Mohon tunggu...
Ari Hidayat
Ari Hidayat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berjuang bersama keluarga

Konsistensi adalah kunci keberhasilan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketenagakerjaan Lamongan dalam Menghadapi Corona, RUU Cipta Kerja, dan Pilkada 2020

2 Agustus 2020   12:09 Diperbarui: 2 Agustus 2020   12:08 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Ari Hidayat, SE

2015 Pemerintah Kabupaten lamongan mencanangkan program industrialisasi, hampir bersamaan dengan penetapan PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, yang merupaka sistem pengupahan yang menerapkan kenaikan upah tiap tahun pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, namun mengabaikan Kurs rupiah dan perubahan  harga akibat fluktusi rupah.

Dimasa corona ini terdapat pekerja Lamongan yang diPKH sejumlah 6.800 (Eko Sujarwo, DetikNews), dengan pengangguran terbuka sejumlah 22.115 orang, meski demikian industrialisasi nyatanya masih mampu melibatkan pekerja dalam kegiatan  industri sejumlah 20.600 pekerja, apabila dengan asumsi Upah sesuai UMK Rp.2,423.724,77 maka sebulan pekerja Lamongan menghasilkan Rp. 49.928.730.262,- hal ini cukup signifikan, apabila penghasilan tersebut dapat digunakan untuk transaksi ekonomi di Kabupaten Lamongan, sehingga akan mampu menggerakkan sektor riil, meningkatkan gairah jual beli, dan transaksi keuangan di Kabupaten Lamongan.

Diera Pandemi ini satu dari sektor yang sangat rentan, memang sektor ketenaga kerjaan, karena sektor ini memungkinkan manusia dari berbagai daerah di Kabupaten Lamongan, berkumpul dalam satu lokasi (perusahaan) dalam jumlah yang cukup signifikan, setidaknya terdapat sekitar 20.600 pekerja Lamongan, yang masih melaksanakan aktivitas ekonomi dalam industri padat karya.

Meski dengan resiko yang begitu besar, baik selama dalam perjalanan keperusahaan, terutama di kendaraan umum, yang masih belum ada mekanisme keamanan pengguna transportasi, sopir atau kernet, paling tidak saran penulis agar pekerja  menggunakan transportasi umum yang menjangkau lokal saja

Paling tidak dengan angkot yang jarak tempuhnya terbatas daerah Deket dengan babat, akan meminimalisir resiko terkontaminasi virus. Ya paling tidak dengan sektor padat karya yang tetap bergerak, daya beli masyarakat masih terjaga, kondisi ekonomi masyarakat dan transaksi ekonomi riil masih bisa berjalan normal.

Tidak banyak orang yang memiliki perhatian terhadap pekerja industri padat karya, karena pada situasi darurat kesehatan masyarakatpun, sektor ini masih mampu bertarung dengan berbagai kondisi, dan sektor yang diandalkan dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional, karena industri padat karya umumnya adalah kegiatan ekonomi yang berkonsentrasi pada produksi.

Sedangkan sektor yang terhambat karena pandemi adalah kegiatan ekonomi yang konsentrasi pada distribusi, terutama distribusi Internasional, sedangkan sektor jasa pariwisata sempat mengalami "lumpuh total" meski berangsur angsur mulai pulih, sedang sektor perbankan dan perkreditan mutlak yang berjalan hanya transaksi keuang dalam jasa keuangan selain kredit.

Meski begitu dikdaya ketangguhan pekerja padat karya, namun RUU Omnibus Law Cipta Kerja, hendak merenggut hal hal yang sanggat mendasar dari hubunggan pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan daya beli, ya indikator indikator yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi akan mampu mempengaruhi kemampuan daya beli mulai dipreteli melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Contoh saja klausul Upah Minimum Kabupaten/Kota, yang hilang, meski pemerintahan paham bahwa UMK adalah jaring perlindungan sosial pekerja, sebagai batas minimal upah pada suatu sektor usaha pada suatu wilayah, PHK yang hanya mensyaratkan efisiensi perusahaan (tentu saja ini sangat subyektif), hilangnya hukum pidana ketenanga kerjaan, hilangnya peran pemerintah daerah dalam pasal pasal RUU Omnibus Law yang tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 18 ayat 5.

Dengan PHK yang "bebas" akan berpotensi "union Busting" atau pembumi hangusan serikat pekerja, menghancurkan demokrasi ketenaga kerjaan, jika upah ditentukan melalui Bibpartite, sedangkan PHK sepihak dilegalkan sungguh merupakan iklim demokrasi ketenaga kerjaan yang sangat menghawatirkan, tidak sesuai dengan Pancasila.

Dengan demikian untuk sekin kalinya sektor ketenagakerjaan, yang merupakan faktor utama mengapa suatu daerah menerapkan kegiatan Industri, "diabaikan" kesejahteraan pekerjanya, meski pada masa tertentu pekerja menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan kegiatan ekonomi.

Hal inilah yangseringkali terjadi antagonisme antara pekerja dengan pelaku kegiatan usaha (perusahaan), karena kegiatan industri yang baik sesungguhnya dapat tercipta dengan Hubungan Industrial yang harmonis, dengan suatu sistem manajerial kegiatan usaha, yang menempatkan serikat pekerja sebagai mitra strategis perusahaan dan pemerintah dibidang ketenaga kerjaan.

Untuk menjadikan sektor usaha padat karya sebagai instrumen ekonomi, yang mampu berontribusi positif dalam pembangunan, karena di Kabupaten Lamongan dengan jumlah pekerja 20.600 pekerja setiap tahun, pekerja Lamongan mampu memperoleh upah sekitar Rp. 599.144.763.144,- namun kontribusi dari sektor ini sangat jarang diperhatikan, baik dengan penguatan kelembagaan Hubungan Induustrial, atau hal hal yang lain.

Selain akan menghadapi problem Nasional berupa RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pekerja Lamongan akan menghadapi PILKADA pertama sejak kegiatan Industri Masal di Kabupaten Lamongan dilaksanakan, berbagai informasi edukatif, bahwa kebijakan pemerintah akan berdampak terhadap kesejahteraan pekerja, sanagat diperlukan.

Namun penulis pesimis informasi tersebut akan diperoleh karena dalam situasi pandemi, tidak ada ruang interaksi penyelenggara atau peserta yang dapat mengarahkan pada kebijakan pemerintah dalam 5 tahun kedepan akan berpihak kepada pekerja, diantaranya tentang kepastian status (pekerja tetap), menghilangkan outsorcing, menindak Upah dibawah UMK, jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan, Struktur Skala Upah (SUSU) dan jaminan penegakan hukum ketenaga kerjaan, agar pekerja tidak menjadi "korban atau pelaku" kejahatan ketenaga kerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun