Suasana penuh suka cita mewarnai Malam Resepsi dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia di Kabupaten Natuna, Minggu malam, bertempat di Alun-alun Pantai Piwang (17/8/2025).
Ribuan warga tumpah ruah menikmati rangkaian acara yang menghadirkan atraksi kesenian, pertunjukan budaya, hingga pementasan Teater Perjuangan. Puncak perayaan semakin meriah ketika 1.000 lampion diterbangkan serentak ke langit malam, menciptakan pemandangan indah.
Indah di langit, tapi bagaimana nasib setelah lampion itu jatuh ke bumi ?Â
Dalam kasus ini, ribuan lampion yang dilepaskan ke udara bisa mendarat dimana saja yang akan memberikan dampak bagi lingkungan. Karena setiap yang naik keatas, pasti akan turun kembali ke bawah. Dikutip dari waste4change.com, ancaman kebakaran merupakan diantara dampak negative pelepasan lampu lampion ke udara. Salah satu produsen lampion, CLSL (Cebu Light Sky Lanerans) menyebutkan, lampion terbang bisa melayang sampai ketinggian 3.000 -- 4.500 kaki dan bertahan di udara selama 6-8 menit.
Menariknya, penolakan terhadap penerbangan lampion juga pernah dilakukan di negeri kita. Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi) pernah menyuarakan keberatan atas agenda rutin pelepasan lampion saat perayaan Waisak di Candi Borobudur, karena dianggap dapat membahayakan lingkungan sekitar candi. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pada Agustus 2022, misalnya, sebuah rumah di Cilacap, Jawa Tengah, nyaris terbakar setelah lampion terjatuh di atap bagian belakang. Beruntung api cepat dipadamkan, tetapi kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa lampion bukan sekadar simbol perayaan, melainkan juga potensi ancaman bagi keselamatan warga.
Sejarah sudah cukup banyak memberikan pelajaran bahwa lampion terbang bukan sekadar hiasan indah di langit malam, tapi juga bisa menjadi sumber bencana. Pada tahun 2013, misalnya, Inggris digemparkan oleh kebakaran besar di sebuah pabrik daur ulang plastik di Smethwick yang dipicu oleh lampion. Di tahun yang sama, Washington, Amerika Serikat, juga mengalami insiden serupa. Kasus lain datang dari India, ketika sebuah lampion jatuh di sebuah toko dan menyebabkan 15 orang mengalami luka-luka. Bahkan di South Carolina, lampion yang mendarat di semak belukar langsung memicu kebakaran hebat. Belum berhenti di situ, pada awal tahun 2020, sebuah kebun binatang di Jerman Barat turut dilalap api akibat lampion. Sementara di Hanoi, Vietnam, tercatat tidak kurang dari delapan insiden kebakaran akibat tradisi pelepasan lampion (waste4change.com).
Selain ancaman kebakaran, pelepasan ribuan lampion juga meninggalkan masalah lain yang tak kalah serius yaitu sampah. Apa yang semula tampak indah di langit, pada akhirnya akan jatuh kembali ke bumi, ke pemukiman warga, hutan, hingga lautan. Memang, sebagian lampion dibuat dari bambu dan kertas, tapi tak sedikit pula yang menggunakan rangka berbahan kawat. Material seperti ini jelas sulit terurai dan bisa mencemari lingkungan dalam jangka panjang. Sampah lampion bukan hanya merusak pemandangan, tapi juga berpotensi mengancam ekosistem, terutama jika masuk ke laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir.
Setidaknya ada beberapa dampak dari penerbangan lampu lampion ke udara: Â Pertama, dari sisi lingkungan, pelepasan ribuan lampion bukan hanya soal keindahan sesaat di langit malam. Setelah api padam, lampion-lampion itu akan jatuh entah ke mana, ke kebun, ke atap rumah, hingga ke laut Natuna yang luas. Sisa kertas, plastik, maupun rangka logamnya akan berubah menjadi sampah tambahan yang sulit diurai. Alih-alih meninggalkan kenangan indah, yang tertinggal justru masalah pencemaran baru bagi alam kita yang seharusnya dijaga.
Kedua, ada persoalan keselamatan yang tak kalah serius. Lampion yang terbang membawa api terbuka jelas punya potensi menimbulkan kebakaran. Bayangkan jika jatuh di atap rumah penduduk, area hutan, atau lahan kering hanya butuh satu percikan kecil untuk memicu kebakaran besar. Artinya, kegiatan yang dimaksudkan sebagai simbol sukacita malah bisa berubah menjadi sumber petaka.
Ketiga, dampak yang jarang dibicarakan adalah ekonomi lokal. Nelayan bisa dirugikan jika rangka lampion terjatuh dan tersangkut di jaring mereka, sementara petani pun berisiko kehilangan hasil panen jika lahan mereka terbakar atau tertimpa sampah lampion. kejadian kecil ini mungkin tidak langsung terlihat pada malam pelepasan, tapi resiko kejadiannya akan nyata dirasakan masyarakat dalam jangka panjang. Bukankah lebih bijak bila sebuah perayaan justru memberi manfaat, bukan meninggalkan beban?
Beberapa Negara Sudah Melarang.
Alasan keamanan dan lingkungan menjadi pertimbangan utama kenapa banyak negara akhirnya melarang penerbangan lampion. Api terbuka yang melayang tanpa kendali jelas berpotensi memicu kebakaran, sementara sisa materialnya baik kertas, plastik, maupun logam akan jatuh dan menambah beban pencemaran di darat maupun laut. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum memiliki aturan khusus yang mengatur persoalan ini. Padahal, sebagai negara kepulauan dengan ekosistem laut yang rentan, Indonesia justru memiliki alasan kuat untuk segera mengambil sikap.
Menariknya, sejumlah negara telah jauh lebih tegas. Thailand dan Vietnam, yang notabene memiliki tradisi pelepasan lampion, kini sudah menerapkan pembatasan ketat, bahkan larangan di beberapa wilayah. Bukan hanya di Asia, negara-negara seperti Brasil, Austria, Selandia Baru, Australia, Jerman, dan Spanyol juga mengambil langkah serupa. Bahkan di Amerika Serikat, 13 negara bagian sudah resmi melarang lampion terbang karena dianggap membahayakan masyarakat. Fakta ini menunjukkan bahwa kesadaran global terhadap bahaya lampion semakin menguat, dan semestinya bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia agar tidak terlambat bertindak.
Alternatif Solusi
Sebetulnya, merayakan momen bersejarah seperti Hari Kemerdekaan bisa dilakukan dengan cara yang jauh lebih ramah lingkungan tanpa kehilangan rasa khidmat dan meriah. Misalnya dengan pesta kembang api ramah lingkungan yang menghasilkan asap lebih sedikit, atau dengan pertunjukan cahaya drone yang kini banyak dipilih di negara-negara maju. Pertunjukan drone ini bahkan bisa menjadi tontonan spektakuler sekaligus modern, menampilkan formasi bendera, simbol kemerdekaan, hingga pesan-pesan kebangsaan di langit malam.
Selain itu, ada pula opsi yang lebih sederhana namun tetap menarik, seperti menggelar festival lampion darat. Lampion-lampion ini tidak diterbangkan, melainkan dipasang berjejer indah di jalan atau alun-alun sehingga bisa jadi spot foto yang instagramable. Bahkan, jika digabung dengan pagelaran seni budaya lokal, acara peringatan kemerdekaan bukan hanya meriah, tetapi juga mengangkat identitas daerah sendiri. Dengan begitu, perayaan menjadi lebih aman, lebih bermakna, dan meninggalkan warisan positif ketimbang sekadar tumpukan sampah dari langit.
Pada akhirnya, merayakan kemerdekaan tidak harus selalu dengan cara-cara yang justru merusak lingkungan atau membahayakan masyarakat. Esensi dari sebuah peringatan adalah bagaimana kita menghidupkan semangat perjuangan dengan tindakan yang bijak, bukan sekadar seremonial sesaat yang menyisakan masalah.
Memang, pelepasan lampion ke langit biru  sejauh ini belum menimbulkan dampak buruk sebagaimana yang terjadi di negara lain. Namun, menghindari sejak dini adalah upaya terbaik agar ancaman negatif akibat penerbangan lampion tidak perlu kita alami. Sudah saatnya kita merayakan dengan cara yang lebih cerdas, lebih ramah lingkungan, dan lebih berpihak pada masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI