Perjalanannya meluas. Ia menelusuri pesisir Sumatera, mendaki perbukitan, menyeberang ke pulau-pulau kecil.
Ia meneliti nyanyian para petani, ritme penabuh tradisi, dan doa yang diucap dalam bahasa-bahasa tua.
Dari semua itu, ia melihat satu pola besar: kebudayaan tidak pernah diam.
Ia selalu bernapas, berubah, dan menyesuaikan tempo zamannya.
Ia belajar bahwa transdisiplin bukan sekadar istilah akademik, melainkan cara hidup.
Bahwa menjadi manusia berarti terus menyeimbangkan ilmu dan iman, rasio dan rasa, individu dan komunitas.
Di sanalah letak harmoni sejati.
Coda — Tentang Mimpi yang Terus Hidup
Kini lelaki itu berjalan lebih pelan, namun langkahnya lebih pasti.
Ia tidak lagi mencari nada yang hilang, sebab ia tahu: hidup itu sendiri adalah simfoni yang tak pernah selesai.
Di setiap senja, ia duduk di tepi laut—laut yang sama seperti dulu—menatap ombak dan mendengarkan bisikan angin.
Kadang ia merasa mendengar suara ayahnya, kadang hanya bunyi waktu yang lewat.
Namun di antara keduanya, ia menemukan kedamaian.
"Besar seseorang adalah sebesar mimpinya,
tetapi kemuliaannya terletak pada kesetiaannya menjaga nada hidupnya sendiri."
Ia menulis bukan untuk dikenang, melainkan agar orang lain berani memulai.
Karena pada akhirnya, dunia ini adalah panggung besar tempat setiap manusia memainkan lagu kehidupannya sendiri — cepat atau lambat, keras atau lembut, semuanya sah, selama dimainkan dengan hati yang jujur.
Epilog — Pesan dari Seorang Penyimak
Bagi generasi yang tumbuh di tengah bising dunia, lelaki itu meninggalkan pesan sederhana:
Dengarkan hidupmu baik-baik.
Dengarkan orang lain tanpa tergesa menilai.
Dengarkan alam, karena ia sedang berbicara dengan bahasa yang tak perlu diterjemahkan.
Sebab dari kemampuan mendengar lahir kepekaan,
dari kepekaan lahir kepercayaan diri,
dan dari kepercayaan diri lahir mimpi-mimpi besar yang menuntun manusia menuju kualitas hidup yang sejati.
###