Isu yang dilontarkan Mahfud MD terkait potensi hilangnya wilayah Natuna Utara akibat utang proyek Kereta Cepat Jakarta--Bandung (KCJB) memang mengejutkan.Namun hal ini sekaligus menjadi alarm keras bagi tata kelola utang luar negeri dan negosiasi proyek strategis nasional.
Di tengah gegap gempita pembangunan infrastruktur, pertanyaan fundamental yang sering luput adalah: seberapa besar kedaulatan yang kita pertaruhkan demi percepatan proyek?Â
Kereta Cepat Jakarta--Bandung memang simbol ambisi besar modernisasi transportasi Indonesia. Tapi jika di balik ambisi itu tersimpan skema pembiayaan yang berisiko menjerat negara dalam ketergantungan utang jangka panjang, bahkan sampai menyentuh isu kedaulatan wilayah, maka patut dipertanyakan ulang nilai "strategis" proyek ini.
Risiko semacam itu tidak boleh disepelekan, apalagi jika utang tersebut mengandung klausul tersembunyi yang memberi ruang bagi intervensi asing bila Indonesia gagal bayar.
Harusnya negara berkaca pada kasus serupa di Sri Lanka. Di negara tersebut pernah gagal bayar utang proyek pelabuhan yang kemudian diambil alih oleh China sampai sekarang. Sri Lanka menjadi contoh nyata negara yang sepenuhnya terjebak dalam utang China. Gagal melunasi utang pembangunan Pelabuhan Hambantota senilai US$ 361 juta, Sri Lanka pada 2016 menyerahkan pelabuhan tersebut kepada China (CNBC,2023).Â
Bukan hanya Sri Lanka, dikutip dari harian CBNC (November 2023) menyebutkan bahwa, Pakistan menjadi negara terbaru yang terjebak utang China. Dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Karot, China memberlakukan suku bunga tinggi hingga 5,11%, sementara persyaratan pembayaran dan transparansi minim.
Ketidakseimbangan daya tawar dan kurangnya keterbukaan, terutama pada proyek-proyek yang notabene tidak memiliki studi kelayakan yang kuat, adalah celah yang membuat negara penerima hutang rentan terperosok ke dalam kesulitan finansial yang berkepanjangan.
Pernyataan Mahfud MD juga menyentil pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam perjanjian proyek strategis. Jangan sampai rakyat hanya disuguhi narasi keberhasilan pembangunan fisik, tapi dibutakan dari konsekuensi finansial dan geopolitik yang menyertainya.
Pemerintah harus terbuka soal isi perjanjian utang luar negeri, termasuk potensi risiko terhadap aset negara dan wilayah.
Pemerintah semestinya menjadikan isu ini sebagai momentum evaluasi ulang terhadap seluruh perjanjian proyek luar negeri agar pembangunan tidak berubah menjadi jebakan utang berkepanjangan yang mencederai martabat bangsa.
Sumber berita diambil dari harian Bisnis.com