Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dari Cangkir Kopi ke Global Citizenship: Warkop sebagai Ruang Belajar Alternatif

21 Agustus 2025   20:48 Diperbarui: 21 Agustus 2025   20:50 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi budaya dan atraksi seni interaktif di EWC Circle Lawn, menampilkan proses penyajian kopi ala Aceh.  (Muhibah Seni USK, Hawai'i, 2012)

Budaya ngopi di Aceh bukan hanya cara melepas penat, melainkan identitas sosial yang kian membentuk laboratorium intelektual. Di Banda Aceh, ritme "ngopi" sudah menjadi bagian keseharian, terutama bagi mahasiswa. Data resmi mencatat lebih dari 300 warung kopi atau kafe berizin, sementara estimasi lapangan menunjukkan jumlah sebenarnya bisa mencapai hampir 3.000 gerai. Fakta ini menguatkan julukan "kota 1001 warkop" sebagai ruang sosial dan intelektual yang nyata.

Di meja kopi, percakapan santai bersinggungan dengan diskusi akademik maupun politik. Tugas kuliah bercampur dengan narasi sosial, dan pertemanan lintas kampus terbentuk tanpa sekat formal. Warkop legendaris seperti Solong di Ulee Kareng menjadi semacam monumen budaya ngopi yang melampaui fungsi konsumsi—ia adalah titik temu gagasan sekaligus memori kolektif.

Jika ditilik dari literatur internasional, praktik belajar di ruang informal seperti ini sejalan dengan konsep third space. Konsep ini menekankan bahwa mahasiswa berkembang bukan hanya di kelas, tetapi juga di tempat-tempat yang memfasilitasi interaksi sosial, kolaborasi, dan refleksi. Meta-analisis mutakhir menunjukkan bahwa pembelajaran aktif—termasuk diskusi bebas dan peer learning—secara konsisten meningkatkan capaian akademik sekaligus menurunkan angka kegagalan. Mahasiswa yang mengasah self-regulated learning melalui perencanaan, pemantauan, dan refleksi justru menemukan bahwa ruang semacam warkop mendukung kemandirian belajar mereka.

Kebaruan konteks Aceh memberi arah baru: keberadaan ratusan hingga ribuan warkop memungkinkan universitas meninjau ulang orientasi pembiayaan. Alih-alih membangun infrastruktur fisik yang berat dan mahal, universitas dapat memfasilitasi ruang publik yang sudah hidup dalam masyarakat. Model ini tidak hanya hemat biaya, melainkan juga memberdayakan—pemilik warkop, komunitas, dan mahasiswa diposisikan sebagai mitra sejajar dalam ekosistem pendidikan tinggi. Dengan begitu, universitas dapat mengalihkan anggaran besar ke peningkatan mutu riset, kapasitas dosen, dan pembinaan mahasiswa.

Dalam konteks pendidikan seni, gagasan ini bahkan lebih relevan. Laboratorium yang ideal bagi seniman tidak selalu berupa gedung baru, melainkan laboratorium natural yang sudah dimiliki di luar kampus: studio pribadi, sanggar, galeri, atau ruang pertunjukan alternatif. Universitas dapat mengambil peran sebagai fasilitator, membuka akses mahasiswa untuk belajar langsung dari praktik profesional, sekaligus menata sistem akademik agar pengalaman itu sahih secara ilmiah. Dengan cara ini, pembelajaran seni menjadi lebih utuh—menyatukan teori, praktik, dan konteks sosial budaya—serta menempatkan mahasiswa bukan sekadar sebagai penerima ilmu, melainkan pengolah pengalaman nyata dalam ekosistem seni yang dinamis.

Kedai Kopi sebagai Thinking Space

Bagi banyak mahasiswa di Banda Aceh, warkop berfungsi sebagai thinking space—ruang belajar nonformal yang produktif. Fasilitas seperti Wi-Fi, pencahayaan yang cukup, serta suasana santai membuat aktivitas belajar terasa lebih cair dibandingkan atmosfer perpustakaan yang kaku. Tidak sedikit mahasiswa yang mengaku lebih mudah menulis, berdiskusi kelompok, atau merumuskan ide riset di meja kopi ketimbang di ruang kelas formal.

Fenomena ini bersinggungan langsung dengan ekosistem ekonomi kreatif. Pemerintah Kota Banda Aceh bahkan menempatkan warkop sebagai salah satu pilar penggerak ekonomi lokal. Estimasi pengeluaran masyarakat untuk ngopi mencapai triliunan rupiah per tahun. Dengan demikian, warkop tidak sekadar menjadi tempat singgah, tetapi juga arena berbagi gagasan, membangun jejaring, hingga merancang inisiatif bersama.

Dalam perspektif pendidikan tinggi, warkop dapat dipahami sebagai perpanjangan tangan universitas. Ia menghadirkan kampus terbuka yang inklusif, egaliter, dan melampaui sekat status sosial. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi maupun latar belakang ekonomi dapat duduk bersama membicarakan tugas, politik, atau wacana kebudayaan. Di titik ini, warkop menegaskan diri sebagai public sphere yang nyata—ruang belajar yang tidak dibatasi dinding kelas, melainkan diperkuat oleh interaksi sosial dan kolaborasi lintas identitas.

"Kupi Khop" Meulaboh.  "Khop" berarti terbalik atau terkelungkup, mengacu pada cara penyajiannya. 

Titik Kritis: Ketika Warkop Tak Lagi Mendidik

Potensi warkop sebagai ruang belajar produktif tidak hadir tanpa sisi gelap. Fungsi sosial yang seharusnya menopang pembelajaran sering kali tergeser oleh perilaku eskapisme. Razia Satpol PP terhadap pelajar dan ASN yang nongkrong saat jam belajar maupun jam kerja memperlihatkan rapuhnya budaya ngopi di Banda Aceh: meja kopi yang idealnya menjadi arena diskusi justru berubah menjadi simbol ketidakdisiplinan.

Asap rokok menghadirkan paradoks lain. Qanun Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tahun 2020 dirancang untuk melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari paparan asap. Namun lemahnya implementasi membuat banyak warkop tetap dipenuhi kabut rokok. Alih-alih mendukung proses belajar, ruang yang seharusnya sehat itu justru mereproduksi kebiasaan yang bertentangan dengan semangat pendidikan.

Kebisingan juga tidak bisa diabaikan. Penelitian menunjukkan tingkat kebisingan di sejumlah warkop Banda Aceh mencapai 74--83 dB(A), melewati ambang batas aman untuk zona jasa. Kondisi ini jelas mengganggu konsentrasi mahasiswa, apalagi mereka yang tengah merancang gagasan kompleks atau membaca literatur akademik.

Pemerintah Kota merespons dengan kebijakan pembatasan jam operasional, yang mewajibkan warkop tutup pukul 00.00 WIB. Tujuannya menjaga ketertiban umum, karena aktivitas malam yang berlebihan sering kali memicu keramaian tak terkendali. Akan tetapi, kebijakan ini juga memperlihatkan bahwa ruang kuliah publik berbasis warkop bisa kehilangan daya edukatifnya bila tidak dibingkai kesadaran kolektif.

Singkatnya, warkop hanya akan tetap relevan sebagai laboratorium intelektual jika mahasiswa, pengelola, dan pemerintah bersama-sama menegakkan etika belajar serta pola hidup sehat. Tanpa itu, warung kopi sekadar berubah menjadi tempat singgah yang bising dan penuh asap—jauh dari cita-cita sebagai thinking space atau ruang kuliah publik yang bermakna.

Sinkronisasi dengan Literatur Internasional tentang Learning Spaces dan Sikap Belajar

Gagasan warkop sebagai ruang belajar non-formal menemukan pijakan yang kuat dalam literatur internasional. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ruang informal dapat berfungsi sebagai katalis pembelajaran, bahkan melampaui batas ruang kelas formal. Studi di Bandung, misalnya, menemukan bahwa kafe dapat menjadi informal learning space (ILS) yang efektif. Penelitian tersebut mengidentifikasi enam motif belajar mahasiswa—mulai dari kebutuhan ketenangan, akses internet, hingga interaksi sosial—serta tujuh karakteristik fisik yang mendorong respons kognitif dan afektif positif. Faktor seperti ketersediaan Wi-Fi, pencahayaan yang memadai, dan suasana nyaman terbukti meningkatkan performa belajar.

Temuan itu sejalan dengan riset internasional yang menyoroti pergeseran fungsi ruang informal di kampus—seperti atrium, koridor, dan kafe—menjadi lokasi belajar yang sosial sekaligus katalitik. Desain ruang yang adaptif dan fleksibel memperkuat pengalaman mahasiswa, membangun komunitas belajar, dan mendorong kolaborasi lebih erat. Dengan demikian, ruang informal bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian integral dari ekosistem pendidikan tinggi modern.

Preferensi mahasiswa terhadap ruang belajar juga dipengaruhi oleh sejumlah aspek fisik. Studi lintas negara menegaskan bahwa pencahayaan, akses internet, suhu nyaman, fleksibilitas tata ruang, keterbukaan, dan hierarki ruang merupakan faktor penentu produktivitas. Menariknya, hampir semua elemen ini sudah tersedia di warkop Banda Aceh. Artinya, warung kopi sebenarnya memiliki potensi besar untuk berfungsi sebagai ruang belajar alternatif, dengan catatan pengelolaannya diarahkan pada kebermanfaatan akademik dan sosial.

Namun, keberadaan ruang belajar tidak cukup tanpa sikap belajar yang tepat. Literatur internasional menekankan pentingnya active learning, yaitu metode yang menuntut partisipasi aktif mahasiswa. Meta-analisis menunjukkan bahwa pendekatan ini bukan hanya meningkatkan performa akademik, tetapi juga menurunkan angka kegagalan, terutama dalam bidang sains dan teknologi. Dalam konteks warkop, active learning bisa diwujudkan melalui diskusi, presentasi kecil, atau riset lapangan yang dibicarakan secara santai.

Selain itu, collaborative learning menjadi elemen kunci. Diskusi kelompok kecil di ruang informal justru memicu pemahaman lebih dalam, memperkuat retensi, dan menumbuhkan pola belajar berbasis komunitas. Hal ini selaras dengan konsep learning communities, di mana keterlibatan sosial dan akademik saling berkelindan, sehingga mahasiswa merasa memiliki kebersamaan dan keberlanjutan dalam proses belajar.

Lebih jauh, gagasan global citizenship education (GCE) menambahkan dimensi etis. Sikap pembelajar ideal tidak hanya mencakup kemampuan berpikir kritis, tetapi juga keterhubungan sosial, penghargaan terhadap keberagaman, serta tanggung jawab terhadap isu lokal dan global. Bagi mahasiswa di Aceh, diskusi yang berlangsung di warkop bisa menjadi arena refleksi tentang keadilan sosial, demokrasi, atau masa depan kebudayaan. Dengan begitu, warkop berfungsi bukan sekadar sebagai tempat ngopi, tetapi sebagai perpanjangan tangan kampus yang mengasah kapasitas akademik sekaligus menguatkan kesadaran sebagai warga dunia.

Dari Literatur ke Konteks Lokal: Efisiensi dan Laboratorium Sosial

Seluruh temuan dari literatur internasional tadi memperlihatkan bahwa pembelajaran tidak selalu harus berpusat di ruang kelas formal. Ruang informal bisa sama pentingnya, bahkan dalam banyak kasus lebih relevan dengan kebutuhan mahasiswa masa kini. Di sinilah letak kebaruan gagasan warkop sebagai "ruang kuliah publik." Ia menawarkan efisiensi yang sulit disaingi kampus.

Jika kampus perlu mengalokasikan anggaran miliaran rupiah untuk membangun ruang diskusi lengkap dengan akses internet, pendingin ruangan, serta pencahayaan ideal, maka warkop sudah menyediakannya dengan biaya sosial yang jauh lebih rendah. Mahasiswa cukup memesan secangkir kopi atau teh untuk mendapatkan ruang yang fungsional, dengan fasilitas dasar yang memadai. Model ini bukan hanya mengurangi beban kampus dalam menyediakan semua jenis ruang belajar, tetapi juga menekan biaya pribadi mahasiswa. Akibatnya, akses pendidikan tinggi terasa lebih inklusif dan egaliter.

Lebih dari sekadar efisiensi biaya, warkop menghadirkan apa yang bisa disebut sebagai laboratorium sosial. Di sini, mahasiswa tidak hanya bertemu dengan sesama mahasiswa, melainkan juga dengan masyarakat luas—pedagang, pekerja, jurnalis, hingga aktivis yang menjadikan warkop sebagai basis diskusi. Lingkungan semacam ini memperluas cakrawala belajar. Mahasiswa dilatih memahami keragaman perspektif, mengenali dinamika sosial secara langsung, dan merespons isu nyata yang hadir di sekitarnya. Dalam kerangka global citizenship education yang dibicarakan literatur internasional, pengalaman ini sangat berharga karena menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial yang tidak bisa dipelajari hanya dari ruang kelas.

Namun, laboratorium sosial ini hanya akan berfungsi jika dihidupi oleh sikap terbuka dan rasa saling percaya. Keduanya memang sulit ditemukan di tengah kehidupan sosial yang semakin terpolarisasi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Justru karena itulah, warkop menjadi arena latihan yang nyata. Mahasiswa belajar mendengar tanpa tergesa menghakimi, menguji argumen dengan jernih, dan menghargai perbedaan tanpa kehilangan integritas akademiknya.

Dengan kata lain, warkop bukan sekadar substitusi murah dari ruang belajar formal, melainkan juga arena pembelajaran yang memperkaya. Ia mengajarkan mahasiswa bagaimana hidup di tengah masyarakat, bagaimana menyaring informasi, bagaimana menguji argumen dalam percakapan sehari-hari, serta bagaimana menumbuhkan sikap kritis dalam situasi non-ideal. Jika dikelola dengan kesadaran produktif, warkop dapat menjadi pelengkap strategis kampus—sebuah ruang belajar yang lentur, hidup, efisien, dan sekaligus menumbuhkan kebajikan sosial yang amat dibutuhkan untuk menghadapi zaman yang kian kompleks.

"Ngarabica" (Tanoh Gayo, 2015)

Dari gambaran warkop sebagai laboratorium sosial, kita bisa melihat bahwa praktik belajar mahasiswa di Aceh tidak berdiri sendiri. Ia terhubung dengan literatur internasional tentang ruang belajar informal, active learning, collaborative learning, komunitas belajar, hingga pembentukan karakter pembelajar global.

Dengan demikian, warkop dapat dibaca sebagai praktik berlapis. Ia berakar kuat pada keseharian lokal, tetapi sekaligus sejalan dengan wacana global tentang demokratisasi ruang belajar. Empiris karena lahir dari aktivitas nyata, teoritis karena sesuai dengan kerangka pembelajaran modern, dan normatif karena menumbuhkan kesadaran sosial yang lebih luas.

Pada akhirnya, warkop bukan hanya tempat minum kopi. Ia adalah ruang kuliah publik yang lentur, terbuka, dan relevan untuk menjawab tantangan lokal, nasional, maupun global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun