"Bu, bagaimana kalau pada akhirnya aku sampai tidak menikah?"
Kata-kata itu lolos dengan begitu sulit di mana sebelumnya selalu tertahan kuat di ujung lidah yang mendadak kelu. Satu pertanyaan yang barangkali bagi Ibu tak ubahnya seperti tikaman belati. Wajah kuyunya spontan memucat, terkejut dan terluka terpampang jelas dalam ekspresinya.
Mendapati reaksi kentara pahit darinya, praktis membuatku didera takikardia. Detak jantung yang mulanya cukup tenang, temponya mulai meningkat diperparah napas yang menyesak seakan tenggorokan tercekat. Detik itu juga tak ada keberanian berserobok pandang dengannya. Aku menunduk mantap, menjatuhkan mata ke kedua tangan yang dilumuri keringat disertai gemetar di pangkuan.
Rasa percaya diri dan keberanian yang sempat mengokoh melesap begitu saja ketika mendapati isakan. Ibu menangis. "Kumohon, maafkan adikmu, Nak," lirihnya sengau. Tak ada lagi kata yang terucap, padahal bukan jawaban seperti itu yang kuharapkan. Aku ingin menjelaskan banyak hal agar Ibu bisa berlapang hati memahamiku.Â
Namun, sekejap saja ia menarik kesimpulan sendiri seolah hanya tentang adikku, si gagal itu, yang paling kusalahkan. Bibirku hendak menyanggah, tetapi ia keburu bangkit dari duduknya, meninggalkanku sendirian di ruangan lengang yang kehangatannya telah sirna dihempas duka dan problematika keluarga.
Tubuhku sulit digerakkan untuk sekadar merubah posisi duduk yang tetap menunduk. Diam tertegun dibekukan oleh beban pikiran dan beban-beban lain yang ditumpu sendiri. Hening yang mengerubungi terasa sangat menyayat hati, suasananya mempertajam kesadaran bahwa aku menghadapi kesulitan hanya seorang diri tanpa bisa berbagi.
***Â
"Saat terjebak dalam situasi mendesak berhentilah mengeluh agar semua yang dikerjakan tidak terasa membebani," kata Ayah padaku yang kala itu hanya disibukkan studi di kampus.
Lambat-laun seiring berjalannya waktu yang perlahan demi perlahan roda nasib berotasi hingga stagnan di dasar. Barulah kupahami, pesannya lebih universal mengena dalam banyak aspek kehidupan, alih-alih hanya kukaitkan pada beban kuliah yang saat itu kerap kukeluhkan.Â
Saat kondisi kesehatannya yang semakin ringkih, ia seakan tahu hidupku akan seperti ini. Kata-katanya memang tidak mudah dipraktikkan, sebab tak sesederhana yang dilafalkan, tetapi tanggung jawab menuntutku menjadi pribadi setegar yang Ayah harapkan.