar. Dua benda yang seharusnya netral, sering berubah jadi hakim yang cerewet. Cermin hanya memantulkan wajahmu, bukan harga dirimu. Layar hanya memantulkan pilihan orang lain, bukan takdirmu. Standar yang kamu lihat di internet sering lahir dari edit, filter, angle, dan timing.
Hidup tidak punya tombol beauty mode, tapi hidup punya ruang proses, yang justru bikin kamu nyata dan menarik. Jika beranda medsosmu bikin hati kecut, itu tanda bukan kamu yang salah, tapi “taman”mu yang butuh ditata ulang. Cabut gulma (akun-akun yang bikin kamu merasa tidak cukup), tanam benih (akun yang membuatmu belajar, tertawa, berdaya). Dan sebelum tidur, beri dirimu hadiah: waktu tanpa layar. Enam puluh sampai sembilan puluh menit. Biar matamu pulang sejenak. Biar otakmu ingat bahwa malam diciptakan untuk memulihkan, bukan menghakimi.
Sekarang tentang belajar dan ambisi. Kamu boleh punya mimpi tinggi. Tapi ingat: mimpi itu diantarkan oleh langkah kecil yang konsisten, bukan lompatan yang membuatmu kehabisan napas. Ada pola sederhana yang mungkin bisa dicoba: 25 menit fokus, 5 menit jeda (minum, tarik napas 4 hitungan, tahan 4, hembus 6), ulang sampai dua atau tiga putaran. Tanyakan pada dirimu setiap minggu: satu tugas besar apa yang ingin aku selesaikan? Tiga tugas sedang? Lima tugas kecil? Setiap kali selesai satu hal kecil, catat. Itu bukan daftar tugas, itu catatan kemenangan. Dan kalau ada hari yang gagal, ingat: “gagal” itu bisa jadi data, bukan vonis atau identitas. Besok masih milikmu.
Tubuhmu juga butuh kamu rangkul. Tubuhmu bukan project by design dari orang lain. Ia bukan papan reklame untuk standar siapapun. Ia adalah saranamu untuk berlari, tertawa, memeluk, berkarya, beribadah dan hidup. Siklus bulananmu mungkin membuat energi naik turun, itu bukan kelemahan; itu ritme. Di hari energi rendah, kamu boleh memperlambat, memilih review dari tugas yang paling berat. Di hari energi tinggi, keluarkan kreativitas: presentasi, project, ide. Kamu bukan malas; kamu sedang belajar membaca cuaca dalam dirimu sendiri.
Bagaimana dengan pertemanan? Hubungan yang sehat membuatmu tumbuh, bukan menciut. Jika sebuah pertemanan atau hubungan membuat dadamu sesak lebih sering daripada lega, itu bukan “kamu terlalu sensitif”, itu tanda kamu sedang mendengar alarm. Batas itu cantik. “Tidak” itu vitamin. Kamu tidak wajib membalas pesan secepat kilat. Kamu tidak wajib memikul semua rahasia sendirian. Kalau bingung, cek tiga pertanyaan: (1) Aku boleh ngga jadi diriku? (2) Apakah aku akan aman kalau berkata jujur? (3) Apakah ada ruang untuk saling tumbuh? Kalau tiga-tiganya “tidak”, jangan memaksa dirimu tinggal di kamar yang lampunya padam. Keluar pelan-pelan. Cari udara.
Ada juga cara ngobrol dengan diri sendiri, suara kecil yang tetap menyertai, bahkan saat semua orang diam. Latih ia jadi sahabat, bukan pengkritik kejam. Saat pikiran berkata, “Aku selalu gagal,” jawab dengan bukti: “Tidak". Minggu lalu aku bisa menyelesaikan tugas esai dari sekolah. Dua hari ini aku bangun tepat waktu.” Saat pikiran berkata, “Aku jelek,” balas dengan fungsi: “Tubuhku ini kuat untuk mengajakku berjalan. Tanganku menulis. Mataku belajar.” Ini bukan tipu-tipu; ini mendidik ulang otak agar melihat lengkap, bukan hanya sisi gelap saja.
Kamu juga berhak punya tempat aman di luar kepala: orang dewasa terpercaya (wali kelas, guru BK, orang tua, atau kakak), dan teman aman (satu orang yang bisa kamu hubungi saat perlu ditenangkan, bukan diperintah). Tidak ada medali untuk “sanggup jalan sendiri”. Minta tolong bukan lemah; itu tanda kamu tahu pintu mana yang harus diketuk. Kalau hatimu berisik sekali, tulis. Jurnal itu seperti selokan yang lancar: ia mengalirkan yang mampet. Tidak perlu indah, cukup jujur. Coba tiga baris saja setiap malam:
“Hari ini aku bangga karena……….”
“Yang berat hari ini………………….”
“Langkah kecil besok……………….”
Selebihnya? Biarkan kertas bekerja.
Kita juga perlu peta darurat. Bukan untuk menakuti, tapi agar kamu tahu jalan keluar saat kabut turun. Jika kamu mulai merasa ingin menyakiti diri, atau kamu menyadari kebiasaan makanmu menjadi sangat tidak teratur dan menyakitkan, jangan sendirian. Beritahu orang dewasa terpercaya, sekarang. Pergi ke ruang yang lebih aman, jauhi benda-benda berisiko, dan tetap bersama seseorang sampai gelombang besar itu menurun. Kamu berhak atas pertolongan profesional, sama seperti kamu berhak pergi ke dokter ketika kakimu terkilir. Jiwa juga butuh tenaga medis profesional, itu normal.
Sekarang bagian yang menyenangkan: tantangan 7 hari penuh kelembutan. Boleh kamu mulai kapan pun, tidak perlu menunggu “sempurna”.
Hari 1: rapikan beranda akunmu, unfollow satu akun yang bikin kamu membanding-bandingkan diri; follow satu akun yang bikin kamu belajar.
Hari 2: tidur 30–60 menit lebih awal; letakkan gawai di luar kamar.
Hari 3: 2 putaran belajar 25–5 untuk pelajaran yang bikin kamu nge-freeze.
Hari 4: kirim pesan pendek ke “teman nyamanmu”: “Terima kasih sudah hadir.”
Hari 5: tulis surat 7 kalimat untuk tubuhmu: bukan soal bentuk, tapi karena fungsinya yang kamu syukuri.
Hari 6: lakukan kebaikan kecil anonim (menata kursi, membantu teman) dan catat rasa di dada kamu setelahnya.
Hari 7: jalan 15 menit sambil bernafas perlahan; sebutkan 5 hal yang bisa kamu lihat, 4 hal yang bisa kamu sentuh, 3 suara yang kamu dengar, 2 aroma yang kamu cium, 1 hal yang kamu syukuri. Itu cara sederhana mengajak otak kembali ke sini.
Kamu tidak sedang berlomba. Kamu sedang membangun pondasi tempat berhuni. Dindingnya dari kebiasaan-kebiasaan kecil, jendelanya dari harapan, atapnya dari orang-orang yang kamu izinkan mencintaimu dengan wajar. Sesekali hujan datang, wajar. Kalau bocor, kita tambal bersama. Kamu tidak perlu jadi simbol “sempurna” untuk dicintai. Kamu perlu jadi simbol yang hadir: hadir untuk merawat diri, hadir untuk mencoba lagi, hadir untuk menerima bantuan, hadir untuk memberi jeda.
Hal sederhana yang ingin orang tua titipkan dari masa depanmu; Bayangkan kamu lima tahun ke depan. Ia menatapmu hari ini sambil tersenyum dan berkata, “Terima kasih ya sudah bertahan pada hari yang rasanya ingin menyerah. Terima kasih sudah mematikan layar, menulis tiga baris jurnal, menolak komentar jahat di kepalamu, dan berani minta tolong. Kamu pikir itu kecil, tapi tanpa itu aku tidak jadi aku yang sekarang, lebih tenang, lebih jernih, lebih sayang pada diri sendiri. Semua karena kamu mau melangkah, meski gemetar.”
Kalau suatu pagi kamu berdiri di depan cermin, coba ucapkan ini pelan-pelan, sekali saja cukup:
“Aku cukup. Aku boleh salah. Aku bisa belajar. Aku berharga, sebelum, saat, dan sesudah prestasi apa pun.”
Lalu ambil napas. Taruh tanganmu di dada. Rasakan jantungmu mengetuk, itu tanda kamu masih diberi kesempatan. Kesempatan untuk mencoba lagi, untuk memaafkan diri, untuk menata ruang digitalmu, untuk memilih teman yang membuatmu tumbuh, untuk belajar dengan ritme yang manusiawi, untuk berkata “tidak” ketika perlu, dan untuk berkata “tolong” ketika perlu.
Kamu bukanlah project. Kamu adalah perjalanan. Dan perjalanan yang baik tidak selalu mulus, yang penting, ada yang menemani. Ajak dirimu sendiri jadi teman terbaikmu. Ajak orang dewasa yang kamu percaya menjadi pagar yang tidak mencekik, melainkan melindungi. Ajak satu sahabat menjadi lampu kecil di sudut-sudut gelap. Dengan begitu, kamu akan menemukan ini: ternyata pulang ke diri sendiri bukan sekadar tujuan, melainkan kebiasaan harian. Sedikit-sedikit, tapi nyata.
Jadi, kalau hari ini terasa berat, tidak apa-apa, lanjutkan hidupmu. Letakkan beban, minum air putih hangat, hirup napas panjang, kirim pesan ke orang yang membuatmu nyaman, tulis tiga baris. Besok kita coba lagi. Dunia tidak ke mana-mana, ia menunggu kamu bertumbuh dengan caramu. Dan saat kamu melangkah, ingat kalimat ini: aku sebenarnya bukan rapuh, tapi sedang bertumbuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI