Percakapan ini penting karena ia mengingkari kepalsuan. Ia menyuarakan hal-hal yang selama ini disenyapkan: disleksia, kekerasan seksual, pengetahuan lokal, demokrasi prosedural, dan kesedihan etnis. Semua itu diangkat tanpa kemarahan, tanpa manipulasi air mata, tapi dengan keheningan yang menghantam.
Apa yang disenyapkan hari ini bisa menjadi kader pemikiran besar esok. Suara perempuan yang selama ini dianggap pelengkap, bisa menjadi fondasi filsafat baru. Pengalaman minoritas yang dianggap tak penting, bisa mengubah arah bangsa. Dongeng yang pernah menyelamatkan satu anak disleksik, bisa menginspirasi sistem pendidikan. Subjektivitas yang dulu dikecam sebagai bias, bisa menjadi sumber ilmu yang paling jujur.
Maka, esai ini hanyalah gema dari satu percakapan yang terlalu penting untuk dibiarkan tenggelam. Ia adalah ajakan untuk mendengar lebih dalam, lebih lambat, dan lebih jernih. Karena di tengah deru publik yang makin riuh dan banal, percakapan seperti ini adalah oase. Dan betapa menakjubkan, bahwa semua ini lahir dari kesunyian yang dipelihara dengan lembut oleh seorang profesor purnabakti dan seorang ilmuwan teknik yang bersedia mendengarkan.
Baca juga: Tubuh yang Menari, Zaman yang Dibaca
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI