Mohon tunggu...
Dewa Ngakan Made Ari Putra TB
Dewa Ngakan Made Ari Putra TB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa S1 program studi Sosiologi di Universitas Airlangga yang hendak terjun dalam dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tren Ngaben Kremasi, Sebuah Inovasi atau Substitusi Seremoni

23 Mei 2022   01:17 Diperbarui: 23 Mei 2022   21:38 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditinjau dari struktur sosial masyarakatnya, pengambilan keputusan tingkatan ngaben yang akan digunakan oleh keluarga jenazah sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada keluarga yang meninggal dapat menunjukkan status sosial dan prestise keluarga, karena tingkatan pengabenan ini dapat menjadi tolok ukur hierarki estetika adat. 

Hal ini berpotensi menjadikan ngaben sebagai ajang kontestasi dan konflik di tengah masyarakat. Masyarakat Hindu Bali mengenal adanya sistem desa pakraman sebagai sebuah lembaga masyarakat yang bertugas untuk mengatur kelembagaan serta adat istiadat desa dengan beranggotakan krama adat. 

Dalam hukum adat Bali juga berlaku desa kala patra yakni interpretasi masyarakat dalam suatu wilayah yang dinamis sesuai dengan realitas sosial yang ada. Desa pakraman dan desa kala patra inilah yang akan mengatur jalannya pengabenan dalam batas wilayah desa pakraman. 

Terdapat beberapa aturan yang berlaku dalam pengabenan pada masing-masing desa pakraman, seperti pengabenan tingkat utama (tinggi) akan melibatkan krama adat (masyarakat desa pakraman) dalam persiapan sarana dan prasarana hingga akhir proses ngaben. Lagi-lagi, hal ini berpotensi menimbulkan masalah dikarenakan telah adanya transformasi mata pencaharian masyarakat Bali yang awalnya agraris menjadi majemuk. 

Pada zaman sekarang, krama adat perlahan-lahan menjadi kura-kura dalam perahu atau pura-pura tidak tahu terhadap hukum adat dan desa kala patra. 

Permasalahan ini akan membawa dampak yang negatif yakni pudarnya esensi desa pakraman yang bertujuan untuk mengeratkan rasa saling memiliki antar krama adat. Dengan adanya peraturan dalam melaksanakan pengabenan tingkat utama yakni keterlibatan desa pakraman, krama adat yang tidak memiliki sens of belonging (rasa saling memiliki) akan merasa segan untuk melakukan pengabenan tingkat utama di desa pakraman-nya.

Latar belakang permasalahan tersebut menghasilkan sebuah solusi yakni adanya pengabenan kremasi tingkat madya (menengah) di krematorium yang berada di luar desa pakraman. 

Pengabenan secara kremasi di krematorium ini dicetuskan sejak tahun 2008. Pada awalnya, pengabenan kremasi ini menuai banyak kontroversi karena dianggap dapat memarginalisasi tradisi dan budaya ngaben konvensional. Namun, seiring dengan sosialisasi yang diadakan oleh pemuka agama, ngaben kremasi di krematorium perlahan mulai diterima oleh masyarakat. 

Dimulai dari kemunculan krematorium yang ada di Kota Denpasar yakni Krematorium Santha Yana, lalu berkembang dan disusul oleh kemunculan beberapa krematorium di daerah lain seperti, Kabupaten Bangli, Klungkung, Tabanan, dan Singaraja. Dalam perkembangannya sampai saat ini, pengabenan kremasi menjadi tren baru dalam ritual kematian di Bali. Hal ini terbukti dengan adanya data jumlah jenazah yang dikremasi di krematorium Santha Yana dalam lima tahun terakhir sejak 2020.

Sumber: Jurnal Kajian Bali
Sumber: Jurnal Kajian Bali

Seperti yang tertulis dalam sastra agama Hindu, pengabenan kremasi ini sah dan diperbolehkan karena sesuai dengan ketentuan kategori ngaben madya (menengah), sehingga tren ngaben kremasi ini bisa disebut sebagai alternatif dan sebuah substitusi dari seremoni pengabenan konvensional yang eksotik, mahal, dan rumit. Selain disebutkan sah secara agama, alasan pendukung naiknya tren ngaben kremasi di krematorium adalah adanya rasa segan dari masyarakat untuk melakukan ngaben di desa pakraman, keefektifan anggaran, efisiensi waktu, penghematan tenaga, alasan kesehatan seperti harus adanya perlakuan spesial kepada jenazah karena berpotensi menularkan penyakit, serta yang paling berpengaruh belakangan ini adalah adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan aktivitas kolektif masyarakat. Dari data terakhir tahun 2020 yang didapatkan sampai Bulan Maret, pengabenan kremasi hanya mencapai 213, namun saat ini per tahun 2022, jumlah pengabenan kremasi di masing-masing krematorium melonjak drastis hingga bisa mencapai lebih dari 10 jenazah per harinya. Hal ini membuat pengabenan kremasi semakin menarik untuk diteliti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun