Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Tak Dibayar oleh Sejarah,Tapi Membayar Mahal untuk Keadilan

11 Juli 2025   23:46 Diperbarui: 12 Juli 2025   13:12 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melani Budianta  (Dokumentasi AMINEF, 2012)

Salah satu kritik paling tajam yang dilontarkan Prof. Melani adalah terhadap sistem ranking dan penilaian akademik global. Q1, Scopus, Nature, dan seluruh tata kelola pengakuan yang menjadi standar tunggal di dunia pengetahuan negara ini. Bagi Prof. Melani, sistem ini tumbuh dari logika kolonial dan kapitalistik—yang mengukur pengetahuan bukan dari kebermaknaan sosial atau kedalaman refleksi, tetapi dari jumlah sitasi, indeks, dan afiliasi institusional. Logika ini menyuburkan produksi pengetahuan yang steril, berjarak dari kehidupan, dan tunduk pada pasar. Yang tersingkir adalah pengalaman lokal, pengetahuan lisan, tafsir minoritas, dan praktik sosial yang tidak bisa dikodekan dalam kerangka epistemik Barat.

Di sinilah Prof. Melani mengangkat pentingnya pengetahuan vernakular. Ia menyebut melumbung dan sasi sebagai bentuk ilmu sosial, ekonomi, dan ekologi sekaligus. Keduanya adalah bentuk pengetahuan yang telah teruji oleh waktu dan konteks, tetapi tetap saja tak diakui sebagai ilmu dalam logika akademik formal. Mengapa? Karena ia tidak diterbitkan di jurnal bereputasi, tidak dirumuskan dalam bahasa Inggris, dan tidak diklaim oleh universitas besar.

Penolakan Prof. Melani terhadap dikotomi ilmu vs. bukan ilmu bukanlah romantisasi lokalitas. Ia sedang membongkar ketimpangan epistemik yang membuat hanya satu cara berpikir yang sah, dan yang lain dianggap tahayul. Pengetahuan adalah soal keberlanjutan hidup, kebermaknaan sosial, dan keberanian untuk mengakui bahwa cara kita berpikir selama ini telah menyingkirkan begitu banyak suara dan pengalaman.

Demokrasi Baru: Melumbung, Komoning, dan Praktik Partisipatif

Prof. Melani mengusulkan agar kita melihat kembali pada praktik-praktik sosial seperti melumbung dan komoning—dua konsep yang berasal dari kehidupan masyarakat lokal, tapi menyimpan nilai-nilai demokrasi yang sangat relevan dan mendesak hari ini. Melumbung adalah bentuk kolektif penyimpanan hasil panen, yakni: ruang fisik dan sosial yang menampung kelebihan untuk dibagi saat kekurangan. Komoning adalah sistem pertimbangan bersama—bukan hanya musyawarah dalam pengertian prosedural, tetapi ruang intersubjektif yang menjunjung pertimbangan batin dan kebijaksanaan bersama.

Berangkat dari situ, Prof. Melani menantang kita semua: apakah demokrasi yang kita anut sekarang benar-benar demokratis? Demokrasi yang hanya mengandalkan pemilu lima tahunan, legalitas prosedural, dan suara mayoritas sering kali melupakan dimensi substantifnya: keadilan sosial, partisipasi sejati, dan keberpihakan pada yang lemah. Ia menyebut bentuk demokrasi kita hari ini sebagai "minimalis dan elitis."

Melumbung dan komoning menawarkan model partisipasi yang bukan berangkat dari kompetisi, tetapi dari rasa cukup dan saling jaga. Bukan tentang siapa yang menang, tapi bagaimana semua bisa hidup. Di sinilah demokrasi dipulihkan sebagai praksis hidup bersama, bukan sekadar sistem pemerintahan.

Trauma Mei 1998: Tubuh, Identitas, dan Pengakuan

Prof. Melani mengakui bahwa dirinya sebagai perempuan Tionghoa pernah menginternalisasi rasisme Orde Baru. Sebelum 1998, ia telah tanpa sadar menerima logika dominan yang menstigmatisasi etnisnya sendiri. Pengakuan ini bukan kelemahan, melainkan keberanian moral yang luar biasa: mengakui bahwa kolonialisme tidak hanya datang dari luar, tapi bisa tumbuh dalam batin kita sendiri.

Prof. Melani juga menyinggung kekerasan seksual massal yang menimpa perempuan—khususnya yang berpenampilan Tionghoa—sebagai bagian dari strategi teror. Kekerasan itu tidak acak; ia adalah bagian dari ordonansi sistemik yang menjadikan perkosaan sebagai alat politik. Menaruh subjek luka ke dalam narasi publik adalah tindakan etis dan bagian dari rekonstruksi sejarah: menjadikan mereka yang selama ini dianggap korban pasif sebagai subjek yang punya suara dan pengalaman.

Dialog Antardisiplin: Peran Host, Mas Bagus Muljadi

Peran Mas Bagus Muljadi patut diberi tempat khusus dalam esai ini. Ia tidak hadir sebagai pewawancara yang mengajukan daftar pertanyaan, tetapi sebagai penjelajah yang membuka jalan—dengan empati, ketelitian, dan kehadiran yang utuh dalam percakapan itu. Latar belakangnya sebagai ilmuwan teknik dan lingkungan membuatnya mampu menjembatani dunia sains, sastra, dan etika sosial tanpa mereduksi salah satunya.

Gaya bertanya Mas Bagus menunjukkan sensitivitas terhadap ritme narasi Prof. Melani. Ia memberi ruang bagi jeda, emosi, dan pemaknaan. Di tengah kebiasaan publik yang ingin cepat simpulkan dan pindah ke isu berikutnya, Mas Bagus justru mengajak kita duduk lebih lama. Diam lebih dalam. Mendengar lebih sungguh. Ia menjadi fasilitator ruang sunyi yang produktif.

Ketika Diam Menolak Lupa dan Mendengar Menjadi Perlawanan

Chronicles #19 bukan sekadar percakapan. Ia adalah ruang di mana suara tidak perlu berteriak untuk terdengar, dan gagasan tak perlu dikemas mewah untuk menjadi bermakna. Prof. Melani menunjukkan bahwa subjektivitas bukan musuh ilmu, melainkan fondasi dari empati, keberanian, dan demokrasi yang manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun