Di tengah hiruk-pikuk kampus dan kebebasan baru, ia sempat kehilangan arah.
Musik yang dulu ia cintai terasa dingin, seolah kehilangan ruh.
Namun perlahan, ia menyadari bahwa setiap sistem memiliki logika, dan setiap logika lahir dari budaya yang menciptakannya.
Musikologi, pikirnya, bukan tentang kesempurnaan teknik, melainkan kemampuan memahami mengapa suatu bunyi lahir di tempat dan waktu tertentu.
"Pengetahuan tanpa empati hanyalah kebisingan yang teratur,"
tulisnya suatu kali dalam catatan kecil.
Dari kesadaran itu, ia mulai menulis, berdiskusi, meneliti, dan akhirnya mengajar — bukan sekadar tentang bunyi, tapi tentang manusia yang hidup di balik bunyi.
Largo — Pulang Sebagai Bentuk Pencerahan
Setelah perjalanan panjang, ia kembali ke tanah asalnya.
Segala yang dulu tampak sederhana kini terasa dalam, dan segala yang dulu tampak rumit kini menjadi jernih.
Ia menyusuri kampung-kampung, mendengarkan nyanyian perempuan penenun, tabuhan rebana di malam maulid, dan seruan nelayan yang bersiul sambil menarik jala.
Dari situ, ia menyadari bahwa setiap kebudayaan adalah orkestra besar yang sedang memainkan lagu kehidupannya sendiri.
Dan tugasnya sebagai penyimak hanyalah menjaga agar lagu itu tidak terhenti.
Ia mengumpulkan data, tetapi lebih sering menampung cerita.
Ia mencatat ritme, tetapi lebih sering menulis rasa.
Sebab dalam setiap ketukan, ada makna yang tak bisa diukur oleh teori apa pun.
"Etnomusikologi bukan tentang mencatat bunyi, melainkan memahami bagaimana manusia memberi makna pada bunyi itu."
Scherzo — Dunia yang Tak Lagi Sama
Waktu berjalan, dan dunia berubah.
Teknologi menggantikan ruang sunyi dengan kebisingan algoritma.
Anak-anak muda hidup dalam tempo yang cepat, setiap suara berlomba menjadi viral — namun sedikit yang mau mendengar dengan sungguh-sungguh.
Ia percaya, justru di sinilah pentingnya kembali belajar mendengar.
Mendengar bukan hanya dengan telinga, tapi dengan pikiran dan hati.
Karena mendengar adalah awal dari pengetahuan, dan pengetahuan yang sejati selalu menumbuhkan kebijaksanaan.
Ia sering berkata kepada murid-muridnya:
"Jangan takut hidup lambat. Lambat bukan berarti tertinggal.
Kadang justru itu tempo yang benar untuk menemukan makna."