Mohon tunggu...
Dewa Ngakan Made Ari Putra TB
Dewa Ngakan Made Ari Putra TB Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa S1 program studi Sosiologi di Universitas Airlangga yang hendak terjun dalam dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tren Ngaben Kremasi, Sebuah Inovasi atau Substitusi Seremoni

23 Mei 2022   01:17 Diperbarui: 23 Mei 2022   21:38 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto Pribadi Penulis

Pulau Seribu Pura, Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Cinta, Pulau Mentari Pagi, begitulah mereka menyebut sebuah pulau yang masih kental dengan tradisi dan budayanya yakni Pulau Bali. Adat istiadat yang lahir dan diteruskan secara turun-temurun ini berhasil menarik minat wisatawan domestik sampai mancanegara untuk menjelajahi kebudayaan yang ada. 

Kehidupan sosial-masyarakat Bali yang mayoritasnya beragama Hindu sudah mengenal tradisi bahkan sebelum insan tersebut dilahirkan. Melakukan yadnya atau persembahan suci yang tulus ikhlas menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh umat Hindu. Dimulai dengan upacara magedong-gedongan saat bayi berusia 7 bulan dalam kandungan, hingga akhirnya di ujung usia manusia dibuatkanlah upacara kematian (ngaben). 

Dengan kompleksnya rentetan upacara yang dilaksanakan umat beragama Hindu di Bali, wajar jika orang luar menyebut orang Hindu Bali sebagai masyarakat seremonial. Dari semua ritus yang dilakukan, yang paling menjadi sorotan dikarenakan keunikannya adalah ritus kematian yang disebut dengan Ngaben. 

Ngaben merupakan persembahan suci terakhir yang dilakukan pada orang yang meninggal, sehingga ngaben termasuk dalam upacara pitra yadnya (persembahan yang tulus kepada leluhur). Secara etimologi, ngaben diyakini berasal dari kata beya yang berarti memberi bekal, ngabu (menjadi abu), dan masih banyak keyakinan etimologis lainnya. 

Secara filosofis, ngaben bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian badan kasar manusia yang terdiri atas 5 unsur alam yakni pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara) dan akasa (ruang kosong), serta menyucikan jiwa atau roh (atman) orang yang telah meninggal.

Umat Hindu Bali menjalankan segala jenis tradisinya dengan berlandaskan dasar rasa bakti tulus ikhlas. Dalam upacara pengabenan, terdapat beberapa tingkatan yang dapat dibedakan dari sarana dan prasarana upacaranya. Mulai dari tingkatan sesajen (banten), adanya lembu atau petulangan lainnya, adanya bade (wadah saat pemindahan jenazah sampai ke pemakaman), serta masih banyak indikator pembeda lainnya. 


Tingkatan tersebut secara umum dibedakan menjadi 3, yakni nista (rendah atau biasa), madya (menengah atau sederhana) dan utama (tinggi). 

Tentunya semakin tinggi tingkatan ngaben, maka anggaran yang dibutuhkan akan semakin besar. Biaya minimum yang harus dipersiapkan untuk upacara pembakaran mayat ini adalah kisaran 10 juta rupiah untuk tingkatan rendah (nista), 15 juta rupiah untuk tingkatan menengah (madya) dan 22 juta rupiah untuk tingkatan tinggi (utama). 

Berbeda dengan biaya minimum tersebut, biaya maksimum bahkan tidak bisa ditentukan karena kembali pada konsep ber-yadnya adalah rasa bakti terhadap leluhur, sehingga tidak ada standar anggaran maksimum. 

Ngaben konvensional yang biasa ditampilkan pada media biasanya berkategori ngaben tingkat utama, yakni menggunakan minimal tiga sesajen sorohan saat pembakaran, menggunakan wadah atau bade, dan menggunakan petulangan (tempat pembakaran mayat) seperti lembu atau binatang mitologis lainnya (nagabanda, singapaksi, gajahmina, dll). 

Berbeda dengan ngaben dalam tingkatan madya dan nista yang biasanya menggunakan hanya satu sesajen sorohan saat pembakaran dan tidak menggunakan wadah maupun petulangan.

Ditinjau dari struktur sosial masyarakatnya, pengambilan keputusan tingkatan ngaben yang akan digunakan oleh keluarga jenazah sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada keluarga yang meninggal dapat menunjukkan status sosial dan prestise keluarga, karena tingkatan pengabenan ini dapat menjadi tolok ukur hierarki estetika adat. 

Hal ini berpotensi menjadikan ngaben sebagai ajang kontestasi dan konflik di tengah masyarakat. Masyarakat Hindu Bali mengenal adanya sistem desa pakraman sebagai sebuah lembaga masyarakat yang bertugas untuk mengatur kelembagaan serta adat istiadat desa dengan beranggotakan krama adat. 

Dalam hukum adat Bali juga berlaku desa kala patra yakni interpretasi masyarakat dalam suatu wilayah yang dinamis sesuai dengan realitas sosial yang ada. Desa pakraman dan desa kala patra inilah yang akan mengatur jalannya pengabenan dalam batas wilayah desa pakraman. 

Terdapat beberapa aturan yang berlaku dalam pengabenan pada masing-masing desa pakraman, seperti pengabenan tingkat utama (tinggi) akan melibatkan krama adat (masyarakat desa pakraman) dalam persiapan sarana dan prasarana hingga akhir proses ngaben. Lagi-lagi, hal ini berpotensi menimbulkan masalah dikarenakan telah adanya transformasi mata pencaharian masyarakat Bali yang awalnya agraris menjadi majemuk. 

Pada zaman sekarang, krama adat perlahan-lahan menjadi kura-kura dalam perahu atau pura-pura tidak tahu terhadap hukum adat dan desa kala patra. 

Permasalahan ini akan membawa dampak yang negatif yakni pudarnya esensi desa pakraman yang bertujuan untuk mengeratkan rasa saling memiliki antar krama adat. Dengan adanya peraturan dalam melaksanakan pengabenan tingkat utama yakni keterlibatan desa pakraman, krama adat yang tidak memiliki sens of belonging (rasa saling memiliki) akan merasa segan untuk melakukan pengabenan tingkat utama di desa pakraman-nya.

Latar belakang permasalahan tersebut menghasilkan sebuah solusi yakni adanya pengabenan kremasi tingkat madya (menengah) di krematorium yang berada di luar desa pakraman. 

Pengabenan secara kremasi di krematorium ini dicetuskan sejak tahun 2008. Pada awalnya, pengabenan kremasi ini menuai banyak kontroversi karena dianggap dapat memarginalisasi tradisi dan budaya ngaben konvensional. Namun, seiring dengan sosialisasi yang diadakan oleh pemuka agama, ngaben kremasi di krematorium perlahan mulai diterima oleh masyarakat. 

Dimulai dari kemunculan krematorium yang ada di Kota Denpasar yakni Krematorium Santha Yana, lalu berkembang dan disusul oleh kemunculan beberapa krematorium di daerah lain seperti, Kabupaten Bangli, Klungkung, Tabanan, dan Singaraja. Dalam perkembangannya sampai saat ini, pengabenan kremasi menjadi tren baru dalam ritual kematian di Bali. Hal ini terbukti dengan adanya data jumlah jenazah yang dikremasi di krematorium Santha Yana dalam lima tahun terakhir sejak 2020.

Sumber: Jurnal Kajian Bali
Sumber: Jurnal Kajian Bali

Seperti yang tertulis dalam sastra agama Hindu, pengabenan kremasi ini sah dan diperbolehkan karena sesuai dengan ketentuan kategori ngaben madya (menengah), sehingga tren ngaben kremasi ini bisa disebut sebagai alternatif dan sebuah substitusi dari seremoni pengabenan konvensional yang eksotik, mahal, dan rumit. Selain disebutkan sah secara agama, alasan pendukung naiknya tren ngaben kremasi di krematorium adalah adanya rasa segan dari masyarakat untuk melakukan ngaben di desa pakraman, keefektifan anggaran, efisiensi waktu, penghematan tenaga, alasan kesehatan seperti harus adanya perlakuan spesial kepada jenazah karena berpotensi menularkan penyakit, serta yang paling berpengaruh belakangan ini adalah adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan aktivitas kolektif masyarakat. Dari data terakhir tahun 2020 yang didapatkan sampai Bulan Maret, pengabenan kremasi hanya mencapai 213, namun saat ini per tahun 2022, jumlah pengabenan kremasi di masing-masing krematorium melonjak drastis hingga bisa mencapai lebih dari 10 jenazah per harinya. Hal ini membuat pengabenan kremasi semakin menarik untuk diteliti.

Pada intinya, dengan adanya tren pengabenan kremasi tidak akan memarginalisasi tradisi turun temurun. Pengabenan konvensional tingkat utama akan masih tetap dilaksanakan dan menjadi pilihan masyarakat untuk melakukan penghormatan terakhir kepada keluarganya yang telah meninggal. Fenomena ngaben kremasi diakui sebagai inovasi dari adanya transformasi struktur masyarakat yang tunggal menjadi majemuk serta efesiensi dari segi ekonomi, waktu, tenaga, dan kesehatan. Ngaben kremasi menjadi hal yang positif dalam perkembangan ritual kematian dan pembakaran jenazah di Bali, ditambah dengan adanya landasan keagamaan dan kebudayaan yang kuat memperbolehkan adanya ngaben kremasi, tren ini dapat dikatakan sebagai substitusi dari seremoni yang rumit dan menjadi pilihan masyarakat dalam melaksanakan ritual kematian sesuai dengan situasi dan kondisi struktur masyarakat yang terus bertansformasi.

Penulis:

Dewa Ngakan Made Ari Putra Taman Bali

(Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Airlangga)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun