Mohon tunggu...
Ario Purba Supardjo
Ario Purba Supardjo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

sedang belajar berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Kepemilihan dan Sebuah Titipan

17 April 2010   01:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ketika kerusahan di priok beberapa waktu lalu, ketika nonton di tv ada beberapa ibu-ibu yang datang untuk mencari anak mereka yang katanya dipukuli oleh satpol pp atau polisi, mereka datang dengan pebuh emosi. ibu-ibu tadi sambil menangis ingin masuk ke medan pertempuran tetapi dihalang-halangi oleh aparat. karena tidak puas, maka kemudian mereka memaki dan menyumpahi semua aparat yang ada, mereka ingin memukuli aparat tetapi kemudian ada warga lain yang menarik mereka untuk pulang.

ini merupakan salah bentuk kasih sayang ibu, dan memang wajar ketika apa yang dia miliki diperlakukan dengan tidak baik. tetapi disisi lain, aku juga melihat bagaimana ada beberapa anak kecil yang menggunakan senjata tajam atau bambu memukul satpol atau polisi bersama warga lainnya. andai ibu tadi mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-anaknya, apa tanggapan mereka? kejadian yang sebenarnya aku nggak tidak tahu karena media tidak mungkin obyektif, mereka selalu subyektif.

kejadian itu mengingatkan kejadian pada waktu aku masih kecil dimana aku bersama teman-teman mencuri jagung dan ketahuan oleh pemiliknya. kemudian kami dikejar-kejar oleh pemiliknya dan akhirnya ketangkap karena aku terjatuh. beberapa saat kemudian bapakku datang untuk melihat kondisiku. waktu itu aku merasa tenang karena pasti dibela sama bapakku. tetapi yang terjadi malah bapakku meminta maaf kepada sang pemilik jagung tersebut, beliau mengatakan bahwa belum bisa mendidik anaknya dengan baik dan apabila akan menghukum aku biar bapakku yang melakukannya di depan petani tersebut. sang pemilik jagung tidak meminta aku dihukum, tetapi hanya berpesan jangan diulangi lagi. waktu itu aku malah emosi dengan bapakku, kenapa tidak membela anaknya yang terluka, malah meminta hukuman kepada petani tersebut.

setelah dewasa, aku baru paham apa yang dilakukan oleh bapakku, bahwa membela sesuatu yang buruk, bahkan dari anaknya sendiri, tidak akan menyelesaikan masalah. kata-kata belum bisa mendidik dengan baik dari bapakku mengandung makna bahwa anak merupakan titipan dari Tuhan, yang harus dibentuk sedemikian rupa sehingga nanti ketika kembali kepada Pemiliknya dalam keadaan yang baik. mungkin bapakku hanya menganggap aku hanya sebuah titipan bukan sebuah milik karena aku jika dianggap miliknya, maka apakah tidak marah jika kepunyaanya dilukai oleh orang lain? andai aku bisa memahami waktu itu.

kembali ke ibu-ibu yang mencari anak-anaknya tadi, apakah jika ada seseorang atau anak kecil yang menyerang dengan senjata tajam bahkan dengan membabi buta, kita akan tinggal diam tanpa perlawanan? ini terlepas dari kelompok mana yang menyerang dulu. manusia pasti akan mempunyai naluri untuk mempertahankan diri, walaupun yang menyerangnya anak kecil sekalipun.

akan lebih menyentuh apabila ibu-ibu tadi tidak memaki-maki bahkan menyumpahi aparat jika merasa anaknya hanya merupakan sebuah titipan. mengapa anak-anaknya bisa sampai ikut dalam kerusuhan tersebut? itulah pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh diri sendiri. jika itu memang disuruh oleh ibunya demi berjuang di jalan Tuhan, betapa teganya dia. jika mereka tidak mengetahui apa yang sering dilakukan oleh anaknya, termasuk melakukan tindakan kekerasan, apa masih pantas untuk dibela?

kasih ibu memang sepanjang hayat, dan tidak ada yang meragukannya. mengakui kekurangan mungkin akan lebih mendinginkan keadaan daripada berusaha menyalahkan orang lain bahkan sampai menyumpahi. jika saja ibu-ibu tadi datang dan meminta maaf karena belum bisa mendidik anaknya dengan baik, dan tolong dicarikan anaknya, pasti aparat yang bertugas juga akan menerima dengan baik dan akan tergugah nularinya, aku yakin akan itu. tetapi terkadang terlampau merasa memiliki bahkan mencintai itu membuat kita buta. ini mengingatkan kata-kata dari dosenku bahwa mencintai seseorang itu maksimal 20 % saja, sisakan lainnya untuk orang lain dan persiapan untuk kehilangannya.

ini ditulis ketika aku masih belum mempunyai anak, dan mungkin suatu saat ketika aku sudah mempunyai anak membaca tulisan ini akan tertawa, tapi semoga tulisan ini mengingatkanku ketika sudah memiliki amanah tersebut, bahwa menjaga amanah memang penting, tetapi lebih penting adalah mengembalikannya dalam keadaan baik pula.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun