Di era digital ini, hampir semua aspek kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat signifikan---termasuk dalam cara kita berdagang, berkomunikasi, dan menjalankan ibadah. Inilah pentingnya fikih kontemporer: menjembatani nilai-nilai syariat Islam dengan dinamika zaman tanpa mengorbankan substansi ajaran agama.
Kini, seorang Muslim dapat melakukan transaksi perdagangan melalui e-commerce, menggunakan dompet digital, bahkan melangsungkan akad nikah secara daring. Namun, pertanyaannya, apakah semua ini otomatis dianggap halal? Fikih klasik tidak membahas tentang Gopay, OVO, atau ShopeePay. Dari sini, muncul pertanyaan baru: Bagaimana hukum zakat atas uang digital? Apakah transaksi online sudah memenuhi rukun jual beli yang syar'i?
Fikih kontemporer mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan metode ijtihad modern, yang menggabungkan prinsip-prinsip fiqh dengan realitas sosial yang ada. Para ulama memanfaatkan pendekatan maqashid al-syariah untuk memastikan hukum yang ditetapkan tidak hanya sah menurut teks, tetapi juga bermanfaat dalam konteks saat ini.
Tantangan fikih kontemporer tidak hanya terletak pada menjawab isu-isu tersebut, tetapi juga bagaimana hukum-hukum ini diterima oleh masyarakat. Banyak di antara mereka yang menyangka bahwa hukum Islam kini menjadi terlalu "moderat" atau "longgar. " Padahal, fikih yang relevan tidak berarti meninggalkan prinsip-prinsip dasar, melainkan menghidupkan prinsip tersebut agar sesuai dengan keadaan zaman.
Dengan pendekatan yang bijaksana, fikih kontemporer membuktikan bahwa hukum Allah selalu dapat mengikuti perkembangan zaman. Ia mampu hadir di layar smartphone, di balik kode digital, bahkan di ruang virtual---selama kita mencarinya dengan penuh pengetahuan dan kejujuran hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI