Dengan demikian untuk sekin kalinya sektor ketenagakerjaan, yang merupakan faktor utama mengapa suatu daerah menerapkan kegiatan Industri, "diabaikan" kesejahteraan pekerjanya, meski pada masa tertentu pekerja menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan kegiatan ekonomi.
Hal inilah yangseringkali terjadi antagonisme antara pekerja dengan pelaku kegiatan usaha (perusahaan), karena kegiatan industri yang baik sesungguhnya dapat tercipta dengan Hubungan Industrial yang harmonis, dengan suatu sistem manajerial kegiatan usaha, yang menempatkan serikat pekerja sebagai mitra strategis perusahaan dan pemerintah dibidang ketenaga kerjaan.
Untuk menjadikan sektor usaha padat karya sebagai instrumen ekonomi, yang mampu berontribusi positif dalam pembangunan, karena di Kabupaten Lamongan dengan jumlah pekerja 20.600 pekerja setiap tahun, pekerja Lamongan mampu memperoleh upah sekitar Rp. 599.144.763.144,- namun kontribusi dari sektor ini sangat jarang diperhatikan, baik dengan penguatan kelembagaan Hubungan Induustrial, atau hal hal yang lain.
Selain akan menghadapi problem Nasional berupa RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pekerja Lamongan akan menghadapi PILKADA pertama sejak kegiatan Industri Masal di Kabupaten Lamongan dilaksanakan, berbagai informasi edukatif, bahwa kebijakan pemerintah akan berdampak terhadap kesejahteraan pekerja, sanagat diperlukan.
Namun penulis pesimis informasi tersebut akan diperoleh karena dalam situasi pandemi, tidak ada ruang interaksi penyelenggara atau peserta yang dapat mengarahkan pada kebijakan pemerintah dalam 5 tahun kedepan akan berpihak kepada pekerja, diantaranya tentang kepastian status (pekerja tetap), menghilangkan outsorcing, menindak Upah dibawah UMK, jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, Struktur Skala Upah (SUSU) dan jaminan penegakan hukum ketenaga kerjaan, agar pekerja tidak menjadi "korban atau pelaku" kejahatan ketenaga kerjaan.