Mohon tunggu...
Arif Nurindra Ramadhan
Arif Nurindra Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa/ S1/ Ilmu Ekonomi/ Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Punya komitmen tinggi, kalau belum tau nyatanya jangan menilai hanya dari katanya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nasib UMKM Ekspor Indonesia di Tengah Perang Dagang AS-China, Apakah Bisa Bertahan?

13 April 2025   20:40 Diperbarui: 13 April 2025   20:40 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang berlangsung sejak 2018 terus memicu gelombang ketidakpastian dalam perdagangan global. Konflik ini, yang awalnya dipicu oleh tarif impor AS atas produk China, telah berkembang menjadi persaingan strategis di bidang teknologi, investasi, dan pengaruh geopolitik. Bagi Indonesia, yang selama ini menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan, dampaknya tidak bisa diabaikan terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang ekspor. 

UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, dilansir dari detik finance bahwa UMKM menyumbang 61% dari PDB dan menyerap 97% tenaga kerja. Sektor ini juga menjadi ujung tombak diversifikasi ekspor non-migas, dengan produk seperti kerajinan tangan, makanan olahan, tekstil, dan produk pertanian yang mulai menembus pasar global. Namun, di tengah eskalasi perang dagang AS-China, UMKM ekspor Indonesia terjepit antara dua kekuatan besar. Di satu sisi, negara-negara importir makin protektif. Di sisi lain, rantai pasok global juga kacau, yang membuat biaya produksi dan pengiriman melambung tinggi.

Situasi semakin kompleks dengan kebijakan decoupling (pemisahan rantai pasok) AS-China, yang memaksa banyak perusahaan multinasional memindahkan basis produksi ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Meski membuka peluang investasi, hal ini justru meningkatkan tekanan pada UMKM lokal yang harus bersaing dengan perusahaan besar berteknologi tinggi. Di saat yang sama, fluktuasi nilai tukar rupiah dan kenaikan harga energi global turut memperparah keuntungan UMKM. 

Dampak Langsung Perang Dagang pada UMKM Ekspor

Kebijakan tarif AS terhadap produk China, melansir dari CNBC Indonesia bahwa Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif impor sebesar 145% kepada China. Lonjakan tarif tentu memberikan pengaruh yang besar bagi Indonesia yang merupakan mitra dagang kedua negara tersebut. Contohnya, ekspor tekstil Indonesia ke AS sempat meningkat pada 2022, tetapi di 2023 permintaan global Indonesia dan tekstil kembali mengalami penurunan. Secara tren global, terjadi penurunan permintaan ekspor yang signifikan sebesar 8% untuk keseluruhan produk tekstil. Faktor utamanya adalah penurunan permintaan pada negara importir utama tekstil, yakni Uni Eropa (- 21%) dan USA (-9%) (y-o-y). Hal yang sama terjadi di Indonesia secara tahunan terjadi penurunan sebesar 15,95%, hal ini terjadi karena destinasi ekspor utama Indonesia juga berasal dari kedua negara tersebut.

Disrupsi rantai pasok bahan baku seperti benang, komponen elektronik, dan kemasan yang sebelumnya diimpor dari China kini lebih mahal akibat kenaikan biaya logistik dan penundaan pengiriman. Perubahan pola konsumen pasar ekspor tradisional seperti AS dan Eropa mulai mengurangi impor produk non-esensial akibat inflasi dan resesi, sementara pasar alternatif (Timur Tengah, Afrika) belum sepenuhnya terjamah oleh UMKM Indonesia. 

 

Peluang di Tengah Tantangan

Pertama diversifikasi Pasar, Pemerintah Indonesia mendorong UMKM menembus pasar non-tradisional melalui kerja sama dengan negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council) dan Afrika, yang pertumbuhan ekonominya mencapai 4-6%. Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan bersama Sekretaris Jenderal Gulf Cooperation Council/GCC, Jasem Mohamed Albudaiwi meluncurkan Perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia-GCC. GCC merupakan aliansi kerja sama ekonomi dan politik yang beranggotakan enam negara, yaitu Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab (PEA), Kuwait, Bahrain, Oman, dan Qatar. Beliau menyampaikan bahwa hubungan dagang antara Indonesia dengan GCC memiliki potensi nilai yang sangat besar

Kedua, digitalisasi ekspor, platform seperti Shopee Export dan Amazon Global Selling memungkinkan UMKM menjual produk langsung ke konsumen global tanpa melalui perantara, mengurangi ketergantungan pada importir besar.

 

Tantangan Yang Membayangi

Keterbatasan akses modal bagi UMKM di Indonesia menjadi kendala utama dalam pengembangan usaha, terutama dalam hal pembiayaan bank. Meskipun skema KUR ada, namun masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekspor UMKM. Kemudian masih ada kesenjangan kemampuan UMKM dalam mengadopsi teknologi. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2024, sekitar 35% UMKM di Indonesia belum memanfaatkan teknologi digital secara optimal dalam operasional bisnis mereka. Meski angka ini menunjukkan sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya, kesenjangan digital tetap menjadi masalah yang signifikan. Adapun regulasi yang rumit, proses perizinan ekspor dan kepatuhan terhadap standar internasional (seperti EUDR untuk produk kayu) sering menjadi penghambat. Regulasi ini menetapkan standar untuk membatasi pembabatan hutan yang disebabkan oleh kegiatan kehutanan dan pertanian di seluruh dunia. Namun, implementasinya seringkali sulit dan memakan waktu serta importir yang melanggar persyaratan EUDR dapat dikenai denda yang sebanding dengan kerusakan lingkungan, setidaknya 4% dari total omzet tahunan dan dapat ditingkatkan jika perlu, penyitaan produk terkait, penyitaan pendapatan, hingga larangan sementara. Oleh karena itu, jika pemerintah dan industri di Indonesia, termasuk supplier kayu, furniture, dan komoditas lainnya, tidak segera menyesuaikan diri terhadap regulasi baru ini, diperkirakan ekspor produk-produk tersebut akan mengalami penurunan yang signifikan.

Jadi, nasib UMKM ekspor Indonesia di tengah perang dagang AS-China tidak sepenuhnya suram, tetapi memerlukan strategi adaptasi yang cepat dan masif. Untuk bertahan, UMKM harus memperkuat daya saing melalui digitalisasi, peningkatan kualitas produk, dan ekspansi ke pasar nontradisional. Di sisi lain, pemerintah perlu memperluas akses pembiayaan, mempermudah regulasi, dan membangun infrastruktur pendukung seperti pusat logistik ekspor dan pelabuhan khusus UMKM. 

Perang dagang AS-China bukan hanya ancaman, tetapi juga momentum bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada dua raksasa ekonomi tersebut. Dengan kolaborasi antara UMKM, pemerintah, dan pelaku industri, Indonesia berpotensi menjadi bintang baru dalam peta ekspor global, asal mampu mengubah tantangan geopolitik menjadi peluang inovasi. Jika tidak, gelombang proteksionisme dan disrupsi teknologi hanya akan mengubur UMKM dalam persaingan yang semakin tidak seimbang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun