Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meugang Terakhir di Tanah Migas

28 Agustus 2025   13:16 Diperbarui: 28 Agustus 2025   13:21 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rahman menjejakkan kakinya di tanah basah Aceh Timur-Utara, pagi itu. Hujan semalam masih menetes dari pucuk daun kelapa, mengalir ke tanah becek di halaman meunasah. Bau rumput dan tanah bercampur dengan aroma kopi hitam yang baru diseduh oleh ibunya. Dari dapur, suara ulekan bumbu bercampur dengan detak jantungnya yang belum tenang.

"Rahman, jangan lupa nanti singgah ke rumah Geuchik (Kepala desa/gampong). Dia sudah tunggu kamu sejak kemarin," suara ibunya terdengar dari balik tirai.

Ia mengangguk. Matanya menatap jalan tanah menuju sawah. Di kejauhan, terdengar rapa'i ditabuh anak-anak muda, memanggil semangat yang sudah berabad-abad menegakkan identitas mereka. Tapi bagi Rahman, bunyi itu bukan hanya semangat, melainkan juga luka. Setiap kali rapa'i bergema, ingatannya terlempar ke masa kecil: malam penuh tembakan, rumah-rumah terbakar, dan ayahnya yang tidak pernah kembali.

Hari itu ia berangkat dengan motor butut ke gampong tetangga. Undangan resmi perusahaan migas membawanya pulang dari perantauan. Ia ditugaskan memetakan adat, tradisi, dan sensitivitas budaya masyarakat di sekitar wilayah operasi. Baginya, ini bukan sekadar pekerjaan akademik, melainkan perjalanan batin: menghadapi bunyi-bunyi masa lalu yang masih berdetak di tubuhnya.

Geuchik menunggu di serambi rumah panggung. Wajahnya teduh, garis kerut di dahi menandai puluhan tahun menjaga gampong dari badai konflik hingga bencana alam.

"Kamu anak Rahim, ya? Dulu bapakmu suka ikut rapat Tuha Peut (tetua gampong) di meunasah. Sekarang kau pulang untuk mencatat adat? Bagus. Tapi ingat, adat bukan sekadar ditulis. Dia harus dihidupi," ucap Geuchik, sambil menyeruput kopi.

Rahman menunduk. Ia merasakan ada beban yang diturunkan kepadanya: tugas tidak hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk roh-roh yang pernah tertindas di tanah ini.

Di malam berikutnya, Rahman menghadiri kenduri blang (perayaan panen). Di pinggir sawah, warga duduk bersila. Nasi gurih, kuah plik'u, dan ikan kering dihidangkan di atas daun pisang. Seorang teungku dayah memimpin doa, lalu air percikan dihamburkan ke tanah, tanda permohonan keselamatan bagi panen yang akan datang.

"Beginilah kami menjaga sawah. Bukan hanya pupuk yang penting, tapi doa bersama. Kalau perusahaan migas mau membantu, jangan hanya kasih uang. Hormati dulu doa kami," bisik seorang petani tua kepadanya.

Rahman menulis cepat di buku catatannya. Namun yang tertulis tak mampu menampung denting rapa'i kecil yang mengiringi doa, atau tatapan anak-anak muda yang ikut makan dengan mata berbinar. Di balik kesederhanaan, ada bahasa solidaritas yang tak bisa diterjemahkan ke dalam laporan statistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun