Sebagai negara demokrasi dengan kebebasan berpendapat, masyarakat di Indonesia ahli dalam memberi pendapat di segala aspek kehidupan, dari tetangga rumah hingga negara tetangga. Komentar-komentar masyarakat tersebar luas di negeri kita tercinta ini, baik offline maupun online yang kita kenal sebagai spesies bernama netizen. Komentar-komentar ini tidak sepenuhnya negatif, bahkan jika Kita amati, tak jarang komentar, kritik bahkan saran membangun yang muncul dari masyarakat Kita yang terkenal dengan kebebasan berekspresi nomor satu di dunia. Maka tak heran jika banyak ahlinya ahli di antara Kita.
Dalam pandangan penulis, ada satu aspek yang tak henti-hentinya menjadi trending topic dalam jagat gonjang ganjing diskusi interaktif di Indonesia. Aspek tersebut adalah Pendidikan, hal yang dewasa ini terasa penting tapi tidak mendapatkan perubahan penting, dan bahkan tak sedikit manusia yang mengganggap bahwa pendidikan atau sekolah itu tidak penting. Pembahasan ini sebagai bentuk merayakan Hari Pendidikan Nasional di bulan depan, yang jatuh pada hari Senin, 2 Mei 2022.
Basically, Penulis sendiri bukanlah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, jadi secara basic, Penulis tidak terlalu faham dengan system pendidikan dan teknik pengajaran. Akan tetapi, sebagai seorang mahasiswa yang merupakan salah satu bagian dari dunia pendidikan, yang tentu merasakan dan melihat secara langsung terhadap kelemahan dalam dunia Pendidikan di Indonesia, baik selama menempuh sekolah dasar dan menengah selama enam tahun, dan berbagi informasi dengan pelaku dalam pengembangan pendidikan. Dari yang penulis alami dan informasi yang didapat, tentu ada sebuah keinginan untuk mengemukakan pendapat, sebagaimana netizen yang lain.
Agar tulisan ini tidak terkesan ngawur, Penulis akan mengutip UUD '45 BAB XIII tentang Pendidikan pasal 31, ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Isi dari undang-undang ini sangat jelas, dan tidak perlu menjadi seorang Proffesor di bidang hukum untuk memahaminya. Dari dua pasal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah wajib memberikan hak pendidikan dengan menyelenggarakan pengajaran yang diatur oleh sistem dan undang-undang. Bahasa simpelnya, setiap Warga Negara Indonesia berhak menikmati pendidikan sebagai haknya tanpa adanya gangguan dan kendala. Akan tetapi, hingga detik ini pendidikan masih belum merata di Indonesia, terlebih lagi di daerah-daerah yang jauh dari pusat keramaian.
Sewaktu masih bersekolah, Penulis menganggap bahwa pendidikan di Indonesia sudah merata dan dapat dinikmati oleh semua kalangan, mungkin ini efek dari domisili Penulis yakni di Desa Sumber Kalong, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso. Desa sumber kalong sangat  dekat dengan pusat Kecamatan, dan teman-teman Penulis di rumah pun semuanya menikmati manisnya sekolah. Namun, pandangan ini berubah ketika Penulis sudah berstatus sebagai mahasiswa di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember. Se mager-magernya mahasiswa, pasti memiliki pemikiran kritis terhadap sesuatu yang ada di depannya, salah satunya pendidikan.
Perubahan pandangan ini disebabkan atas informasi-informasi yang didapat dari berbagai sumber, baik dari kalangan tenaga pengajar maupun sesama mahasiswa. Tidak meratanya pendidikan di Indonesia dapat ditemui di daerah-daerah yang jauh dari pusat keramaian, atau yang lebih familiar dengan istilah pelosok desa. Di pedesaan terpencil, salah satu tanda tidak meratanya pendidikan adalah rendahnya angka pendidikan anak-anak, yang hanya mentok SD, jikala ada yang sampai SMA atau Sarjana, dapat dipastikan anak tersebut lahir dari Keluarga berada atau dimondokkan ke Pesantren selepas tamat sekolah dasar.
Melihat fenomena rendahnya angka pendidikan di pedesaan, penulis akan mencoba menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut ialah, (1). Pola pikir, (2). Fasilitas, dan (3). Lokasi.
1. Pola pikir
Secara psikologi, pola pikir merupakan suatu keyakinan organisme/individu dalam memandang dan membangun dunia dan diri sendiri. Psikolog Carol Dweck berpendapat, bahwa "keyakinan Anda memainkan peran penting apa yang anda inginkan dan apakah Anda dapat mencapainya". Jadi, secara psikologi, seseorang akan berhasil terhadap pekerajaannya jikalau Ia meyakini akan keberhasilan tersebut. Dan begitupun sebaliknya, jika keyakinan sudah tidak ada, maka keberhasilan pun tentu akan minim, sebab dari keyakinan ini semangat serta optimisme akan tumbuh.
Kembali pada pola pikir masyarakat pedesaan akan pentingnya sebuah pendidikan. Masyarakat pedesaan memiliki pola pikir yang tetap kuno, seperti buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau tetap menganggur, kalau tetap bekerja di sawah, kalau tetap tidak hidup mapan. Dan buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau kalau berakhir di dapur juga, bagi wanita. Sebagaimana pengertian pola pikir, yakni keyakinan dalam memandang dan membangun dunia, maka pola pikir seperti ini menjadi penghambat dalam meningkatnya kualitas dan meratanya pendidikan di Indonesia. Sebab, tidak ada optimisme dalam pola pikir masyarakat pedesaan.
2. Fasilitas
Menurut KBBI, fasilitas merupakan sebuah sarana yang diciptakan untuk melancarkan suatu pekerjaan atau suatu program. Jika pendidikan adalah tujuan, maka fasilitasnya adalah sekolah. Semua setuju jika banyak sekolah-sekolah berkualitas di Indonesia, bahkan dalam satu kabupaten, Kita bisa mencarinya dengan mudah, baik sekolah swasta atau negeri. Namun, di daerah-daerah pedesaan, tidak ada sekolah favorit, sebab sekolah hanya ada satu bagi sebuah Sekolah Dasar, atau tiga yang tersebar di dusun berbeda.
Bukan bermaksud memberi komentar negatif, akan tetapi sudah menjadi rahasia umum jika sekolah-sekolah di pedesaan dianggap sebagai sekolah yang tidak maju. Anggapan ini bukan tanpa alasan, sebab sedikitnya siswa dan siswi, minimnya fasilitas yang disediakan sekolah dan rendahnya prestasi menjadi sebab munculnya anggapan ini. Namun, anggapan ini tidak penting, sebab para tenaga pengajar di sekolah-sekolah pedesaan patut diapresiasi. Sebab, segala kekurangan yang dimiliki sekolah tidak menyurutkan semangat dalam mentransfer ilmu.
Kendala sesungguhnya dalam penghambat meratanya pendidikan terletak pada jenjang sekolah menengah. Mengapa kendala muncul di sekolah menenagah? Kembali pada pola pikir masyarakat, di pedesaan tidak sedikit yang memilih tidak melanjutkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dengan berbagai alasan, yang mungkin salah satunya adalah ekonomi. Selain alasan lainnya, SMP berbeda dengan SD yang ada di setiap Desa, SMP cenderung berdiri 1 buah dalam satu kecamatan. Dan dalam beberapa kasus, masih banyak daerah-daerah yang jauh dari SMP terdekat, yang kemudian memunculkan problem baru, yakni jarak dan waktu.
3. Lokasi
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa sekolah menengah cenderung berlokasi di pusat keramaian, dan jauh dari pedesaan. Jauhnya lokasi berpengaruh terhadap waktu tempuh menjadi lebih lama, yang berpengaruh terhadap kurangnya minat masyarakat untuk melanjutkan putera-puterinya ke sekolah menengah.
Mungkin muncul pernyataan, jarak bukan penghambat pendidikan. Ya, Penulis pun setuju. Akan tetapi, tidak semua masyarakat di Pedesaan menggunakan mindset ini, bahkan mindset yang tersebar luas bagi masyarakat pedesaan, khususnya di daerah penulis sendiri adalah Tak usa u jheu a sakola (Tidak perlu jauh-jauh untuk bersekolah, baca Madura). Jarak dan waktu tempuh menjadi pembatas bagi masyarakat desa, sebab jika sang anak ingin berskolah, maka orangtua yang harus mengantarnya, karena jarak yang jauh, orangtua akan terlambat bekerja gara-gara mengantar anak bersekolah. Ada satu solusi, belikan anak itu sepeda, orangtua di pedesaan jelas tidak setuju dengan solusi ini, sebab membelikan sepeda harus mengeluarkan uang ekstra, dan bisa membuat anak lebih sering keluar. Akhirnya, orangtua memilih untuk tidak melanjutkan anaknya bersekolah, dan membawa anaknya bekerja di ladang.
Ketiga faktor di atas mungkin sedikit, akan tetapi berat untuk diperbaiki. Dibutuhkan kesadaran yang benar-benar rasa sadar dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak pemerintahan untuk memberikan improvement terhadap ketiga faktor di atas. Pemerintahan yang dimaksud tidak hanya tanggung jawa Bapak Jokowi selaku Presiden Indonesia, bukan hanya wewenang Mas Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, bukan hanya pekerjaan Gubernur dan Bupati masing-masing daerah, akan tetapi pemerintahan di tingkat Desa juga memiliki tanggung jawab atas rendahnya angka pendidikan di Indonesia. Sebab Kita tahu bahwa tidak semua problem harus ditangani Pemerintah Pusat dan Daerah, akan tetapi, juga harus didukung oleh pemerintahan di tingkat bawah.
Hal ini senada dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berisi sebagaimana berikut:
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Bagaimana solusi untuk memperbaiki ketiga faktor di atas? Dilihat dari problemnya, solusi sangat jelas terlihat, akan tetapi yang dibutuhkan bukan sekedar "solusi", tetapi lebih kepada sebuah aksi. Pada dasarnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam mengembangkan pendidikan, dan pemerintah juga membutuhkan backing dari masyarakat sebagaimana yang termaktub di Bagian Ketiga, Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pasal 8, yang berbunyi "Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.". Akan tetapi, masyarakat tetap butuh arahan dari pemerintah dalam upaya pengembangan pendidikan.
Terakhir, marilah bersama-sama bekerja dalam upaya pengembangan dan pemerataan pendidikan di Indonesia. Satu pihak dan pihak yang lain, dan semua elemen yang terlibat langsung pada dunia pendidikan di Indonesia harus saling melengkapi bukan saling menyalahi. Keberhasilan tidak akan didapat, kecuali semua pihak dapat bersatu padu mewujudkan tujuan.
Sekian dari Penulis, Ario Rafni Kusairi, Putera Daerah Bondowoso yang kini menikmati pendidikan tinggi di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI