Mohon tunggu...
AyahArifTe
AyahArifTe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Ayah

Penulis dan mantan wartawan serta seorang ayah yang ingin bermanfaat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Angka-angka pada Rapor dan IPK, Idaman Anak atau Ambisi Orangtua?

10 Februari 2022   07:15 Diperbarui: 18 Februari 2022   21:37 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembagian rapor (Sumber gambar dari Kompas.com)

"Apa aku pinter?" Suatu hari ada yang bertanya kepada saya begitu.

Entah kenapa saya spontan menjawab seperti ini, "Siapa pun yang bisa menata hidupnya untuk membantu dirinya sendiri dan orang lain adalah manusia pintar, membantu dalam hal sebagian besar persoalan hidup ya belajar, ya keluarga dan pekerjaan."

Berdasarkan definisi itu, saya berpendapat seharusnya siapa pun orang itu, dia pasti pintar. 

Sepanjang dia bisa -- minimal -- menata kehidupan pribadinya lalu dia bisa membantu orang lain atau bermanfaat bagi orang lain, khususnya keluarganya sendiri. 

Kemudian bisa disebut 'makin pintar' ketika bisa menata dirinya dalam menyelesaikan persoalan dalam pelajaran dan pekerjaan, hingga akhirnya bisa sukses.

Lalu, bagaimana dengan definisi pintar berdasarkan data-data buku rapor sekolah atau IPK di kampus-kampus? 

Hmm, seperti yang sudah beredar dalam beberapa tahun belakangan ini, pola ajar mengajar yang mengedepankan 'angka rapor dan IPK' telah menjadi momok di negeri tercinta ini.

Gelar juara kelas atau lulus cumlaude seolah telah menjadi 'idaman' bagi para pelajar atau mahasiswa. Bahkan, orangtua pun ramai-ramai memposting keberhasilan tangkapan layar (screen shoot) rapor atau momen wisuda anak-anaknya di media sosial. 

Bahkan, tangkapan layar pengumuman hasil penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi pun jadi konten para orangtua 'pamer' keberhasilan di medsos.

Benarkah menjadi 'idaman' para pelajar? Atau ini hanya ambisi kita, para orangtua agar kita merasa berhasil telah mendidik anak?

Tanpa bermaksud merendahkan perjuangan para orangtua dalam membuat anak-anak pintar, saya hanya ingin bertanya kepada -- khususnya diri sendiri -- dan para orangtua, "Betulkah juara kelas? Sebenarnya angka-angka pada rapor dan IPK yang hebat adalah idaman anak kita atau justru ambisi kita para orangtua?"

Saya mencoba untuk memahami pendapat bahwa angka-angka rapor dan IPK hebat itu akan membawa dampak kesuksesan anak dalam meraih masa depan yang gemilang. 

Dengan kata lain, dengan modal angka-angka itu (dengan asumsi angka-angka tersebut benar-benar refleksi kepintaran anak) akan membawa mereka mendapatkan pekerjaan yang baik.

Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Hanya saja, melihat perkembangan pola pendidikan (termasuk gonta-ganti menteri yang berdampak pada sistem pendidikan di negeri ini) membuat saya pesimis dengan paham tersebut di atas (keberhasilan berdasarkan data rapor).

Image by Jackson David from Pixabay
Image by Jackson David from Pixabay

Bahkan, ketika saya mendengar protes para dosen terhadap program Kampus Merdeka, saya kok jadi trenyuh ya. Padahal program Kampus Merdeka setahu saya bagus sekali untuk mempersiapkan mahasiswa dan mahasiswi siap bekerja ketika lulus kelak.  

Saya -- sebagai orang korporasi -- merasakan betapa sulit menemukan kandidat karyawan -- termasuk anak magang yang berkualitas dan beretika.

Faktor beretika saya sebutkan juga karena menyangkut definisi anak pintar yang saya tulis di awal. 

Banyak anak cerdas tapi entah kenapa tidak semua pandai beretika. Bahkan etika sederhana saja, misalnya mengucap salam saat bertemu orang yang lebih dewasa atau sekadar tersenyum.

Itulah kenapa definisi pintar yang saya lontarkan di awal tulisan ini menjadi begitu penting. 

Saya jadi teringat ada tulisan singkat seorang guru di Singapura yang viral di WhatsApp Group tentang pola pendidikan etika jauh lebih penting ketimbang akademis untuk pendidikan dasar dan menengah.

Tambahan lagi dunia pekerjaan sekarang tidak selalu menuntut lulusan sekolah maupun kampus dengan nilai-nilai yang 'wow'. 

Dunia pekerjaan saat ini justru mengidamkan lulusan yang punya keterampilan lebih dan beretika. Itu menurut saya loh, ya.

Saya pernah mendengar dan membaca kisah raja kapal dunia pada eranya, Aristotle Onasis yang memulai usahanya dengan modal pintar meyakinkan calon pelanggannya. 

Ia konon menawarkan tembakau kepada seorang saudagar yang kemudian karena terkesima dengan mulut manis Onasis. 

Sang saudagar menyuruhnya bertemu dengan manajer produksinya yang lantas ia mendapatkan surat kontrak pembelian tembakaunya (padahal si saudagar belum bicara soal kontrak pembelian).  Tapi, Onasis berhasil mendapatkan kontrak pembelian itu pada usia belia. 

Pada usia 26 ia kemudian beralih pada bisnis perkapalan yang kemudian membawanya pada kesuksesan luar biasa dengan julukan Raja Kapal Tanker dunia.

Jack Ma, pebisnis ulung asal Tiongkok pun pernah berseloroh bahwa ia tak mau mempekerjakan orang yang punya prestasi akademik di kampus seperti yang ditulis di buku Alibaba:The House that Jack Ma Built yang ditulis Duncan Clark.

Masih banyak lagi kisah orang-orang sukses yang berawal dari anak-anak yang dicap 'tak pintar' di sekolahnya. 

Bahkan, Daniel Goleman, seorang psikolog pencetus teori Emotional Quotion (EQ) atau kecerdasan emosional mengatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah EQ yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustrasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerjasama. 

So, tidak berlebihan kan definisi pintar yang saya sebut tadi? Semoga tulisan ini membantu dan bisa menjadi pencerah bagi siapa pun yang membaca. 

Sekali lagi, ini hanya pendapat pribadi saja. Bila mungkin terkesan sotoy atau sok tau, ya itulah namanya pendapat pribadi toh? Bagaimana dengan Anda? Apa definisi pintar menurut Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun