Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri Tanpa Emosi

17 Agustus 2025   03:57 Diperbarui: 17 Agustus 2025   03:57 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi, TIM Jakarta (sekitar 2014)

Bagian I

Di negeri bernama Sejiwaland, seni tidak lahir dari keresahan jiwa, melainkan dari fotokopi berstempel basah. Pertunjukan wayang kulit bisa bubar hanya karena dalang salah menulis nomor seri formulir. Seorang penyair ditahan karena bait puisinya terlalu pendek—"merugikan negara" katanya, sebab tidak memenuhi kuota kata minimum.

Negeri ini punya pejabat paling berkuasa: Pak Grafikus, Direktur Perhitungan Emosi. Perutnya bulat, wajahnya pucat, dasinya selalu terlalu ketat seperti hendak mencekik dirinya sendiri. Ia membawa kalkulator model lama, diberi nama Murni, satu-satunya sahabat yang tidak pernah membantah hasil perhitungannya.

Ia percaya angka lebih suci daripada doa. "Jika tidak bisa dihitung, itu bukan seni," katanya dalam setiap rapat.

Maka lahirlah aturan: setiap air mata penonton dipungut pajak—seribu rupiah per tetes. Petugas berdiri di teater dengan tabung ukur kecil, siap menadah pipi penonton. Jika seseorang meneteskan lebih dari lima belas butir air mata, ia bisa dikenai denda karena "over-ekspresi."

Tawa pun diawasi. Ada radar bernama Alat Ukur Keceriaan Nasional yang berbunyi bip setiap kali seseorang tertawa lebih dari delapan detik. Mereka yang ketahuan akan dikirim ke program penyelarasan emosi: kursus wajib tiga bulan untuk melatih tertawa sesuai standar—ramah tapi tidak terlalu bahagia, sedih tapi tetap terukur.

Malam-malam, Pak Grafikus bermimpi stadion penuh grafik batang yang bersorak. Di mimpi itu, ia berdiri gagah di panggung, disambut lautan bar chart yang bertepuk tangan. Hanya dirinya yang tak sadar, penonton manusia sudah lama pergi.

Bagian II

Di pojok kota, sekelompok musisi kampung bernama Orkes Kopi Susu mencoba bertahan. Mereka menyanyi tentang sawah tergadai, utang menumpuk, dan cinta salah alamat. Tapi untuk sekadar bermain di teras warung kopi, mereka harus mengurus izin setebal kitab suci dan membayar royalti kepada Badan Perlindungan Lagu yang Tidak Diketahui Penciptanya.

Gitaris mereka, Darman, hampir melempar gitarnya ke sungai ketika tahu lagu ciptaannya sendiri sudah dikunci oleh arsip digital negara. Jika ingin menyanyikan, ia harus menyewa izin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun