Mohon tunggu...
Arina Zulfa Arifah
Arina Zulfa Arifah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger

After all this time? Always

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Serunya Green Tour bersama Sebumi di Kotagede Yogyakarta

5 April 2024   12:40 Diperbarui: 6 April 2024   19:00 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Assalamualaikum

Di bulan Ramadhan ini alhamdulillah saya berkesempatan mengikuti event dari Kompasianer Jogja yang berkolaborasi dengan Sebumi.

Event offline dari Kompasiana Jogja ini adalah event pertama saya sejak bergabung menjadi Kompasianer Jogja, rasanya senang sekali bisa join kegiatan yang positif seperti ini.

Sebumi itu apa sih, apa ada yang sudah tau? 

Dari hasil penelusuran saya, Sebumi adalah entitas nirlaba yang berfokus pada kegiatan dan acara terkait dengan proyek konservasi alam atau keanekaragaman hayati, inisiatif sosial ekonomi untuk mendukung komunitas lokal di sekitar kawasan pelestarian alam, dan upaya pendidikan untuk mempromosikan konservasi dan keberlanjutan.


Sebumi sendiri memiliki produk dan layanan yang meliputi tiga hal yakni Sebumi Journey, Sebumi Berbagi dan  Seakar. Nah itu tadi profil singkat perihal Sebumi.

Sekarang saya akan lanjut share pengalaman saya mengikuti Green Walking Tour Kawasan Kuno Kotagede. Di event kali ini saya akan belajar mengenai hidup berkelanjutan yang terkait dengan sejarah, bangunan, keanekaragaman hayati, mindfulness dan makanan di wilayah Kotagede.

Acara berlangsung di tanggal 30 Maret 2024 dengan titik start point di Masjid Gedhe Mataram Kotagede didampingi oleh Mas Santos sebagai perwakilan dari Sebumi yang akan memimpin dan menjelaskan berbagai macam hal selama Jogja Heritage Green Tour ini. Terdapat sekitar tiga belas orang dari berbagai latar belakang namun kami tetap dapat bersinergi dan bercanda satu sama lain.

Masjid Islam pertama di kota Yogyakarta ini telah berdiri lama dan menjadi saksi perkembangan agama Islam di Mataram. Memiliki keistimewaan yakni terdapat akulturasi dua agama dari agama Islam dan Hindu yang dapat dilihat dengan adanya gapura khas agama Hindu di depan masjid. 

Pada pelataran masjid ada beberapa pohon sawo kecik yang ternyata memiliki makna yang cukup dalam. Dijelaskan oleh mas Santos, sawo kecil memiliki filosofi "sarwo becik" atau serba dalam kebaikan. 

Diharapkan dengan keberadaan masjid ini tentu akan ada banyak kebaikan yang didapatkan. Selain itu di sekitar masjid juga ada hal yang unik yakni ada kolam air mengelilingi masjid ini. 

Dahulu kolam air ini digunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk ke dalam masjid dan hal ini juga membuatnya menjadi zona biru yang ada di kawasan masjid.

Untuk saat ini kolam airnya masih ada namun sudah tidak digunakan untuk mencuci kaki karena sudah ada tempat berwudhu dan juga pada kolam terdapat beberapa ikan yang asyik berenang ke sana - ke sini.  

Sumber gambar: pribadi
Sumber gambar: pribadi

Setelahnya kami berjalan ke arah selatan masjid yakni ke arah sendang, namun sebelumnya kami menyempatkan berhenti di depan makam raja-raja Mataram Kotagede. 

Di sini mas Santos kembali menjelaskan perihal sejarah yang ada terkait asal-usul Kotagede dan beberapa fakta di antaranya yang belum pernah saya dengar sebelumnya. 

Dulu Kotagede adalah sebuah alas atau hutan mentaok yang kemudian dibabat dan dijadikan sebagai Kotagede. Maka pohon mentaok sendiri berkaitan erat dengan sejarah Kotagede.

Kotagede adalah suatu kota tersendiri yang bahkan ada  jauh sebelum Yogyakarta berdiri. Seperti kota pada umumnya, Kotagede juga memiliki kantor, pasar, alun-alun dan masjid yang melengkapi kebutuhannya.

Namun untuk saat ini alun-alun Kotagede sudah tidak ada karena pesatnya pertumbuhan masyarakat dan bangunan di wilayah ini.

Sampai saat ini makam raja Mataram masih dirawat dengan baik oleh abdi dalem dari Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta, mengingat beberapa pendahulunya dimakamkan di sini.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Sendang Seliran, terdapat dua sendang di sini yakni Sendang Selirang Kakung (pemandian pria) dan Sendang Seliran Estri (pemandian wanita). Sendang ini sampai saat ini masih memiliki mata air yang terus mengalir dan belum pernah kering bahkan saat di musim kemarau. 

Air pada dalam sendang nampak segar sekali dan saat ini terdapat ikan lele yang besar sekali, mas Santos sempat berkata mungkin ikan lele ini lebih tua dari kita mengingat besar ukurannya hihihi.

Di samping sendang terdapat sumur yang dipercayai bisa membuat awet muda, sama seperti sendang di sampingnya sumur ini juga tidak pernah kekeringan. 

Beberapa peserta Jogja Heritage Green Tour mencoba mencuci muka dengan air sumur ini dan saya sendiri sempat mencoba air sumur ini yang diambil menggunakan gayung dengan memercikkan airnya ke wajah saya untuk menyegarkan wajah disore hari yang cerah itu. Kalau beneran bisa bikin awet muda ya bonus aja sih hihihi.

Sumber gambar: pribadi
Sumber gambar: pribadi
Kami pun melanjutkan perjalanan lagi ke arah barat Masjid Kotagede melewati jalan setapak di antara rumah-rumah dan sempat berhenti sejenak. Mas Santos menjelaskan lagi perihal dinding belakang komplek Masjid Kotagede yang sekilas mirip pada bangunan Taman Sari. 

Dinding-dinding tersebut dibuat dari material lokal yang didapatkan dari daerah Yogyakarta bernama Gamping. Check point berikutnya adalah Langgar Dhuwur, kami melintasi gang-gang kecil di antara pemukiman Kotagede yang cukup padat. 

Langgar Dhuwur sendiri saat ini  sudah menjadi salah satu cagar budaya di kota Yogyakarta dan memiliki design arsitektur tradisional Jawa.

Langgar ini dibangun di atas supaya tidak mengganggu orang yang beraktifitas di bawahnya dan untuk saat ini sudah tidak memungkinkan digunakan mengingat kayu bangunan Langgar sudah lapuk.

Sumber gambar: pribadi
Sumber gambar: pribadi
Perjalanan dilanjutkan dan kembali kami menyusuri gang kecil bak labirin namun tetap menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan karena seru sekali rasanya seperti berpetualang. 

Kami juga sempat melewati salah satu rumah yang ternyata merupakan rumah pengrajin perak. Kami bisa melihat sejenak salah satu proses pembuatan perak di situ dan kembali melanjutkan perjalanan. 

Tak jauh dari sana kami berhenti dan mas Santos kembali menjelaskan jika tempat berdiri kami saat ini adalah ledhoknya Kotagede dan ternyata di bawah jalanan yang kami lalui tadi terdapat saluran air dan bermuara di ledhok.

Kemudian kami berjalan ke arah timur di mana jalannya sedikit menanjak untuk menuju ke check point terakhir. Oh iya di ujung jalan kami menyempatkan untuk berfoto bersama hihihi.

Menjelang berbuka puasa kami pun melanjutkan kembali perjalanan dan kali ini kami berhenti di tempat yang saat ini sedang viral-viralnya yakni Between Two Gates atau yang sering disebut Lawang Pethuk. 

Dulunya kawasan ini adalah wilayah akun-alun Mataram dan saat ini menjadi kawasan zona rendah emisi karena adanya peraturan untuk dilarang menyalakan atau mengemudi kendaraan melalui gang ini. Sehingga jika ingin melewati gang ini maka wajib menuntun motornya dalam keadaan mesin dimatikan. 

Hal ini sebenarnya bermula dari kesadaran masyarakat yang mengetahui jika gang kecil di dalam sini sebenarnya bukan jalanan umum jadi dengan kesadaran diri masyarakat pun mematikan kendaraannya dan menuntunnya seraya menyapa para penghuni rumah di pemukiman semi pribadi ini. 

Rumah-rumah di sini membagi bangunannya menjadi dua yakni bangunan utama yang ditinggali pada sisi utara dan bangunan lainnya pada sisi selatan yang dipisahkan dengan satu jalan kecil. 

Sekedar informasi bangunan-bangunan di dalam sini telah menjadi bangunan cagar budaya karena tetap mempertahankan bentuk dan tata ruang rumah-rumah tradisional Jawanya.

Sumber gambar: pribadi
Sumber gambar: pribadi

Akhirnya kita sampai di check point terakhir sekaligus sebagai tempat pemberhentian karena akan berbuka puasa. Longkang Cafe, cafe yang tidak kalah viral karena vibesnya homey sekali ini ternyata juga memiliki konsep hijau yang menarik. 

Memiliki beberapa lubang biopori yang tersebar di sekitar cafe dan juga banyak tanaman hijau menambah nuansa hidup berkelanjutan yang dapat dicontoh siapa saja. 

Dalam penyajian minumannya misalnya, Longkang Cafe tidak menggunakan gelas plastik, sedotan plastik dan juga tutup plastik sealer yang biasa ada di cup plastik.

Konsep ini menurut saya menarik sekali dan sangat relate dengan bulan Ramadhan yang suci di mana dalam agama Islam kita diajarkan untuk tidak mubadzir dalam segala aspek. 

Kami berbuka puasa dengan segelas es teh manis dan juga kudapan khas Kotagede yakni kue kipo dan kue kembang waru yang manis sembari bercengkrama. 

Akhirnya acara ditutup di halaman parkir Masjid Kotagede dan kami pun kembali pulang dan melanjutkan aktifitasnya masing-masing. Terimakasih Kompasianer Jogja dan Sebumi untuk pengalaman dan seru-seruan barengnya, ditunggu event menarik lainnya ya.

Sumber gambar: pribadi
Sumber gambar: pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun