(Kata "subsidi" dan "tepat sasaran" sengaja saya tulis dalam tanda kutip, agar niat baik dari program ini tidak menabrak banyak hal sebagaimana diulas dalam artikel: Tinjauan Ekonomi Subsidi Benih Ikan, Khayalan Subsidi Benih Ikan, dan Studi Peraturan Subsidi Benih Ikan)
Tetapi setelah target produksi tercapai apakah kita harus berhenti dan merasa sudah berprestasi? Tentu saja tidak karena ikan yang dihasilkan tersebut masih harus terserap oleh konsumen. Dari sini mulai terlihat masalah ekonominya, yaitu bagaimana karakteristik pasar menyerap produk ikan air tawar?
Keberhasilan pembangunan oleh pemerintah terlihat dari meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat ini akan digunakan untuk peningkatan konsumsi meliputi produk pangan (termasuk ikan) dan non pangan (pakaian, rumah, hiburan dan sebagainya).
Tetapi, kendala dalam konsumsi pangan sebagaimana diulas oleh sebagian ekonom adalah bahwa kenaikan tingkat konsumsinya berjalan lebih lambat daripada kenaikan pendapatan masyarakat, hal ini berlaku untuk bahan pangan pokok yang dikonsumsi tiap hari, lantas bagaimana dengan ikan air tawar yang secara umum tidak dikonsumsi tiap hari bahkan masih harus bersaing dengan produk perikanan laut/ payau dan produk pertanian/ peternakan lainnya? Tentu pertambahan tingkat konsumsi akan lebih lambat daripada kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Terjadinya peningkatan produksi ikan air tawar yang besar namun hanya diimbangi dengan peningkatan konsumsi yang kurang signifikan, akan mengakibatkan harga ikan air tawar langsung masuk ke dalam hukum permintaan dan penawaran dan memiliki kecenderungan untuk terus menurun.Â
Dari sisi pemasaranpun komoditas ikan air tawar juga susah untuk keluar dari jebakan komoditas karena sifat produknya adalah seperti yang dikatakan Theodore Levitt, yaitu generic product.
Alternatif Solusi
Kondisi di atas semestinya menjadi perhatian pemerintah dalam program peningkatan produksi ikan air tawar, tidak semata melihat sisi produksi, tetapi juga mengusahakan pendapatan yang memadai bagi pembudidaya. Karena tidak akan ada artinya apabila melimpahnya produksi tersebut justru menjadi pintu pembuka keruntuhan usaha budidaya air tawar itu sendiri.
Sudah seharusnya, KKP mempersiapkan kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa. Mengandalkan kata manis "ekspor" setiap kelebihan produksi tidak bisa lagi menjadi senjata, fakta patin Jambi sebagaimana diberitakan harian Kompas di atas menjadi bukti nyata, apalagi lele yang di sebagian wilayah kita - Batam, misalnya - babak belur menahan serbuan impor dari Malaysia.
Melihat karakteristik mikroekonomi di atas, kebijakan peningkatan produksi ikan air tawar harus mampu menjamin pendapatan yang layak bagi pembudidaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjaga total produksi pada jumlah tertentu yang masih memberikan pendapatan yang memadai bagi pembudidaya tetapi tidak memberatkan masyarakat. Kebijakan seperti ini dikenal sebagai kebijakan pembatasan produksi atau penentuan kuota produksi.
Tetapi, kebijakan penentuan kuota produksi ini seyogyanya hanya bersifat sementara selama kelebihan produksi belum mampu diserap pasar luar negeri, Â karena kalau tidak hati - hati dan tidak dikendalikan oleh pejabat yang berintegritas tinggi, kebijakan kuota produksi ini sangat mudah diselewengkan menjadi perilaku kartel yang memberatkan dan menyengsarakan masyarakat.