Amanah Laut, Janji Waktu, Warisan Damai
Wahai tanah Serambi,
wahai rencong yang dulu berlumur darah,
engkau kini duduk dalam diam yang lembut.
Damai adalah tamu yang datang terlambat,
tapi kini ia sudah bersemayam di pangkuanmu.
Jangan engkau halau,
jangan engkau lalaikan,
sebab damai itu titipan,
bukan milik kekal.
Tiga puluh purnama silam,
suara bedil memecah malam.
Anak-anak meninggalkan desa,
guru-guru terbuang ke rantau,
sekolah jadi abu.
Air mata menetes menjadi sungai,
sungai berlari ke laut,
laut mengadu pada angin:
"Mengapa manusia lupa akan sejahtera?"
Maka Helsinki pun lahir,
ibarat janji antara langit dan bumi.
Negeri ini kembali bernapas,
jalan terbuka, sawah hijau kembali,
namun perut rakyat belum penuh.
Dana turun dari pusat,
ratusan triliun mengalir laksana hujan deras.
Tetapi tanahnya gersang oleh tata kelola,
hujan tidak menyuburkan,
hanya membuat lumpur dan genangan.
Hai anak cucu,
ingatlah kisah Arun.
Gunung gas itu meletup ke angkasa,
kilang berdiri tegak,
pipa-pipa laksana ular besi,
menggiring api jauh ke negeri orang.
Negara kaya, devisa berlimpah,
tapi kampung sekitar tetap miskin,
anak-anak tetap lapar.
Itulah sejarah,
ibarat emas dalam genggaman,
tapi tangan masih terikat.
Kini, Laut Andaman membuka rahasia.
Ia berkata dengan suara dalam:
"Di perutku tersimpan gas,
enam TCF dari Layaran,
dua TCF dari Tangkulo.
Aku bukan laut kosong,
aku laksana wadah yang penuh,
aku menunggu manusia yang bijak
untuk mengangkat isi perutku."
Waktu pun ikut bersuara:
"Aku memberimu lima tahun,
lima musim hujan,
lima musim panas.
Gunakanlah aku untuk menyiapkan anak-anakmu.
Ajarlah mereka membaca peta,
menghitung cadangan,
menyalakan kilang.
Jika kau sia-siakan aku,
maka aku akan berlari ke depan,
meninggalkanmu bersama penyesalan."
Dan Dana pun berucap:
"Aku turun dari langit fiskal,
bernama Otsus.
Aku hadir sejak 2008,
aku mengalir triliun demi triliun.
Tetapi aku akan pergi di tahun 2027.
Siapkah engkau tanpa aku?
Kalau engkau bijak,
Gas Andaman akan menjadi penggantiku.
Kalau engkau lalai,
engkau akan kembali mengulangi lapar."
Hai anak cucu,
gas itu bukan semata benda,
ia adalah titipan Allah.
Seperti garam yang melarutkan rasa,
seperti air yang menyejukkan dahaga,
gas adalah amanah.
Jika adil, maka ia berkah.
Jika serakah, jadilah ia kutukan.
Ingatlah, dunia penuh contoh,
negeri-negeri kaya minyak
justru miskin akal dan adil.
Korupsi menari di atas pipa,
konflik lahir dari perut bumi.
Aceh janganlah begitu.
Aceh harus berbeda.
Maka jangan ulangi luka Arun.
Bangunlah sekolah, bukan bara.
Panggillah kembali anak-anak pintar
yang kini merantau ke Jawa dan Malaysia.
Tawarkan kepada mereka tanah yang subur,
usaha yang berkembang,
masa depan yang terhormat.
Jadikan mereka tuan di rumah sendiri.