Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Music

Bram Aceh: Suara Keroncong, Jejak Identitas, dan Arsip Emosional Bangsa

27 September 2025   07:08 Diperbarui: 27 September 2025   07:08 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Album Bram Aceh

Bram Aceh, atau Abraham Titaley, lahir di Kutaraja pada 1913 dan wafat di Jakarta pada 2001. Dari namanya saja sudah tergambar lintasan identitas: darah Ambon yang ia bawa, tanah Aceh yang melekat dalam nama panggungnya, dan keroncong yang menjadi bahasa hidupnya. Dalam perjalanan panjang musik Indonesia, ia bukan hanya seorang penyanyi, tetapi bagian dari arsip sosial yang merekam bagaimana sebuah generasi mendengar, menyanyi, dan berharap.


Suara Bram berbeda. Dengarkan saja "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" atau "Bunga Anggrek" dalam kompilasi rekamannya. Vokalnya bening, tidak terburu-buru, dan mampu menahan nada hingga menciptakan ruang hening yang justru menghadirkan rasa haru. Keroncong menuntut kedisiplinan napas dan kesabaran pada tempo yang lambat. Bram melakukannya tanpa kehilangan ekspresi, seakan ia sedang berbicara dengan pendengarnya, bukan sekadar bernyanyi. Vibrasi suaranya halus, artikulasinya jelas, dan ia tahu kapan harus menahan, kapan harus melepas. Di titik inilah keroncong bukan sekadar musik, melainkan pengalaman rasa.

Ketenangannya dalam menyanyi tidak menutup keberaniannya bereksperimen. Pada 1980-an, ia membentuk kelompok Anggrek Nusantara dengan nuansa Hawaiian. Gitar elektrik dan slide hadir, tetapi keroncong tetap menjadi pondasi. Pilihan itu menunjukkan kesadarannya bahwa musik harus bergerak, tidak boleh hanya terjebak pada romantisme masa lalu. Ia menyeberang batas gaya tanpa kehilangan akar.

Namun perjalanan seorang seniman tidak pernah lepas dari panggung sosial tempat ia tumbuh. Pada 1950-an, Bram aktif mengikuti lomba-lomba keroncong, salah satunya menjuarai Keroncong Jakarta Raya tahun 1955 (P2K STEKOM, n.d.). Saat itu, kompetisi adalah jalan utama untuk mendapatkan pengakuan. Dari situ ia kemudian tampil di hotel-hotel besar, pasar seni seperti Ancol, hingga festival diaspora di Den Haag (P2K STEKOM, n.d.). Kehadirannya di luar negeri menjadikannya semacam duta budaya, meski panggungnya masih dalam kerangka hiburan komersial. Fakta ini menunjukkan betapa musik tradisi selalu mencari ruang hidup di antara kebutuhan hiburan, legitimasi seni, dan diplomasi budaya.


Tetapi ada sisi lain yang perlu dikritisi. Julukan "Si Buaya Keroncong" memang populer, dan Museum Musik Indonesia memasukkan karyanya dalam katalog emas (Museum Musik Indonesia, 2021). Namun pengakuan institusional dari negara masih minim. Jejak dokumentasi tentang dirinya lebih banyak ditemukan di blog, rekaman pribadi, atau kompilasi digital ketimbang arsip resmi. Ini menyingkap celah besar dalam sistem pengarsipan musik di Indonesia: seniman yang pernah mengisi ruang publik dengan suara mereka sering kali hanya dikenang lewat ingatan komunitas, bukan melalui catatan formal yang layak.

Warisan Bram akhirnya dijaga oleh keluarganya. Harvey Malaiholo, cucunya, mempersembahkan empat lagu keroncong untuk mengenang sang kakek pada Hari Musik Nasional 2021 (Liputan6, 2021). Momen itu membuktikan bahwa karya Bram masih bisa menyentuh hati pendengar lintas zaman. Lagu-lagu itu bukan sekadar nostalgia, melainkan pengingat bahwa keroncong bisa terus hidup jika ada yang bersedia menyanyikannya kembali.


Kisah Bram mengajarkan dua hal penting. Pertama, bahwa kualitas musikal lahir dari disiplin dan kesetiaan pada bentuk, sekaligus keberanian untuk membuka diri pada eksperimen. Kedua, bahwa seorang seniman tumbuh bukan hanya karena bakat, tetapi juga karena ruang sosial yang membentuk dan menguji mereka. Dalam diri Bram, kita melihat bagaimana musik keroncong menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara identitas lokal dan ruang global.

Apresiasi terhadap Bram adalah apresiasi terhadap keroncong sebagai bagian dari perjalanan seni pertunjukan Indonesia. Kritiknya adalah pada cara kita, sebagai bangsa, mengingat seniman. Bram tidak boleh hanya hidup dalam kompilasi nostalgia atau ingatan personal. Ia seharusnya juga hadir dalam arsip resmi, dalam ruang belajar, dalam percakapan kritis tentang seni. Dengan begitu, suaranya tidak berhenti sebagai gema masa lalu, tetapi menjadi inspirasi yang menyalakan masa depan.


Daftar Pustaka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun