Selepas mandi dengan sabun terbaik, sikat gigi berpindah fungsi. Daki masih menempel di punggung bawah. Teringat bagaimana sulitnya menggaruk, saat terjaga di tengah malam buta. Kira-kira pukul tiga dini hari. Dan langit-langit kamar mengejekku. Senyummu sungguh menawan.
Bagian tubuhmu adalah sawah dan irigasi. Sekian minggu tak turun hujan. Tanah mulai pecah dan belah. Telur katak batal menetas. Bangau mulai berpesta. Burung sawah lainnya menjadi saksi mendung perlahan pergi. Kangkung, genjer, krokot, perlahan mengering. Seutas doa semoga kering segera sirna.
Aku adalah panu setiap kesempatan kuolesi salaf hampir di sekujur tubuhku
Ada cinta di sana
Aku adalah genangan terakhir di tengah sawah
Ada rindu menganga
Kemudian saat ingatan itu kembali lahir dan bergerak. Aku menggaruk dengan kuku panjang. Berdarah-darah. Akh! Masa bodoh. Yang penting gatalnya ilang.
Tentang rasa sakit itu aku tak pernah menikmatinya. Seperti teriakan kesakitan dari seorang ibu. Kemudian dalam kesakitan. Tak ada kata jera pernah terucap dari bibir manisnya.
Seperti rasa sakit bapak yang disunat. Dalam senyumnya. Kapok tak akan pernah mengulanginya.
Dan aku adalah bapak itu
Dan aku adalah ibu itu
Hitamnya rindu mengular di tengah kali Ciliwung. Dalam kebanggaan Banjarmasin mengalungi "banua" seribu sungai. Sepanjang itulah malam penantian. Lelap tidur hanya mimpi di tengah hari.